tirto.id - Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asep Guntur Rahayu, membantah dianggap lamban dalam menangani kasus dugaan korupsi dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) di DPRD Jawa Timur.
Menurut Asep, lambatnya proses penyidikan ini disebabkan banyaknya pokmas fiktif yang harus diperiksa oleh KPK. Jumlahnya, kata Asep kurang lebih 14.000 pokmas.
"Ada sekian ribu pokmas fiktif, 14.000 atau berapa, ini jumlahnya Rp1 sampai 2 triliun, tapi ini dibagi dalam bentuk pekerjaan," kata Asep kepada wartawan, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Asep mengatakan 14.000 pokmas fiktif tersebut harus dikonfirmasi terkait jumlah uang yang diterima dan uang yang dikembalikan kepada DPRD Jatim sebagai suap.
"Nah itu kami harus mengonfirmasi kepada pokok pikiran itu berapa yang digunakan, berapa yang diterima, berapa yang dikembalikan kemudian menjadi suap kepada si DPR ini," ucap Asep.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan 21 tersangka, yang belum diungkapkan identitasnya.
Namun, beberapa anggota DPRD Jatim menjadi tersangka dalam kasus ini, mereka diduga bekerja sama dengan masyarakat yang terlibat untuk membuat pokmas fiktif agar bisa mencairkan dana hibah.
Sebelum diberikan dana hibah, masing-masing dari pokmas ini dimintai 20% dari dana yang akan diturunkan.
Sebelumnya, KPK telah menggeledah rumah anggota DPRD Jatim terkait kasus dana hibah ini.
Penggeledahan ini, kata Alex merupakan pengembangan dari kasus dugaan suap dana hibah pokmas yang telah menjerat Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak.
Kasus suap dana hibah ini terbongkar saat KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Sahat pada akhir Desember 2022 lalu. Selain Sahat, KPK juga menjerat tiga orang lainnya sebagai tersangka.
Dalam kasus ini, Sahat didakwa menerima suap 39,5 miliar. Ia kemudian divonis 9 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Surabaya.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Bayu Septianto