tirto.id - Dadang masih ingat, saat bersantai di pelataran rumahnya, sekonyong-konyong segerombolan rekannya mengajak untuk satu urusan mendesak. Dadang segera masuk ke rumah, mengambil sepucuk revolver yang tersimpan di bawah kasur. Beberapa butir peluru ia siapkan, juga sebilah golok yang diselipkan di pinggang.
Hari itu Dadang mesti menuntaskan misi membubarkan kelompok centeng kepala kuli di Desa Dadap, satu dari 10 desa di Kecamatan Kosambi, yang tengah menduduki lahan. Mereka berjumlah puluhan orang dari luar wilayah Kosambi, dan mendiami gubuk-gubuk di lahan kosong yang bakal jadi lokasi pembangunan gudang pertama di desa tersebut.
“Kita dulu sekitar 15 orang, rata-rata bawa potongan—sebutan untuk pistol. Lawan kita lebih dari 30 orang,” kenang Dadang, bukan nama sebenarnya, kepada Tirto di rumahnya di Desa Kosambi Timur, Sabtu lalu (28/10).
Kini usia Dadang 75-an tahun, rambutnya sudah beruban dan beberapa giginya telah tanggal, dan ia mengingat peristiwa itu lamat-lamat. Ia cuma ingat, revolver yang digenggamnya berkaliber 38mm, dan Bule Enggeh, sang pemimpin kelompok, menggertak lawan.
“Ya, kalau lu berani, pertahanin aja nih lahan, ya,” ucap Dadang menirukan Bule Enggeh.
“Mereka akhirnya mundur teratur,” ujar Dadang, yang terlihat antusias mengisahkan peristiwa puluhan tahun lalu.
Menurut Dadang, seandainya kelompok lawan membeli tantangan mereka, hari itu bakal "banyak darah tumpah" gara-gara rebutan lapak “kawasan pergudangan”. Dadang dan rekannya menolak potensi sumber uang di daerahnya dikuasai oleh jawara dari kampung lain.
Kemunculan kawasan pergudangan di Kosambi merupakan rambahan baru pada awal 1990-an sejak telah penuhnya kawasan gudang di Kayu Besar dan Rawa Melati, Jakarta Utara, sekitar 4-5 km dari sisi timur Desa Dadap.
Sejak peristiwa itu, gudang-gudang di Kosambi di bawah kendali Bule Enggeh, yang berperan sebagai “Kepala Kuli” atau centeng. kelompok ini berani menjamin "tak ada pergolakan buruh" demi menopang secara parasit bisnis pemilik gudang tetap lancar. Kepala kuli juga bisa mencari duit tambahan lewat proses bongkar-muat barang di gudang.
Imbalannya, para pemilik gudang memberi upeti saban bulan kepada kepala kuli, yang cuma bermodal “Surat Kepala Kuli” dari pemerintah wilayah setempat. Seiring waktu, surat-surat kepala kuli gudang diwariskan kepada keturunan dan kelompok Bule Enggeh. Dadang, karena alasan tak mau pusing, lebih memilih menolak menerima “surat sakti” tersebut.
Bila dulu orang harus menyabung nyawa untuk mendapatkan konsesi abadi sebagai kepala kuli, kini segalanya berubah. “Sekarang kekuatannya pake uang, surat-surat itu bisa dijualbelikan kepada yang punya uang,” katanya.
Jumlah kepala kuli kini tak terhitung lagi sejalan perkembangan berdirinya gudang-gudang baru di Kosambi.
Pembangunan gudang-gudang baru ini telah memakan ruang hidup kawasan: lahan-lahan semarak hijau perkebunan dan persawahan di Kosambi bersalin rupa menjadi hutan beton putih berpagar tinggi.
Pagar-pagar gudang ini pula, secara perlahan, mencaplok lahan kebun dan sawah milik Dadang, yang jadi sumber dapur keluarganya. Setelah kebun dan sawahnya disulap jadi gudang, ia memutuskan menjadi penjaga keamanan sebuah perusahaan di kawasan gudang di dekat rumahnya.
Kawasan Kosambi, kecamatan pemekaran dari wilayah Teluknaga, akhirnya makin berkembang. Ia memunculkan nama kawasan pergudangan.
Anda bisa sebut: pergudangan 8 dan 9 di Desa Jatimulya; Kawasan Pergudangan Ocean Park di Desa Kosambi Timur; Mutiara Kosambi; Sentra Kosambi, dan lain-lain.
Pelan tapi pasti, pendapatan warga setempat yang semula mengandalkan mata pencaharian dari lahan pertanian, berubah dengan menggantungkan diri pada perputaran uang di sentra pergudangan, antara lain di Cengklong, Jatimulya, Kosambi Timur, dan Dadap. (Lihat: Kecamatan Kosambi dalam Angka; 2017: 61). Desa-desa ini menjadi penyumbang pendapatan pajak bumi dan bangunan tertinggi seiring perubahan sumber kapital.
Kawasan Pergudangan di Tanah Jawara
Setidaknya sampai era 1990-an, lingkungan Desa Kosambi masih berhiaskan lanskap persawahan. Mesin-mesin penggilingan padi terhampar di beberapa rumah giling. Gabah kuning dijemur di pelataran rumah. Pada tahun-tahun ini, Anda masih bisa menyaksikan orang mandi dan mencuci pakaian di air sungai.
Selain sawah, sebagian daerah Kosambi dirimbuni pepohonan besar dan binatang liar. Di kawasan-kawasan ini, warga “Cina Benteng” dengan pelataran rumah yang luas memiliki beberapa ternak babi putih atau hitam. Biasanya babi-babi ini berkubang di depan rumah atau melintasi jalan-jalan becek.
Baca juga: Perayaan Imlek Orang Cina Benteng
“Zaman dulu, di sini sepi banget, kuntilanak-nya banyak, ada macan mengaum, bukan harimau tapi macan. Banyak maling, siang-siang juga,” kata Haji Sarmah, usia 70 tahun, warga yang lahir di Desa Belimbing. Rumahnya dekat dari lokasi ledakan pabrik kembang api milik PTPanca Buana Cahaya Sukses.
Nostalgia kehidupan Kosambi masa lalu seirama kejayaan era jawara di Kosambi hingga Teluknaga. Nama beken seperti Ki Puun hingga Ayub bin Sa'ari atau Ayub dari Teluknaga telah melegenda, sampai-sampai dibuatkan judul film.
Jawara memang cerita masa lalu, tetapi sisa kejayaannya abadi pada nama-nama sebuah jalan.
Di Desa Cengklong, ada jalan bernama Gang Golok; menurut orang setempat, jadi lokasi pembunuhan korban kepala putus. Ada juga jalan Perancis yang dibangun oleh pekerja dari Perancis saat pembangunan Bandara Soekarno-Hatta, medio 1980-an. Dulu, jalan ini terkenal rawan begal dan aksi nekat para bromocorah.
Kini semua sudah berubah: Mal Grand Dadap City atau Bandara City Mall berdiri megah, menatap Kali Perancis berwarna hitam pekat dengan bau menyengat. Dan Kecamatan Kosambi menjelma kawasan luas pergudangan, terutama sejak 2000-an.
Pergudangan di Kosambi tak hanya di Desa Kosambi Timur, Jatimulya, atau Dadap. Tetapi merangsek ke Desa Cengklong dan Belimbing di sisi barat.
Desa Belimbing mendadak terkenal, tetapi dengan reputasi mengenaskan, lantaran sebuah pabrik kembang api meledak pada Kamis pagi, 26 Oktober lalu. Ledakan itu menewaskan sedikitnya 48 orang dan melukai 26 orang. Ini adalah sebuah kisah kekalahan lain lagi.
Rudi, ketua Rukun Warga 016 di Kosambi Timur, mengungkapkan di wilayahnya saja sedikitnya ada 1.000 unit gudang dan sebagian kecil telah berdiri industri. Ini belum termasuk pergudangan di beberapa desa lain dari total luas Kosambi yang mencapai 2.900 haktare.
“Di sini memang sudah rahasia umum, izinnya buat gudang, tapi ada saja perusahaan yang melakukan produksi. Padahal sudah jelas tertulis di sini kawasan pergudangan,” kata Rudi kepada saya.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tangerang memang mengakui ada penyalahgunaan pemanfaatan gudang untuk kegiatan produksi.
Sejumlah gudang di Kecamatan Kosambi dan Teluknaga dipakai untuk kegiatan produksi barang, termasuk narkoba hingga produk berbahaya seperti kasus ledakan pabrik kembang api. Kasus ledakan serupa pernah terjadi juga di lokasi terdekat: pada Juni 2015, gudang tiner terbakar hebat, lokasinya di kompleks pergudangan 99.
Pada November 2016, Badan Narkotika Nasional menggerebek sebuah gudang narkoba di Kosambi, dan memicu aksi baku tembak. Tim BNN menembak mati anggota TNI yang terlibat sebagai tenaga keamanan kegiatan ilegal ini.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah apatisme warga terhadap lingkungan sekitar. Dari beberapa warga sekitar yang saya tanyai soal ledakan pabrik kembang api, umumnya mereka "baru tahu" kalau lokasi pabrik itu memproduksi kembang api.
Persoalan Sosial di Pergudangan
Moses tertunduk dan sesekali menganggukkan kepala. Pasangannya, Wati, pun demikian. Dua pengurus Rukun Warga mengapitnya di depan meja bundar di sebuah rumah Ketua RW di Kosambi Timur, Sabtu sore pekan lalu. Sepasang kekasih ini sedang “disidang” karena tak mampu membuktikan mereka pasangan suami-istri. Pasangan ini hanya satu dari sekian pendatang yang bekerja di pergudangan dan mengontrak rumah.
Menurut Rudi, Ketua RW 016, kejadian “kumpul kebo” di lingkungannya bukan persoalan baru. Ini terjadi terutama sejak 2010 saat kawasan pergudangan telah menyedot para pekerja dari berbagai daerah. Mereka bekerja sebagai buruh harian lepas, dengan upah rata-rata sekitar Rp50 ribu per hari, sangat jauh dari ketentuan UMK Tangerang 2017 sebesar Rp3,3 juta.
“Belum lama ini warga harus menggerebek pasangan mesum. Keduanya hampir melakukan perbuatan tak senonoh,” kata Rudi, yang lahir di Kosambi.
Rudi tak menampik bahwa masalah sosial semacam ini adalah "imbas" dari perkembangan pesat lingkungan kampung halamannya. Namun, sisi lain, ada "banyak hal positif" dari keberadaan gudang-gudang dan pabrik di Kosambi, yang menciptakan lapangan pekerjaan serta bisnis kontrakan rumah.
Mayoritas warga di lingkungannya sangat bergantung pada pergudangan. Secara umum, pergudangan dan transportasi memang jadi salah satu andalan ekonomi Kabupaten Tangerang, yang kontribusinya makin membesar, dan geliat pertumbuhannya paling tinggi ketimbang sektor usaha lain.
Khusus di Kosambi, pekerjaan menjadi petani atau nelayan pada masa lalu adalah nostalgia. Warga sekitar beralih kerja sebagai kuli panggul, penjaga gudang, dan pekerja pabrik untuk menyambung hidup di tengah perubahan sosial dan ruang kapital yang dulunya kawasan agraris. Ini sejalan tren alih fungsi lahan pertanian ke kawasan industri di salah satu kabupaten di Banten itu.
Sayangnya, geliat perubahan lingkungan di Kosambi tak terlalu menjawab masalah kemiskinan di kawasan ini. Kosambi termasuk salah satu kecamatan dengan orang miskin dan hampir miskin terbanyak, dari total 29 kecamatan di Kabupaten Tangerang.
Tata kelola di kawasan pergudangan masih menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Sebab praktik subur centeng dan "kepala kuli" hingga bisnis keamanan dari personel berseragam masih langgeng di kawasan tersebut.
============
Keterangan foto: Siswi-siswi SPMN I Kosambi menyapu sisa-sisa ledakan pabrik kembang api di Kosambi, Tangerang, Jumat (27/10/2017). tirto.id/Arimacs Wilander
Penulis: Suhendra
Editor: Fahri Salam