tirto.id - Sejam sebelum ledakan, Siti Fatimah tengah bersiap ke pabrik kembang api tempatnya sebulan ini bekerja. Perempuan berusia 15 tahun ini mengandalkan jari-jemarinya yang mungil di bagian pengemasan kembang api.
Sesaat sebelum percikan kembang api membumbung, Hajah Sarmah, usia 70 tahun, tengah duduk di depan depot air minum isi ulang, terperanjat oleh suara ledakan dan melihat api menyembur ke langit, menghujani atap rumahnya, berbunyi gemeretak, susah-payah berjalan terpincang dengan tongkat kayu bergagang pipa paralon, melawan hawa panas semburat api.
Saat ledakan kedua mengalirkan getaran, Jamaludin tahu ia harus menyudahi minum kopi di pos jaga pergudangan 99; melihat asap hitam mengepul di langit, terhempas angin barat. Pria berusia 22 tahun ini seketika berlari ke rumahnya, melawan arus manusia, di belakang rumah Hajah Sarmah.
Dan saat ledakan telah didengar oleh banyak orang—ribuan orang di lokasi terdekat—mungkin hanya Marsin, satu dari segelintir orang yang sigap menyelamatkan dua keponakannya, salah satunya Fatimah. Lelaki berusia 32 tahun ini sedang di toko bangunan di Jalan Salembaran tempatnya bekerja; segera menyambar sepeda motor dan melaju kencang. Cemas dan gemetar.
Orang-orang ini disatukan oleh peristiwa mengerikan pada Kamis pagi, 26 Oktober 2017--tepat hari ini tiga tahun silam.
SITI FATIMAH baru berangkat kerja pukul 8 pagi tepat saat jam kerja. Ia berjalan kaki dari rumah. Jarak lokasi pabrik kembang api dan rumahnya hanya 10-an menit. Ia hanya perlu keluar gang kampung, lalu belok ke kanan dan mengikuti jalan belok ke kiri, melewati kantor Desa Cengklong dan Gedung Serbaguna, dan hanya beberapa meter melewati halaman kosong, ia tinggal menyeberangi jalan; tibalah ia di depan pintu gerbang warna hijau, tempatnya bekerja.
Saat Fatimah dan para buruh pabrik lain mulai bekerja, satu peleton korps Brigade Mobil Kalimantan Barat tengah apel pagi di seberang pabrik. Sudah beberapa hari ini para elite tempur Polri itu tinggal di Gedung Serbaguna. (Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Raden Prabowo Argo Yuwono, mereka diperbantukan untuk pengamanan di Jakarta.)
Lukas Bonai, penjaga Gedung Serbaguna, tengah asik memotret kegiatan regu Brimob. Sekitar pukul 08:30 apel itu usai dan ia melihat korps baret biru tua itu dibagi untuk patroli. Lukas terfokus menonton aktivitas mereka sampai bubar; siap berpatroli.
Tiba-tiba terdengar suara dentuman dari dalam pabrik. Lukas merunduk. Para Brimob tiarap. Pada saat bersamaan api menyembur dan letupan kembang api membumbung di udara. Asap hitam tebal tertiup angin ke arah utara ke pekarangan kosong dan serong ke timur laut ke SMP Negeri 1 Kosambi di seberang jalan.
Lukas mendengar teriakan tolong dari dalam pabrik. Ia berlari mendekati pabrik, menyusul pasukan Brimob. Dengan palu besar, seorang Brimob mencoba menjebol pagar bata-semen pabrik. Teriakan “tolong, tolong”—kali ini bak lolongan yang pedih—terus terdengar.
Di pagar belakang dan samping gedung pabrik, Lukas melihat seorang buruh berusaha melompati pagar, tetapi terhalang atap asbes yang mepet pagar.
“Ambil tangga, ambil tangga!” seorang warga berteriak.
Lukas berlari meminjam tangga kepada warga terdekat dari kantor Desa Cengklong. Tangga itu langsung dipasang pada dinding pagar. Seorang personel Brimob naik dan membantu menjebol atap asbes yang menghalangi buruh melompati pagar setinggi 2 meter itu.
Umam (16 tahun), Rohim (19), dan Widia (24), serta beberapa buruh lain berhasil melompati pagar. Widia turun melalui tangga; Rohim dan Umam melompat. Rohim jatuh dan patah tangan. Umam dan Widia mengalami luka bakar di bagian telinga, tangan, dan punggung.
Warga segera memapah mereka menjauhi pabrik.
Para personel brimob dan beberapa warga telah berhasil membuat lubang di empat sisi tembok. Banyak buruh pabrik yang berhasil lolos dari kebakaran melewati lubang tersebut.
Ada yang terluka bakar hebat; beberapa telanjang. Termasuk Fatimah yang sekujur badannya melepuh.
Lukas lantas mengambil selimut di kamarnya untuk menutupi seorang buruh perempuan yang telanjang karena bajunya terbakar.
DUAR!
Ledakan kedua. Lebih besar. Api tambah besar. Semua orang berlari. Semua orang menjauhi lokasi pabrik.
* * *
HAJAH SARMAH lari terpincang-pincang.
“TOLONGIN! Oi tolongin! KELUAR RUMAH, OI!”
Sarmah berteriak sebisanya di tengah hawa panas percikan api.
Supri, anaknya, yang masih di dalam rumah, segera keluar bersama istri; mereka lari melewati gerbang samping menuju pergudangan 99—sekitar 300 meter dari rumah. Supri sempat mengambil beberapa barang berharga. Sarmah tertinggal di belakang.
Jalanan saat itu penuh orang.
Siswa-siswi SMP Negeri 1 Kosambi kabur melewati jalan yang sama. Mereka bisa keluar dari area sekolah dengan melompati pagar belakang. Asap hitam tebal mulai berembus ke arah sekolah saat mereka berlari keluar...
Di tengah kerumunan itu, Sarmah mendengar ledakan besar; lebih besar dari ledakan pertama. Tanah bergetar seperti gempa.
Sarmah terus berlari. Rumahnya hanya berjarak sekitar 20-an meter dari pabrik kembang api.
“Bantuin, bantuin.”
Ia tertinggal dari rombongan keluarganya.
“Ya Allah. Ya Allah. Lindungi kami.” Sarmah berdoa sepanjang jalan.
* * *
JAMALUDIN melawan arus manusia. Ia menuju lokasi pabrik; orang-orang berlari ke arah pergudangan 99.
Sepanjang jalan ia mendengar orang-orang berteriak: “Kebakaran! kebakaran!”
Ia melihat beberapa tetangganya berlari membawa ember kosong ke arah pabrik. Ia mengikuti. Dari kejauhan, ia melihat api merambat ke gudang kardus dan besi tepat di seberang rumah Sarmah.
Ia melihat puluhan warga berupaya memadamkan api di gudang kardus itu agar tak merembet ke perkampungan. Ia mendekati mereka dan ikut membuka galon-galon air minum isi ulang di depot Supri—anak Sarmah—lalu menyiramkan ke atap gudang yang mulai terbakar.
Sekitar pukul 10:30, Jamal melihat kedatangan dua mobil blangwir yang segera menyemprotkan air ke sumber api. Api tak kunjung padam sampai salah satu mobil damkar itu kehabisan air. Sumber air berdebit besar ada di sebelah pergudangan 99. Ada waduk besar di sana, kata Jamal. Ia menuntun bergegas kepada petugas blangwir ke waduk itu. Ia segera kembali dan membantu warga mengguyur gudang lewat bergalon-galon air isi ulang.
Api baru bisa dipadamkan sekitar pukul 12.
Sekitar pukul 13:30, Hajah Sarmah baru berani pulang ke rumah setelah dijemput Supri. Di pekarangan rumah, daun-daun pohon pisang dan jambu layu dan berwarna cokelat.
“Saya doain enggak barokah rezekinya. Kasihan itu orang mati kebakar. Ya Allah...” Sarmah bersungut-sungut.
“Emang gimana kok dibolehin bikin pabrik mercon?” Ia bertanya kepada anaknya, Supri.
Supri menggeleng. Sepengetahuannya, pabrik itu dulu adalah gudang besi rongsokan dan sudah lama kosong beberapa tahun terakhir.
Dua bulan belakangan, ia baru mengetahui ada aktivitas lagi di tempat itu. Ia pernah melihat beberapa buruh menjemur pasir hitam di dalam pabrik.
* * *
USAI PUKUL 09:30, Marsin berada di tengah kerumunan orang di dekat pabrik; kebingungan.
Sesudah menerima telepon dari kerabatnya, yang mengabarkan “Pabrik tempat Lilis sama Fatimah kebakaran”, Marsin putus asa melihat kepulan asap pekat dari ledakan pabrik kembang api.
Ia cemas tak kunjung melihat kedua keponakannya. Ia bertanya kepada polisi, kepada petugas desa, kepada orang-orang yang dikenalnya. Tak ada seorang pun yang mengetahuinya. Di Kantor Desa Cengklong, polisi telah membuka “posko pengaduan orang hilang”. Namun, sampai Marsin tiba, belum banyak data korban yang mereka himpun.
Semua korban selamat sudah dilarikan ke tiga rumah sakit terdekat: RS BUN—di Kosambi; Rumah Sakit Umum Daerah Kabupetang Tangerang—di Teluknaga; dan RS Mitra Husada—di Kota Tangerang. Namun, siapa saja yang selamat belum juga teridentifikasi. Begitupula yang meninggal.
Kecemasan Marsin tambah hebat saat ia mengetahui banyak korban meninggal.
Setelah api padam, polisi mengevakuasi korban tewas di dalam pabrik. Tubuh-tubuh gosong. Jeroan mayat keluar. Usus terburai. Otak meleleh.
Marsin ngeri. Bau mesiu dan mayat terbakar bercampur di udara. Marsin tak kuasa melihatnya. Ia memutuskan pulang.
Hingga malam hari, orang-orang masih mencari kabar kerabatnya di lokasi pabrik. Ada juga warga ingin tahu. Para pejabat—mereka yang bertanggung jawab—gonta-ganti tiba ke lokasi. Mereka tumpah di sekitar lokasi pabrik yang gelap. Sejak kebakaran, listrik di dua desa—yakni di Desa Belimbing dan Cengklong—mati total. Penyebabnya, kabel listrik putus. Penerangan hanyalah lampu sorot dengan diesel.
Sebaliknya, suasana hening di Kampung Sawah. Jalanan gelap. Hanya cahaya remang-remang di depan rumah-rumah warga.
Rumah Marsin paling dekat dari jalan kampung. Sekitar pukul 22:00 ada belasan warga duduk lesehan beralas tikar di teras rumahnya. Mereka menyalakan lilin. Mereka lebih banyak diam. Mereka menunggu kabar nama-nama korban luka, atau dalam benak tergelap mereka: menunggu nama-nama korban meninggal. Dan sebagian besar warga berkumpul di depan rumah. Mereka menanti kabar serupa.
Orang Kampung Sawah yang bekerja di pabrik kembang api itu bukan cuma Lilis dan Fatimah. Marsin mengetahui ada enam orang tetangganya yang menjadi korban, dua di antaranya keponakannya.
* * *
MENJELANG KAMIS malam, Polda Metro Jaya merilis ada 103 buruh yang bekerja di pabrik kembang api PT Panca Buana Cahaya Sukses. Sebanyak 47 orang meninggal dunia, 48 luka-luka, sisanya belum ditemukan. Pemilik pabrik, Indra Liono, sudah diperiksa dan pada Sabtu pekan lalu ditetapkan tersangka bersama Andri Hartanto, manajer operasional pabrik. Mereka didakwa pidana karena “kelalaian” yang menyebabkan kebakaran serta kematian, serta mempekerjakan buruh anak. (Per 28 Oktober, Polri merilis korban tewas 48 orang, 46 luka-luka, dan 9 orang masih belum ditemukan.)
* * *
DI DEPAN posko pengaduan korban di kantor Desa Cengklong, Wendi, 40 tahun, duduk termenung di atas motor. Ia letih. Hari ini ia bolak-balik antara posko dan rumah sakit untuk mencari tahu dua kerabatnya, Halimah (30) dan anaknya Rachmawati (15), warga Kampung Sawah yang bekerja di pabrik tersebut. Sampai pukul 23:00, ia belum mendapatkan kabar pasti keduanya.
Setelah sepuluh menit duduk tercenung, ia menelepon istrinya.
“Aku yakin mereka masih ada di tumpukan sana,” kata Wendi.
Istrinya sependapat dengan Wendi. Selama jasad keduanya belum ditemukan, mereka akan terus mencarinya. Wendi memutuskan untuk begadang di posko. Ia bakal menunggu sampai menerima kabar terang.
Tak berselang lama, sebuah mobil memasuki lokasi kebakaran. Bupati Kabupaten Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar, turun dari mobil bersama beberapa orang lain. Ia seketika dikerubungi wartawan.
Seorang wartawan bertanya, “Sebenarnya bagaimana dengan izin pabrik?”
“Izinnya sudah komplet semuanya, dan ini memang zona pergudangan dan industri kecil dan dari izinnya itu sudah ada untuk pabrik packing kembang api,” jawab Ahmed.
“Kalau pengawasan operasional pabrik terakhir dilakukan kapan?” Wartawan lain menimpali.
“Begini. Begini. Kalau untuk industri, kami kesulitan karena banyak sekali,” Ahmed beralasan.
Sementara Ahmed dengan otoritasnya mengklaim kesulitan mengawasi pabrik, Buang kesulitan mencari tiga kerabatnya yang menjadi korban kebakaran.
Salah satu kerabatnya, Rohim, berhasil selamat. Rohim adalah salah seorang buruh pabrik yang menghindari api dengan melompati pagar. Buang menemukan Rohim di RS BUN. Dua kerabat lainnya, Hendri (19) dan Arief (19), belum juga ia temukan.
Sejak siang, lelaki 50 tahun ini menyambangi tiga rumah sakit. Ia lantas ke RS Polri di Karamat Jati, Jakarta Timur—sekitar 1 jam dengan kendaraan—hanya untuk menemukan mayat-mayat korban kebakaran. Ia sudah pasrah.
Berbekal dokumen-dokumen dan ciri fisik dua kerabatnya, Buang menunggu kepastian dari polisi. Apakah Hendri dan Arief sudah mati? Bila masih hidup, di mana mereka? Sampai Jumat pukul satu dini hari, Buang masih di RS Polri.
Kesedihan di Pagi Hari
Suki kebingungan melihat istrinya berteriak histeris. Berkali-kali Tuti, istrinya, berteriak dan meminta diantar ke lokasi kebakaran. Sepasang mata Tuti merah, menangis, meraung. Suki memeluk istrinya; mencoba menenangkan.
“Nanti ke sana, nanti ke sana,” kata Suki, 35 tahun.
“Istigfar … Istigfar,” katanya, lagi.
Tuti bisa tenang sebentar. Selepas subuh, Tuti kembali histeris.
“Aku mau ke pabrik. Aku masih di sana. Aku masih di sana. Di kamar mandi,” teriak Tuti, 30 tahun.
Karena tak kuasa mendengar raungan dan tangisan Tuti, Suki memutuskan membawa Tuti ke lokasi kebakaran. Sekitar pukul tujuh, Jumat, 27 Oktober, Suki memapah Tuti, dibantu kerabatnya. Suki meyakini bahwa istrinya kerasukan arwah putri mereka, Surnah, berusia 14 tahun.
Sampai di depan posko Desa Cengklong, Tuti kembali berteriak histeris. Matanya membelalak. Tangannya menunjuk ke pabrik yang sudah hancur.
“Istigfar … Istigfar … Istigfar.” Suki memeluk Tuti yang terus histeris.
Seorang kerabat Tuti melafalkan doa ke telinga Tuti. Tuti terkulai lemas. Suki mendudukan istrinya di kursi kayu di depan posko. Ia terus memeluk Tuti. Tak sampai semenit, Tuti sadar dan mulai menangis.
“Surnah … Surnah ...” Suara Tuti meredup. “Surnah masih di sana sama temannya. Di kamar mandi.”
“Iya, nanti Pak Polisi yang ambil, ya,” kata Suki.
Seorang petugas desa menyarankan Suki agar istrinya dibawa pulang. Sebab semua korban sudah dievakuasi, kata si petugas.
Suki menuruti saran itu. Ia memapah Tuti menuju Kampung Sawah. Mereka berpapasan dengan Marsin yang berdiri di depan pagar rumah.
Mereka tak saling menyapa. Marsin hanya menunduk, lalu pergi.
Jumat pagi itu, Marsin sudah mendapat kabar dua keponakannya, Lilis dan Fatimah. Mereka tengah dirawat di RSUD Kabupaten Tangerang. Keduanya sama menderita luka bakar berat; 60 persen bagian tubuh mereka melepuh. Sampai pukul 8:00, Fatimah masih tak sadarkan diri di ruang perawatan intensif.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 30 Oktober 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam