tirto.id - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Federasi KontraS dan KontraS Aceh mendesak pemerintah pusat agar segera menindaklanjuti hasil temuan dan rekomendasi KKR terkait pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik di Aceh.
Desakan tersebut dilakukan karena pemerintah pusat belum memiliki keseriusan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, usai perjanjian damai di Aceh pada 2005 lalu.
"Setelah perjanjian damai, ada beberapa komitmen yang belum ditunaikan pemerintah. Salah satunya, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM," ujar Munawar Liza, salah satu mantan juru runding GAM dalam Perjanjian Helsinki, pada acara “Diskusi Terfokus Merumuskan Kebijakan Pemerintah dalam Menindaklanjuti Rekomendasi KKR” di Jakarta, Jumat (1/2/2019) siang.
Menurut Munawar, sejak 2013, sebenarnya sudah ada langkah progresif terkait komitmen penyelesaian konflik Aceh dengan dibentuknya KKR. Itu pun atas inisiatif pemerintah Aceh, bukan dari pemerintah pusat.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KKR 'hanya' berwenang mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi korban tanpa ada wewenang penegakan hukum. Produk kinerja KKR hanya akan berupa rekomendasi. Sayangnya, selama ini rekomendasi yang diserahkan KKR biasanya akan berakhir tanpa ditindaklanjuti.
Untuk itu, KKR dan Federasi KontraS mendesak agar pemerintah segera membuat kebijakan yang menguatkan posisi KKR serta regulasi yang mengatur tindak lanjut atas rekomendasi KKR.
Tindak lanjut tersebut, menurut Ketua KKR Aceh Afridal Darmi, berupa reparasi mendesak dan reparasi lengkap terhadap korban-korban konflik Aceh.
"Pemerintah nasional tidak bisa lepas tangan walaupun pemerintah Aceh sudah berinisiatif," kata Afridal.
Mengenai produk regulasinya, Andi Irfan dari Federasi KontraS berharap adanya produk hukum setara undang-undang atau perppu untuk menindaklanjuti rekomendasi dan mengoptimalkan kinerja KKR dalam mengungkap kebenaran serta rekonsiliasi korban.
"Negara berutang banyak pada Aceh dalam menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Dan hingga saat ini, Jakarta belum ada itikad serius soal itu," tutup Andi.
Editor: Alexander Haryanto