Menuju konten utama

Kisruh Pemilu di Sydney: Panitia Tak Menduga DPK Membeludak

Kelompok Pemungutan Suara Luar Negeri di Sydney berkata tak ada panitia bernama Samsul Bahri, yang diduga menghalang-halangi pemilih.

Kisruh Pemilu di Sydney: Panitia Tak Menduga DPK Membeludak
Papan sosialisasi pemilu 2019 di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu (3/4/2019). Pemungutan suara di luar negeri telah digelar pada Minggu (14/4/2019) dan di beberapa lokasi termasuk di Sydney ada ratusan pemilih gagal menggunakan hak suaranya. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.

tirto.id - Dewi Wahyu Mustikasari, 39 tahun, WNI asal Semarang, semula sempat mengira ia masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Maka, ia mendatangi Town Hall Sydney sekitar pukul 2 siang waktu setempat untuk menggunakan hak pilihnya pada Sabtu, 13 April lalu.

Namun, setiba di lokasi, ia baru mengetahui bahwa ia masuk Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). “Saya enggak ngeh kalau saya DPTb,” ujar Dewi kepada reporter Tirto, Senin kemarin (15/4/2019).

Dewi lantas diminta menunjukkan formulir A5 sebagai syarat untuk bisa mencoblos. Sayang, ia tak membawanya. Maka, ia disarankan untuk ikut dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan diminta datang kembali pukul 5 sewaktu pencoblosan untuk golongan itu dibuka.

Dalam Pemilu 2019, golongan DPK baru bisa diberikan kesempatan mencoblos saat satu jam terakhir. Untuk Sydney, berarti pukul 5 hingga 6 sore dan tersebar di 22 TPS. Town Hall tempat Dewi mencoblos memiliki 5 TPS, yakni TPS 5 sampai 9. Sementara TPS 1 sampai 4 berada di Konsulat Jenderal RI.

Pukul 16.20 waktu Sydney, Dewi kembali dan mendapati halaman Town Hall sudah dipenuhi orang. Kebanyakan adalah Daftar Pemilih Khusus seperti dirinya dan Daftar Pemilih Tambahan yang baru datang. Tak sampai pukul 5, antrean sudah memasuki Town Hall dan bersiap untuk mencoblos.

Ribut-ribut calon pemilih baru muncul pada pukul 6 waktu Sydney saat gerbang Town Hall ditutup padahal ratusan calon pemilih masih membeludak di pelataran. Sementara antrean calon pemilih yang masih di dalam Town Hall juga mengular.

“Yah ... mungkin karena memang sudah waktunya tutup. Jam 6 itu batas waktunya. Kecewa memang, iya. Tapi, yang di Town Hall enggak cukup ribut, sih,” cerita Dewi.

Lain hal dengan cerita Dyah Pitaloka, dosen Universitas of Sydney, yang sudah mengantre di TPS Town Hall sejak pukul 10 pagi. “Saya kebetulan termasuk dalam DPT, jadi saya datang jam 10 dan pagi itu relatif lancar,” ungkap Dyah.

Dyah juga ikut mengantre pada pukul 15:30 waktu setempat demi mengantar anaknya yang berusia 17 tahun, yang masuk dalam DPK.

“Saat itu, antrean sudah mengular panjang, dari Druitt Street sampai berbelok ke Kent Street,” tambah Dyah.

Hingga akhir pencoblosan pada pukul 6 sore, massa paling depan pagar Town Hall mulai berteriak dan bertahan hingga pukul 7 malam.

Terancam Golput Sistematis

Menanggapi kejadian ini, Ketua TPS 08 Town Hall, Subagyo Efendi, menyatakan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) sudah melakukan pemungutan suara sesuai prosedur: dibuka selama 10 jam sejak pukul 8 pagi hingga 6 sore dan membuka kesempatan untuk DPK selama satu jam terakhir.

“Namun, kami tidak menyangka akan ada pertumbuhan jumlah DPK sebanyak itu. Sesuai aturan, kami sudah menyediakan surat suara sebanyak 2 persen dari jumlah DPT Sydney yang berjumlah sekitar 25.381," ujar Efendi kepada reporter Tirto, Senin kemarin (15/4/2019).

"Kami sudah ngebut agar semua bisa memilih. Namun, waktunya tetap tidak cukup karena banyak sekali,” tambahnya.

KPPSLN sempat melakukan musyawarah untuk mempertimbangkan apakah waktu pemungutan suara diperpanjang atau tidak. Mereka mencapai kata sepakat untuk tidak diperpanjang. Efendi tak menjelaskan kepada Tirto soal pertimbangan keputusan tersebut.

Sementara di Konsulat Jenderal RI Sydney, sempat terjadi kericuhan lantaran ada seseorang yang diduga bernama Samsul Bahri, yang melarang calon pemilih mencoblos pada hari itu.