Menuju konten utama
Mozaik

Kisah Karapan Sapi di Kota Bandung Tahun 1935

Di Bandung tempo dulu, pacuan kuda adalah tontonan yang sering digelar di lapangan Tegallega. Tapi tidak demikian dengan karapan sapi. Inilah kisahnya. 

Kisah Karapan Sapi di Kota Bandung Tahun 1935
Header Mozaik Kisah Karapan Sapi di Kota Bandung Tahun 1935. tirto.id/Tino

tirto.id - Selama tiga hari, antara 5 hingga 7 Oktober 1935, warga Kota Bandung menonton pacuan aneh. Bila sebelumnya hampir setiap tahun mengikuti semaraknya pacuan kuda di Tegallega, tapi pada paruh kedua tahun 1935 mereka bersua pacuan yang menggunakan sapi di lapangan Nieuw Houtrust, milik klub sepak bola UNI (Uitspanning Na Inspanning).

Jangankan warga tahun 1930-an, bahkan sekarang pun tentu saya akan geleng-geleng kepala bila ada karapan sapi diselenggarakan di tengah kota. Bagaimana bisa demikian?

Namun, konon, Bandung tahun 1930-an, bahkan sebelumnya, seperti halnya kota-kota lain di Indonesia, kerap disambangi grup hiburan yang berkeliling dari kota ke kota, bahkan lintas negara.

Bila menengok koran-koran lawas, misalnya dalam De Preanger-bode, kita akan menjumpai kerapnya kelompok sirkus yang bertandang ke Bandung dan menghibur penontonnya di lapangan-lapangan. Contohnya pertunjukan grup sirkus dan sulap Metemsicosi (1897), grup Panopticum en Wassen (1900), Harmston's Circus (1901), Groot Bengaalsch Circus (1905), dan Ott's Circus (1906) di Pieterspark (sekarang Taman Balai Kota).

Belum lagi pameran-pameran dan bioskop keliling. Misalnya di Tegallega dan Alun-alun Bandung pernah diadakan De Vee-Tentoonstelling te Bandoeng (pameran ternak) selama pacuan kuda di Tegallega (1888), De tentoonstelling van het Sandelhout stamboek atau pameran kuda sandel pada 25-26 Juni 1898, Java-Biorama di Alun-alun pada 28 Juni 1901, Centrale tentoonstelling (pameran pusat) yang memamerkan ternak dan kuda sandel pada Oktober 1902, dan Eastern Bioscope Company di Tegallega (1905).

Apalagi Tegallega, di lapangan ini olah raga dan hiburan berupa pacuan kuda sudah digelar sejak 1853, setelah dibentuknya klub pacuan kuda pertama di Priangan, Preanger Wedloop Societeit (PWS).

Pacuan kuda ini terus bertahan bahkan hingga Indonesia merdeka dan menjadi sumber hiburan tahunan bagi warga Bandung dan sekitarnya. Karena biasa menonton pacuan dan pameran kuda, maka sekalinya ada pacuan sapi, warga Bandung bisa dibilang tercengang-cengang.

Sapi Ternyata Bisa Berlari Kencang

Karapan sapi di lapangan Nieuw Houtrust diliput dua koran berbahasa Sunda yang bersaingan, yaitu Sinar Pasoendan dan Sipatahoenan.

Dalam Sinar Pasoendan edisi 1 Oktober 1935 disajikan iklan bombastis mengenai karapan itu. Di antaranya tertulis, “Kerapans (Balap Sapi), 12 Sapi jang terpilih djempol-djempol didatangkan dari Bangkalan Madoera. Pada tanggal 5, 6 dan 7 October 1935. Moelai djam 4.30 sore. Publiek Bandoeng segala bangsa dan tingkatan toea dan moeda. Perloekan datang menonton. Baroe sekali ini ada Kerapans. 300 taoen lagi beloem temtoe ada”.

Karcis masing-masing untuk hoofdtribune f. 1,25, tribune f. 0,75-, berdiri asing f. 0,40, dan Indonesiers f. 0,15. Iklan yang sama dipasang lagi dalam edisi 2-5 Oktober 1935.

Tempatnya di lapangan Nieuw Houtrust. Lapangan sepak bola yang berada persis di pertigaan Jalan Lengkong Kecil dan Jalan Karapitan dan diresmikan pada 5 April 1925 itu sekarang sudah tidak ada. Bekas arena olahraga yang pernah dianggap bertaraf internasional itu sekarang telah berubah menjadi apartemen.

Namun, hampir 90 tahun yang lalu di sini pernah bergemuruh karapan sapi atau yang disebut dalam Sipatahoenan edisi 3 Oktober 1935 sebagai “Ngadoe Sapi di Nieuw Hourust” (lomba sapi di Nieuw Hourust).

Di dalam berita itu dijelaskan bahwa model permainan karapan bukan seperti mengadu domba, tetapi mirip seperti pacuan kuda, yaitu lomba lari. Disusul dengan jadwal penyelenggaraannya dari Sabtu hingga Senin, 5-7 Oktober 1935.

Selain itu, dikatakan karapan sapi baru kali ini diselenggarakan di Bandung, sehingga bisa jadi akan sangat menyedot banyak penonton.

Kabar berikutnya dari Sinar Pasoendan edisi 4 Oktober 1935 dengan tajuk “Karapan tea”. Di situ ada informasi tambahan bahwa sapi-sapi yang akan dilombakan dalam karapan baru akan tiba pukul 20.30. Rencananya, besok sorenya sapi-sapi itu akan dibawa pawai keliling kota, agar warga Bandung sama-sama mengetahui terhadap wujud sapi yang akan dipentaskan dalam karapan.

Iklan karapan sapi

Iklan karapan sapi di lapangan Nieuw Houtrust antara 5-7 October 1935. Foto/Sinar Pasoendan, 1 Oktober 1935.

Praktiknya iring-iringan sapi itu dilakukan pagi hari. Seperti dilaporkan dalam Sinar Pasoendan edisi 5 Oktober 1935, pagi pukul 08.00, sapi-sapi sudah diiringkan untuk pawai. Sapi-sapi itu dikendalikan orang Madura yang menjadi pawangnya.

Pawainya bermula dari Nieuw Houtrust, kemudian melewati jalan Oosteinde, Kaca-kaca Wetan, Tamblong, Oude Hospitaalweg, Schoolweg, Merdika, Sint de Ruyterlaan, Engelbert van B-weg, Merdikalio, Cicendo, Residentsweg, Kebon Jukut, Banceuy, Regentweg, Poengkoerweg, Groote Lengkong, lalu kembali ke Kaca-Kaca Wetan.

Bagaimana karapan itu diselenggarakan? Saya mendapatkan laporan dari Sinar Pasoendan dan Sipatahoenan edisi Senin, 7 Oktober 1935. Keduanya melaporkan karapan pada Sabtu dan Minggu (5-6 Oktober).

Dalam Sinar Pasoendan, kita hanya dapat membaca satu berita: “Karapan tea”. Di situ tertulis karapan pada hari Sabtu dan Minggu mendapatkan perhatian sangat besar dari para penonton, karena memang baru sekali itu dihelat di Bandung.

Sedangkan di Sipatahoenan ada dua warta, yaitu “Karapan” dan “Karapan Sapi di Lapang UNI tea”. Pada berita pertama, saya mendapatkan keterangan berbeda, karena disebutkan para penonton cukup banyak, tetapi tidak sesuai dengan ekspektasi sebelumnya, bisa jadi karena baru sekarang ke Bandung ada pacuan sapi seperti itu.

Selain itu, dijelaskan ada 12 ekor sapi yang dipasang-pasangkan sehingga menjadi enam pasang. Mula-mula dilombakan dua-dua, kemudian yang juara melawan juara, yang kalah dengan yang kalah. Sehingga total, karapan sapi diselenggarakan sepuluh kali.

Konon, para penonton tidak menduga sapi dapat berlari demikian kencang, padahal dipakaikan alat di lehernya dengan jarak tempuhnya sejauh 100 meter. Sejauh itu hanya ditempuh selama sembilan detik oleh sapi yang paling cepat larinya.

Rata-ratanya sebelas detik. Adapun hadiahnya uang F. 100 untuk juara pertama, f. 50 untuk juara kedua, dan f. 25 untuk juara ketiga. Sedangkan yang kalah dalam karapan masing-masing diberi hadiah sebesar f. 15.

Menurut berita kedua, semula karapan sapi itu hanya akan dimainkan hingga 6 Oktober 1935. Namun, karena pada 7 Oktober 1935 akan dilaksanakan pemilihan sapi yang menjadi juara dalam karapan, maka sore hari dilaksanakan lagi pertandingan karapan sapi seperti biasa mulai pukul setengah lima.

Orang Jakarta Mengalami Hal yang Sama

Bila ditinjau dari sisi sejarah, karapan sapi memang kerap digelar jauh dari tempat asalnya di Pulau Madura. Biasanya pacuannya diselenggarakan dalam kerangka peristiwa tertentu, misalnya dalam kerangka pasar malam atau Jaarmarkt (bursa tahunan). Saya mendapatkan beberapa contohnya dalam berita-berita surat kabar Soeara Publiek dan Sin Tit Po.

Dalam laporan “Pemboekaan Soerabajasche Jaarmarkt ke 11” (Soera Publiek edisi 26 September 1925), disebutkan “Selaennja karapan sapi dan pertandingan boksen, ini taon tida aken dibikin pesta sport di lapangan jaarmarkt”.

Demikian pula dalam “Karapan sampi di Solo” (Soera Publiek edisi 16 April 1926), dituliskan karapan sapi yang diselenggarakan di Solo pada Sabtu sore dan Minggu pagi menuai kesuksesan, karena sebelum pertandingan dimulai para penonton sudah berjejalan di sepanjang pagar lapangan, termasuk yang duduk di tribun seperti halnya Sri Padoeka Soenan dan Prins Mangkoenegoro.

Sementara dalam perhelatan Pasar Malem Armenzorg yang diselenggarakan di Probolinggo antara 26 Agustus hingga 9 September 1935, beberapa tontonan yang digelar adalah “Krontjong Concours, Carnaval, Adoean-Sapi, Karapan-sapi dan kembang api besar (Sin Tit Po, 31 Juli 1935).

Namun, bisa jadi yang mirip dengan pengalaman para penonton yang hadir di lapangan Nieuw Houtrust antara 5 hingga 7 October 1935, adalah orang Jakarta yang mendapatkan pengalaman serupa 23 tahun kemudian.

Di rubrik pojok “Dipinggir Djalan” dalam koran Pemandangan edisi 19 Agustus 1958 dikatakan demikian: “Jang paling banjak dibitjarakan kini diibu kota adalah perlombaan ‘karapan sapi’ jang didakan buat pertama kali di Djakarta”.

Itu sebabnya, secara bombastis, dalam iklan Sinar Pasoendan dikatakan, “300 taoen lagi beloem temtoe ada”.

Baca juga artikel terkait BANDUNG atau tulisan lainnya dari Atep Kurnia

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Atep Kurnia
Penulis: Atep Kurnia
Editor: Irfan Teguh Pribadi