Menuju konten utama

Kepala Daerah Peraih WTP yang Terjerat Kasus Korupsi

“Opini [WTP] BPK saat ini dijadikan 'tameng' untuk mengelabui publik terhadap perilaku korup para pejabat,” kata Sekretaris Deputi FITRA, Misbah.

Kepala Daerah Peraih WTP yang Terjerat Kasus Korupsi
Bupati Purbalingga Tasdi mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (5/6/2018). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - “WTP [Wajar Tanpa Pengecualian] bukan berarti tidak ada korupsi. Korupsi bisa terjadi dengan modus macam-macam.”

Kalimat tersebut keluar dari mulut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam acara Rakernas Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah, di Jakarta, pada 14 September 2017. Pernyataan Sri Mulyani itu sebagai peringatan agar kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap pejabat BPK atas dugaan pemberian opini WTP untuk laporan keuangan Kementerian Desa tidak terulang kembali.

Sri Mulyani mengatakan, akan sangat memalukan apabila laporan keuangan yang tercatat WTP itu dikotori oleh OTT terhadap pejabat atau pegawai dari kementerian/lembaga ataupun pemerintah daerah. Ia sangat malu apabila itu sampai terjadi.

Tak berselang sembilan bulan, kekhawatiran Sri Mulyani kembali terjadi. Kali ini, bukan lembaga negara atau kementerian, melainkan pemerintah daerah. KPK kembali melakukan OTT terhadap Bupati Purbalingga, Tasdi, pada Senin (4/6/2018). Komisi antirasuah kemudian menetapkan politikus PDIP itu sebagai tersangka perkara korupsi pembangunan Islamic Center.

Menariknya, sebelum ditangkap KPK atas dugaan kasus korupsi, Tasdi tercatat sebagai kepala daerah berprestasi. Ia tercatat berhasil membawa Purbalingga mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) selama dua tahun secara berturut-turut, yaitu 2017-2018.

Secara personal, Tasdi juga termasuk salah satu tokoh politik lokal yang cukup berpengaruh. Salah satunya, ia tercatat sebagai nominator penghargaan dari Berlian Organizer sebagai 21 Tokoh Berpengaruh di Jawa Tengah tahun 2015.

Contoh lainnya adalah mantan Bupati Kutai Kertanegara, Rita Widyasari. Politikus Golkar ini juga tercatat sebagai kepala daerah berprestasi dan berhasil membawa Kutai Kertanegara mendapat opini wajar tanpa pengecualian dari BPK selama lima tahun berturut-turut sejak 2011-2016.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengapresiasi daerah yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian dari BPK. Menurut Febri, pemberian opini berarti menandakan daerah sudah membuat laporan sesuai standar. Akan tetapi, Febri juga mempertanyakan mengapa sejumlah kepala daerah yang berhasil memperoleh opini WTP justru terjerat kasus korupsi.

“Di satu sisi, itu harus diapresiasi terlebih dahulu. Tentu perlu ada usaha untuk mencapai WTP itu. Tinggal persoalannya apakah usaha untuk mencapai WTP itu dengan memperbaiki ke dalam atau usaha-usaha seperti yang pernah dilakukan beberapa instansi,” kata Febri di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (8/6/2018).

Jual Beli Status WTP

Status opini WTP memang bukan jaminan sebuah lembaga bebas dari praktik korupsi. Hal ini terbukti dari sejumlah lembaga atau pemerintah daerah yang selalu mendapat predikat WTP, akan tetapi pimpinan atau kepala daerahnya justru terjerat kasus rasuah. Belum lagi jika status kinclong yang didapat tersebut diperoleh dengan cara-cara yang tidak wajar, seperti jual beli status WTP yang melibatkan pejabat BPK.

Kasus jual beli opini WTP ini kerap terjadi, bahkan sebagian sudah diproses secara hukum. Dalam artikel “Auditor BPK Dalam Pusaran Suap Predikat WTP” yang dirilis Tirto, 30 Mei 2017, terdapat sekitar 23 orang auditor BPK terjerat kasus akibat memberikan opini WTP ini.

Sebagai contoh, Djapiten Nainggolan, mantan Ketua Tim Audit BPK untuk Komisi Pemilihan Umum 2004 itu pernah disebut dalam kasus dugaan korupsi dilakukan Nazaruddin Sjamsudin pada 2005. Auditor yang terlibat menerima Rp555 juta dari KPU saat melakukan audit pengadaan logistik Pemilihan Umum Tahun 2004.

Dana itu kemudian digunakan untuk ongkos 15 orang anggota BPK yang sedang melakukan audit di KPU. Auditor yang menerima uang itu adalah Mochamad Priono, Djapiten Nainggolan, Haedar Rahman, Hilmy, dan Wati. Mereka diberi "ongkos" sebesar Rp11 juta per minggu. Sayang, kasus suap ini tak dibawa ke meja hijau, 15 auditor itu hanya diberi sanksi oleh BPK.

Pada tahun 2010, Suharto, Kepala Sub Auditoriat III BPK perwakilan Jawa Barat dan Kepala Seksi BPK Wilayah Jawa Barat III B, Enang Hermawan. Keduanya menerima uang suap sebesar Rp200 juta dari Kepala Inspektorat Kota Bekasi Herry Lukamanto Hari, serta pejabat Dinas Pendapatan Daerah Kota Bekasi Herry Supardjan. Uang itu diguyurkan agar Suharto dan Enang memberikan predikat WTP atas Laporan Keuangan Kota Bekasi Tahun 2009.

Kasus suap itu menyeret para auditor ke dalam bui. Keduanya divonis 4 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp200 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pindana Korupsi Jakarta. Mereka terbukti menerima suap Rp400 juta untuk memberikan opini WTP terhadap laporan keuangan Pemkot Bekasi tahun 2009.

Infografik CI Rekapitulasi Opini BPK

Opini WTP untuk Menutupi Perilaku Korup Pejabat

Namun demikian, Febri berpandangan, fokus permasalahan jangan mengarah pada kepala daerah melakukan jual beli opini WTP. Febri tidak ingin publik menyamaratakan pandangan bahwa pemberian opini WTP sarat dengan praktik jual beli. Ia hanya berharap agar tidak ada upaya koruptif selain perbaikan tata kelola keuangan.

“Instansi-instansi kita harapkan memperbaiki pelaporan keuangan, itu satu hal positif. Namun melakukan pencegahan tindak pidana korupsi dan memperkuat pengawasan internal itu hal yang jangan dilupakan,” kata Febri.

Hal senada diungkapkan Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarief. Ia menyebut pemberian opini WTP dari BPK terhadap pemerintah daerah atau kementerian dan lembaga tak menjamin ketiadaan praktik korupsi. Ia menerangkan, jaminan nihilnya korupsi tak muncul sebab opini BPK hanya diberikan berdasarkan sampel.

“[Opini] WTP itu tidak serta merta bebas dari korupsi. Jadi mungkin saja itu [korupsi] lolos dari BPK saat audit,” kata Laode, di Jakarta, Jumat (8/6/2018).

Laode menambahkan “jadi WTP pun masih kemungkinan [korupsi terjadi]. Apalagi kalau ini [kasus Purbalingga] kan mereka terima suap, biasanya enggak bisa dideteksi oleh audit," ujar Laode.

Sementara itu, Sekretaris Deputi Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) Misbah mengatakan, bisa saja kepala daerah atau pejabat di lembaga dan kementerian mengejar opini WTI dari BKP hanya untuk menutupi perilaku koruptifnya.

“Opini [WTP] BPK saat ini dijadikan 'tameng' untuk mengelabui publik terhadap perilaku korup para pejabat,” kata Misbah kepada Tirto, Jumat (8/6/2018).

Misbah menerangkan, opini BPK hanya untuk menyatakan bahwa laporan keuangan sesuai prinsip standar akuntansi. Opini tersebut digunakan untuk mencatat semua transaksi dan aset agar tidak berpindah tangan. Namun, opini tersebut kerap digunakan sebagai komoditi politik untuk pencitraan.

“Padahal opini WTP sekalipun, bukan untuk menentukan bersih-tidaknya dari penyimpangan anggaran,” kata Misbah.

Misbah berkata, proses pemberian opini BPK pun seringkali dilakukan secara transaksional. Ia menilai, modus yang digunakan adalah dengan memilih objek pemeriksaan agar opini yang diperoleh daerah WTP.

“Misal proyek pembangunan A senilai sekian miliar, siapapun pemenangnya [seringkali pemenangnya sudah ditentukan sebelum lelang], dia wajib setor 12-15 persen dari nilai total proyek. Kalau dilacak dari pencatatan proyek tersebut pasti rapi, karena sudah disiasati jauh sebelum proyek itu dilaksanakan," kata Misbah.

Karena itu, kata Misbah, pemerintah perlu memperkuat kembali pengawasan anggaran. Saat ini, pengawasan internal 'mati suri' karena power-nya lemah dan secara jabatan di bawah kepala daerah. Menurut dia, pemerintah harus memperbaiki dan meningkatkan pengawasan internal dan independen dalam kinerja keuangan daerah.

Baca juga artikel terkait OTT KPK PURBALINGGA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz