Menuju konten utama
18 Februari 1965

Kemerdekaan Gambia & Perburuan Penyihir oleh Diktator Yahya Jammeh

Sekitar 1.000 orang ditangkap pada Maret 2009 dalam puncak perburuan para penyihir yang dilakukan Presiden Gambia.

Kemerdekaan Gambia & Perburuan Penyihir oleh Diktator Yahya Jammeh
Ilustrasi Mozaik Dalih Perburuan Penyihir. tirto.id/Tino

tirto.id - Tahun 2009 adalah periode memilukan bagi warga Desa Sintet yang berjarak 80 mil dari Banjul, ibu kota Gambia. Ingatan Dembo Badjie, kepala Desa Sintet, melenting ke peristiwa beberapa tahun silam. Saat itu tentara Gambia bersenjata lengkap masuk desa dan menangkapi penduduk secara acak dengan dalih berburu penyihir.

Istri Badjie adalah salah satu yang diciduk dan kembali pulang ke rumah. Tetapi beberapa waktu kemudian ia meregang nyawa. Para tetangga mengatakan kematian istri Badjie disebabkan oleh komplikasi. Badjie sendiri menolak menyebutkan penyebab kematian istrinya.

Penduduk Sintet lainnya, Fatou Dubba, menyebutkan bahwa para tentara juga memukuli warga. “Mereka akan mengejar Anda dan membikin Anda babak belur,” kenang ibu enam anak ini kepada The Washington Post.

Kawanan tentara datang dalam satu minibus dan dua buah truk. Warga yang ditangkapi diangkut ke dalam dua truk tersebut dan dikirim ke Kanila, kota asal Yahya Jammeh, Presiden Gambia kala itu.

Sesampainya di Kanila, warga ditahan di sebuah kompleks dan satu per satu dipaksa untuk minum sebuah cairan pahit di bawah todongan senjata api.

Menurut para petugas, minuman itu bernama Kubejaro yang berasal dari tanaman dengan kandungan halusinogen yang tumbuh di Gambia dan kadang-kadang dipakai tabib tradisional setempat. Beberapa warga memang sudah mengenali tanaman tersebut yang biasanya dipakai para remaja untuk diramu menjadi minuman memabukkan.

“Sebagian besar orang kehilangan akal sehatnya. Ada yang sampai ngompol,” kata Dubba yang pernah ditangkap bersama ibu mertuanya.

Fatou Darbo, korban lainnya mengatakan bahwa setelah tidak sadarkan diri, mereka baru menginterogasi. “Kami ketakutan. Saya tak ingat apa-apa. Setelah minum, mereka memaksa kami untuk mengakui berapa banyak orang yang kami bunuh.”

Nyatanya, efek dari ramuan itu tak cuma menyebabkan halusinasi, tetapi juga mematikan. Istri Badjie diduga tewas akibat ramuan tersebut.

Wawancara dengan lebih dari 20 korban dan lusinan saksi yang dilakukan The Washington Post konsisten menuturkan kengerian yang terjadi di desa itu. Pola yang ditemukan sama, yaitu penculikan, pemukulan, dan pengakuan paksa. Dampak meminum cairan halusinogen juga punya implikasi kesehatan di kalangan korban.

Apa yang terjadi pada penduduk desa Sintet pada 2009 adalah aktivitas perburuan penyihir yang disponsori negara. Tidak masuk akal untuk ukuran dunia modern saat ini, tapi itu sungguh terjadi di Gambia. Banyak penyintas masih dirundung trauma hingga kini.

Diktator Paranoid

Gambia merdeka dari Inggris pada 18 Februari 1965, tepat hari ini 57 tahun lalu. Dengan populasi penduduk sekitar dua juta jiwa, negara di wilayah Afrika Barat ini langsung menghadap ke pantai barat Afrika. Bentang alamnya yang eksotis menjadikan Gambia salah satu destinasi wisata orang-orang kulit putih. The Telegraph menyebut, sekitar 65.000 orang Inggris datang ke negara bekas koloni mereka tiap tahunnya untuk menikmati hamparan pasir pantai berhias pohon-pohon kelapa.

Di antara pemandangan para pedagang kaki lima yang menjajakan pernak-pernik topeng etnik dan jimat voodoo khas suku-suku di Afrika Barat, deretan resor mewah berjejer siap disewa.

Banyak dari warga Gambia masih percaya pada ilmu sihir, gaib atau guna-guna. Pada satu waktu, kepercayaan akan sihir benar-benar membawa petaka bagi penduduk desa Sintet: Yahya Jammeh memerintahkan agar siapapun yang diduga penyihir diberantas.

Sebelum aksi dimulai, para petugas polisi, tentara, paspampres Gambia, dan sejumlah dukun mengadakan rapat. Perburuan besar-besaran para penyihir dimulai pada subuh 9 Maret 2009.

Bersenjatakan bedil dan sekop, gerombolan aparat keamanan dan paramiliter menyisir desa Sintet. Paramiliter yang dimaksud adalah pendukung garis keras Jammeh yang dijuluki “Green Boys”. Mereka berpakaian warna loreng hijau lengkap dengan coretan loreng di muka.

The Guardian melaporkan ada sekitar seribuan warga yang diciduk dan digelandang ke peternakan milik Jammeh. Banyak dari mereka yang dituduh penyihir adalah para petani miskin dan lansia. Selain dipaksa minum cairan halusinogen dan dipaksa mengakui perbuatan sihir, para lansia ini juga dipukuli dengan kejam.

Pada 2009, Amnesty International melaporkan bahwa para korban penangkapan paksa mengalami masalah ginjal serius. Dua orang di antaranya tewas setelah minum cairan halusinogen.

Para perempuan yang tak sadarkan diri dilaporkan diperkosa oleh para aparat keamanan dan dukun-dukun kepercayaan Jammeh. Beberapa lainnya dirampok. Selain itu, puluhan orang melarikan diri ke semak-semak, bahkan menyeberangi perbatasan Senegal.

Dukun yang diduga sebagai pelaku sihir biasanya berakhir di tangan amuk massa dan hukum adat. Tak jarang mereka tewas dalam keadaan yang mengenaskan.

Usut punya usut, pangkal masalahnya memang ada di pikiran Yahya Jammeh sendiri. Ia menduga kematian bibinya ada kaitan erat dengan sihir. Jammeh amat percaya bahwa sihir telah membuat nyawa bibinya melayang.

Jammeh pun mengundang para dukun pemburu penyihir sejak awal 2009. Mereka umumnya didatangkan dari negara Guinea. Diwartakan The New York Times, dukun-dukun tersebut ikut dalam perburuan bersama aparat keamanan sejak Januari hingga Maret 2009.

Yang Mulia Yahya Jammeh

Sama sekali tidak berlebihan menyebut Yahya Jammeh adalah diktator paling eksentrik di dunia. Pangkat militer terakhirnya adalah kolonel. Bersama sejumlah perwira muda Gambia, pada 22 Juli 1994 ia berhasil menggulingkan Dawda Kairaba Jawara, Presiden Gambia pertama.

Jammeh punya gelar panjang, “His Excellency Sheikh Professor Alhaji Dr. Yahya Abdul-Azziz Jemus Junkung Jammeh Naasiru Deen”.

Gelar Alhaji untuk menunjukkan bahwa dirinya sudah naik haji. Sheikh, tentu saja untuk menunjukkan bahwa Jammeh adalah seorang cendekiawan Islam. Rentetan gelar panjang itu dimuat oleh situs resmi Pemerintah Gambia begitu Jammeh berkuasa.

Penampilan Jammeh selaras dengan beratnya gelar yang disandang. Berjubah dan berpeci serba putih, dia selalu terlihat membawa tasbih dan Al-Quran mini, plus sebilah tongkat kayu.

Selama hampir 22 tahun berkuasa, Jammeh kerap mengeluarkan kebijakan absurd. Pada 2007, ia pernah secara sepihak mengklaim telah menemukan obat penyembuh HIV/AIDS. Pada Mei 2008, ia memberlakukan sebuah undang-undang yang mengancam gay dan lesbian dengan hukuman potong leher.

Sejak naik ke tampuk kekuasaan lewat jalan kudeta, setidaknya 27 jurnalis sudah melarikan diri dari Gambia. Lawan politik disingkirkan, beberapa stasiun radio dipaksa tutup. Bahkan seorang jurnalis dibunuh karena vokal menentang undang-undang pembatasan pers pada Desember 2004. Beberapa wartawan lainnya hilang diculik intel. Jammeh sangat membatasi kebebasan pers dengan dalih menjaga perdamaian dan stabilitas bangsa.

Infografik Mozaik Dalih Perburuan Penyihir

Infografik Mozaik Dalih Perburuan Penyihir. tirto.id/Tino

Ketika kampanye perburuan penyihir makin masif, Halifa Sallah seorang tokoh opisisi terkemuka sekaligus Sekjen Partai Organisasi Demokrasi Rakyat untuk Kemerdekaan dan Sosialisme, ditangkap di rumahnya. Ia dituduh sebagai mata-mata. Ia juga didakwa menghina pemerintah lantaran telah menuliskan kegiatan para dukun sewaan Yahya Jammeh untuk berburu penyihir di koran oposisi Foroyya.

Pada pilpres Gambia 2006, Sallah adalah salah satu pesaing Jammeh.

Yahya Jammeh kini sudah lengser dari jabatannya sebagai presiden. Ia kalah dalam Pilpres Gambia 2016 melawan Adama Barrow yang keluar sebagai pemenang menjadi presiden baru Gambia. Selama kampanye 2016, persaingan dibangun dengan memainkan sentimen etnik.

Drama politik sempat terjadi ketika Jammeh tak kunjung menyerahkan kursi presiden sampai hari pelantikan Barrow pada Januari 2017. Pasukan dari negara tetangga Nigeria, Mali, Togo, Ghana dan Senegal bahkan mengepung Gambia untuk menekan agar Jammeh segera mundur.

Dimulainya pemerintahan baru di bawah Barrow juga membuka peluang pengusutan segala tindak pelanggaran HAM masa lalu selama 22 tahun yang ditunjukkan dengan pembentukan Komisi Rekonsiliasi dan Reparasi Kebenaran (TRRC) begitu Jammeh lengser.

Belakangan, pemerintah Gambia menjual beberapa pesawat dan mobil mewah yang pernah dibeli Jammeh. Eyewitness News menyebutkan, hal itu dilakukan guna mengurangi beban tumpukan utang selama Jammeh berkuasa.

"Kami sangat senang sekarang kami memiliki demokrasi," kata Ismailia Bah, seorang sopir taksi di pinggiran ibukota Gambia, Banjul, kepada The Internationalist. Tiba-tiba wajahnya menjadi lebih serius. "Tapi tribalisme juga datang ke Gambia, dan tribalisme itu jahat," pungkasnya mengacu pada kampanye Pilpres 2016.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 2 Juni 2018. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait DIKTATOR atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf & Irfan Teguh Pribadi