Menuju konten utama
Gangguan Ginjal Akut

Keluarga Korban Ginjal Akut: Pak Menkes, Kasus Ini Belum Selesai

Keluarga korban ginjal akut meminta Kemenkes lebih memperhatikan nasib pasien karena masih banyak yang memerlukan perawatan intensif.

Keluarga Korban Ginjal Akut: Pak Menkes, Kasus Ini Belum Selesai
Ilustrasi - Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) Aceh Mellani Subarni membesuk anak-anak pasien gagal ginjal akut yang menjalani perawatan di RSUD Zainoel Abidin, Banda Aceh, Sabtu (22/10). ANTARA/HO-Dokumentasi pribadi

tirto.id - Sheena masih dirawat intensif dengan pengobatan prioritas di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Bocah berusia empat tahun 11 bulan itu masih belum merespons. Tangan dan kakinya kaku. Kendati demikian, ia dalam kondisi sadar.

Sheena merupakan satu dari 9 anak yang masih dirawat akibat gangguan ginjal akut yang disebabkan—setelah investigasi Kemenkes—oleh cemaran etilen glikol pada obat sirop yang dikonsumsi.

Sang bunda, Desi Permatasari, masih terus setia menemaninya. Ia berharap anaknya tetap mendapat perawatan di rumah sakit karena kondisinya yang sama sekali belum pulih.

"Karena saya yakin RSCM rumah sakit besar, rumah sakit bagus, alat-alatnya lengkap, dokternya hebat-hebat, jadi saya masih berharap dan saya yakin dokter bisa mengobati Sheena sampai Sheena sembuh. Itu harapan saya,” ungkap Desi dalam media briefing bertajuk "Derita Korban Obat Beracun: Dinyatakan Sembuh tapi Lumpuh" di Cafe Sadjoe, Jakarta Selatan, Rabu (30/11/2022).

Sheena masuk ke RSCM sejak 10 September 2022 lalu atau sudah hampir tiga bulan. Sebelum masuk RSCM, Shena sempat batuk, pilek, dan demam.

"Saat itu saya bawa dia ke rumah sakit terdekat karena demam panasnya sampai 40 derajat dan dikasih obat sirup parasetamol. Setelah kira-kira dua hari setelah minum obat itu, anak saya muntah, tiba-tiba dia bangun tidur bilang mau pipis, terus dia bilang ‘bunda, aku mau pipis’, tapi enggak bisa keluar," tutur Desi.

Kejadian itu tengah malam tepatnya malam Jumat sekitar pukul 11-12 WIB. Keesokan paginya, Sheena belum juga bisa buang air kecil (BAK) dan masih muntah.

Ia langsung membawa Sheena ke RS yang sama, dirawat selama semalam, serta sempat dipasang kateter untuk diperiksa urinnya namun tetap tidak keluar. Besoknya, karena urin Sheena masih belum juga keluar, dokter lalu melakukan cek darah. Hasilnya, kadar kreatinin urine Sheena tinggi dan harus dirujuk ke RSCM.

Sampai di RSCM pada malam Minggu, Sheena masuk ke unit gawat darurat (UGD) dan kemudian masuk ke ruang pediatric intensive care unit (PICU) khusus anak. Keesokan harinya, Sheena menjalani prosedur cuci darah untuk mengeluarkan racun.

Sheena sempat cuci darah dua kali, karena dia tidak memerlukan bantuan alat apapun waktu masuk ke RSCM dan masih keadaan sadar serta dapat diajak berkomunikasi.

"Dua hari saja di PICU. Lalu karena dia enggak memerlukan alat apapun, dia dinaikkan di lantai perawatan. Di lantai perawatan masih cuci darah. Empat hari atau lima hari di lantai perawatan, tiba-tiba Sheena ngedrop dan hari itu dia harus masuk PICU lagi, dia pasang alat ventilator, yang awalnya dia masih sadar, enggak memerlukan bantuan alat apapun, dia hari itu, hari Minggu, dia harus pasang pakai alat ventilator, dia di PICU," kata Desi.

Pada hari Selasa, ujar dia, Sheena seharusnya ada jadwal cuci darah tetapi tidak bisa karena selang catheter double lumennya mampet. Lalu Desi dihubungi dan disuruh ke PICU untuk bertemu dokter. Dari sana, dokter menjelaskan bahwa kondisi Sheena koma, alami pendarahan hebat, serta kejang-kejang.

Dokter saat itu menyebut keadaan Sheena sempat berat dan sulit untuk kembali seperti semula. Setelah mendapat penjelasan tersebut, ia baru diizinkan untuk melihat anaknya.

"Di situ saya melihat anak saya mengeluarkan banyak darah dari mulut, hidung, dia sangat kejang-kejang. Gimana hancurnya hati saya melihat anak saya seperti itu, ternyata dokter bilang Sheena pendarahan melalui mulut, hidung, dan lambungnya," tutur Desi.

Akibat pendarahan di lambungnya, mengakibatkan tubuh Sheena tidak bisa dimasukkan susu walaupun dengan selang.

"Jadi dia enggak bisa masuk apa-apa. Itu mengakibatkan berat badan dia turun, ya tiga minggu atau hampir sebulan itu dia badannya tinggal kulit sama tulang," ucap Desi.

Seiring berjalannya waktu, Sheena mulai bisa menggerakkan tangan dan matanya.

Akhirnya, kata Desi, setelah hampir dua bulan di PICU, Sheena dipindahkan ke lantai perawatan.

"Keadaan Sheena sadar, matanya terbuka, tapi dia enggak bisa melihat, dia enggak bisa merespons. Badannya kaku, tangannya kaku, kakinya kaku, ada luka di belakang kepala (ulkus decubitus) karena terlalu lama dia tidur di ruang PICU, karena keadaanya waktu itu sangat kritis, jadi mengakibatkan luka di belakang kepalanya," imbuh Desi.

Kasus Ginjal Akut Belum Selesai

Hampir serupa dengan kondisi Sheena, Alvaro Fidelis Sulu juga masih dirawat di RSCM akibat gangguan ginjal aku usai mengonsumsi obat sirop.

Kondisinya sadar namun ia tak lagi mengenal orangtuanya. Ada luka ulkus decubitus di belakang kepalanya akibat terlalu lama berbaring. Alvaro juga masih terpasang selang yang dibolongi di leher.

“Tanpa itu, dia enggak bisa napas mandiri,” ujar Tey David Sulu, sang ayah.

David mengaku hanya dapat membantu mengingat memorinya sembari menyiapkan segala kebutuhan Alvaro.

“Saya ambilkan mainan dia, apapun yang dia mau, saya bawa semua. 'Dek ini mainan'. Dia lihat saya kayak orang asing saja, enggak kenal," ujar David lirih.

Melihat kondisi buah hatinya yang belum juga mengalami kemajuan signifikan, ia meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan perhatian anak-anak yang masih menjalani pengobatan di RSCM, RS lain, dan rawat jalan.

Per Senin, 28 November 2022, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan sebanyak 202 anak di Indonesia meninggal akibat gangguan ginjal akut. Sebanyak 113 anak telah sembuh dan 9 anak masih dalam perawatan akibat penyakit tersebut.

Ia juga berharap anaknya, Alvaro, mendapat penanganan yang lebih intensif lagi.

"Ya tolong lah pemerintah ke sini, kami sudah jatuh, masih ketimpa tangga lagi," kata David.

David juga meminta Kemenkes jangan mengatakan bahwa kasus gangguan ginjal akut sudah selesai di Indonesia. Padahal, kenyataan di lapangan berbeda terutama bagi para keluarga korban.

"Untuk Kemenkes, saya sebagai pribadi dan mewakili semua korban anak-anak AKI ini, tolong dilihat kami, jangan dibikin masalah kasus ini sudah selesai, redup. Ternyata di lapangan beda, enggak sesuai data-data mungkin di Kemenkes," ucap David.

Perlu diketahui, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengklaim Kemenkes sudah menyelesaikan soal kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak di Indonesia. Dia beralasan kasus tersebut sudah turun drastis usai pemberian obat antidotum fomepizole.

"Kalau ginjal akut, dari sisi Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah selesai. Kenapa? Sejak kita berhentikan obat-obatan tersebut itu turun drastis," ucap Budi di Jakarta, Jumat (18/11/2022).

Kenyataannya, imbuh David, masih banyak yang melakukan rawat jalan meskipun sudah dinyatakan sembuh dan mendapat banyak kendala. Selain itu, alur proses untuk memperoleh rujukan juga cukup rumit.

"Mungkin enggak segampang orang luar dengar 'oke, mereka dapat rujukan kok'. Orang tua itu mengambil rujukannya bagaimana dulu? Dari faskes (fasilitas kesehatan) ke faskes, itu rumitnya minta ampun," ucap David.

Kendati demikian, David tetap mengucapkan apresiasi dan berterima kasih kepada RSCM dan tim dokter karena mereka telah mendukung para keluarga korban gangguan ginjal akut dan sudah berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan anak-anak menuju kesembuhan.

Sebagai orang tua, David sendiri sudah ikhlas, sabar, dan menyerahkan semua di tangan Tuhan.

"Cuma bukan berarti kami pasrah melepaskan anak kami yang bisa masih diperjuangkan. Mereka masih ada napas, selagi Tuhan masih mengizinkan orang tua untuk berjuang [untuk] anaknya, apa salahnya?" sambung dia.

Menanggapi keluhan keluarga korban tersebut, Kemenkes menampik pihaknya tak lagi memperhatikan pasien kasus gangguan ginjal akut. Kemenkes memastikan bahwa pemerintah masih terus memantau (monitoring) kasus gangguan ginjal akut pada anak hingga sekarang. Bahkan Kemenkes masih mewaspadai kasus tersebut.

“Masih kita monitoring kasus ini sampai saat ini dan kewaspadaan di RS (rumah sakit),” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi saat dimintai konfirmasi, Kamis (1/12/2022).

“Sistem data melalui diagnosis yang dilaporkan faskes (fasilitas kesehatan) sesuai standar,” imbuh dia.

Kemenkes juga memastikan pasien yang sudah diperbolehkan rawat jalan berarti kondisinya tak memerlukan lagi untuk dirawat inap. Nadia menyebut bahwa tenaga medis yang memberi perawatan bisa menentukannya [rawat jalan atau rawat inap] karena mereka memiliki kewenangan.

Bagaimanapun, David dan Desi, sebagaimana orang tua korban ginjal akut lain, sesungguhnya tak bermaksud membandingkan-bandingkan penyakit. Mereka hanya berharap pemerintah lebih memperhatikan korban gangguan ginjal akut yang menimpa anak-anak mereka.

"Kita ini sebenarnya kalau mau disalahkan, saya pribadi enggak mau disalahkan, anak saya bukan [terkena] penyakit, ini diracun. Kami ingin [anak] sembuh tapi ternyata kami kasih anak kami sendiri racun," tandas David.

Baca juga artikel terkait GANGGUAN GINJAL AKUT atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri