tirto.id - Pada sebuah seremoni di bulan Januari 2010, mendiang Steve Jobs meluncurkan produk baru bernama iPad, yang kini jadi produk fenomenal lansiran Apple. Adam Alter dalam bukunya berjudul “Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Hooked" mengutip ucapan Jobs soal iPad sebagai “perangkat yang luar biasa, yang menawarkan cara terbaik menjelajah web, lebih baik daripada laptop dan juga smartphone.”
Selama sembilan menit berdiri di panggung peluncuran iPad, Jobs mengungkap semua alasan “mengapa iPad merupakan perangkat yang baik untuk melihat foto, mendengarkan musik, menghadiri sesi perkuliahan di iTunes U, bermain Facebook, bermain gim, dan menjalankan ribuan aplikasi.” Atler percaya saat itu Jobs tengah mengerahkan kekuatannya "untuk meyakinkan semua orang memiliki iPad".
Namun, Alter lantas merujuk hasil wawancara Jobs dengan Nick Bilton, jurnalis The New York Times, yang menyatakan si pendiri Apple itu melarang anak-anaknya menggunakan iPad. “Kami membatasi berapa banyak teknologi yang bisa digunakan anak-anak di rumah,” kata Jobs. Ucapan Jobs ini tentu memunculkan pertanyaan. Belakangan diketahui, sikap Jobs ini dikaitkan dengan persoalan candu gawai.
Alter, masih dalam bukunya itu, mengatakan teknologi melahirkan “tech zombie epidemic” yang disebabkan oleh kecanduan teknologi yang tak berkesudahan. Menurutnya, ada sensasi semacam “berapa banyak ‘likes’ yang saya dapatkan” ketika membuka Facebook atau Instagram. Juga pertanyaan “apakah rekan saya telah membaca dan membalas” ketika membuka e-mail atau WhatsApp. Sensasi inilah yang menjadi salah satu penyebab generasi masa kini membuka smartphone seratusan kali dalam sehari.
Kenapa teknologi bisa menjadi candu bagi penggunanya?
Raian Ali, Associate Professor dari Bournemouth University, pada tulisannya di World Economic Forum, mengatakan perusahaan teknologi digital, menggunakan satu rangkaian teknik persuasif untuk membuat para penggunanya terus-terusan menggunakan teknologi.
Ada empat teknik persuasif yang digunakan, antara lain Scarcity. Teknik ini, pembuat teknologi ingin membuat teknologi mereka seolah-olah “langka.” Contoh yang paling mudah ialah Stories yang tertanam di Facebook, Instagram, dan WhatsApp.
Stories merupakan teknologi yang memungkinkan pengguna pada ketiga platform membagi status mereka dengan batasan waktu, umumnya selama 24 jam, dan lantas status menghilang ketika batasan waktu tercapai. Seolah-olah, si pencipta teknologi ingin bilang: “ayo buruan, keburu hilang statusnya”
Selain Stories, teknik ini pun bisa digunakan misalnya dalam melahirkan edisi khusus atau edisi spesial, dengan membuat produk dengan jumlah terbatas dan diniatkan agar konsumen buru-buru membeli.
Teknik persuasif berikutnya demi membuat pengguna kecanduan ialah social proof. Misalnya pada Twitter, platform microblogging, merupakan tempat terbaik melihat bagaimana teknik ini bekerja. Saat seseorang mengunggah status, Twitter memberikan statistik terkait status tersebut, seperti: jumlah likes, jumlah retweet, dan jumlah komentar. Statistik ini, merujuk analisa Ali, yaitu ingin menggiring pengguna lainnya untuk terlibat aktif dalam tiap status yang diunggah.
Selain itu, ada teknik personalisation sebagai teknik yang membuat teknologi yang lahir dirancang sesuai dengan kebutuhan atau kepribadian pengguna. Aplikasi Go-Jek misalnya, pada “home-screen” bisa diubah sesuai kehendak pengguna. Ada juga teknik reciprocity, cara ini sebagaiskema timbal-balik yang diberikan produsen teknologi manakala pengguna ikut mempromosikan produk mereka. Umumnya, teknik ini sering digunakan dalam dunia video gim.
Namun, menurut Ali, secara umum perusahaan teknologi menerapkan FoMO alias fear of missing out, atau dalam bahasa sederhana disebut “takut ketinggalan zaman” dalam penciptaan teknologi mereka. Pengguna membeli atau menggunakan suatu teknologi karena tidak ingin dicap ketinggalan zaman.
Alter, masih dalam bukunya, mengatakan kecanduan pada teknologi bisa disederhanakan oleh dua sebab: obsesi dan sifat paksaan. Obsesi merupakan perasaan tak ingin berhenti atas suatu hal, dalam hal ini teknologi. Sementara sifat paksaan merupakan sebab mengapa obsesi terjadi. Mengapa bisa terjadi?
Dalam bukunya, Alter mengutip wawancara dengan Greg Hochmuth, salah satu teknisi awal Instagram, Alter mengatakan selain merancang layanan atau produk inti teknologi para teknisi memang merancang “mesin kecanduan” bagi penggunanya “yang seperti organisme, membuat orang-orang menjadi terobsesi.”
“Instagram, seperti platform media sosial lain” diciptakan tak memiliki tepi bawah. Facebook tidak memiliki ujung newsfeed. Netflix secara otomatis berpindah ke video berikutnya ketika video yang sedang disaksikan pengguna telah habis,” kata Alter mencontohkan sifat paksaan yang telah dirancang sejak awal oleh pencipta teknologi.
Bahayanya Kecanduan Teknologi
Ada banyak sub-teknologi yang membikin para penggunanya kecanduan, salah satunya yakni video gim. Psikolog A. Kasandra Putranto mengamini masuknya kecanduan gim sebagai gangguan mental. Namun, ia menekankan kecanduan gim bisa dimasukkan ke dalam kategori gangguan mental jika ciri-ciri gangguan tersebut terpenuhi. Menurutnya seperti disampaikan kepada Tirto, ciri-cirinya adalah “tidak bisa mengendalikan dorongan, penggunaan yang berlebihan, mengabaikan aturan yang ada, mengorbankan biaya dan kepentingan lain bahkan keluarga dan teman.”
Selama ini, menurut Kasandra, kecanduan gim dimasukkan ke dalam kelompok gangguan kendali impuls oleh kalangan psikolog. Gangguan kendali impuls atau impulse control disorder (ICD) merupakan kelainan psikiatris yang ditandai dengan kegagalan individu menahan godaan, dorongan, atau hasrat. Umumnya, gangguan kendali impuls akan menyebabkan penderitanya mengalami kerusakan fungsi sosial, termasuk terbengkalainya pekerjaan.
Selain video gim, internet merupakan sub-teknologi lainnya yang membuat penggunanya tak berdaya menahan godaan untuk kecanduan. Fuchun Lin, dalam papernya berjudul “Abnormal White Matter Integrity in Adolescents with Internet Addiction Disorder: A Tract-Based Spatial Statistics Study,” mengatakan pengguna internet sangat mungkin mengalami masalah bernama internet addiction disorder (IAD) atau gangguan kecanduan internet. Ini merupakan gangguan yang membuat penderitanya kehilangan kendali dalam menggunakan internet.
Pada orang-orang yang terkena IAD, merujuk penelitiannya pada 17 orang yang terkena IAD dan membandingkannya dengan 16 orang yang tidak terkena IAD, Lin menemukan adanya pola aneh di area “white matter” bila dibandingkan orang-orang yang tidak terkena IAD.
“White matter” merupakan area di otak yang berisi serabut saraf yang mentransmisikan sinyal ke bagian lain otak. Gangguan yang ada di area ini mengakibatkan gangguan emosi, kemampuan pengambilan keputusan, dan pengendalian diri. Pola aneh yang ditemukan di “white matter” pada orang-orang yang terkena IAD sejurus dengan orang-orang yang kecanduan alkohol, sabu-sabu, hingga ganja.
Kecanduan teknologi bisa berbahaya, dan diakui oleh perusahaan teknologi seperti Facebook melalui publikasi di blog resminya. David Ginsberg, direktur penelitian Facebook, dalam tulisannya mengatakan “secara umum, ketika orang-orang banyak menghabiskan waktu secara pasif untuk mengonsumsi informasi (seperti membaca newsfeed Facebook) mereka melaporkan adanya perasaan buruk.”
Salah satu langkah yang dilakukan Facebook, di Agustus 2018 ini, ialah merilis fitur pengingat waktu. Sebagaimana dikutip dari Straits Time, “alat pengingat waktu dapat digunakan untuk membantu para pengguna Facebook mengatur waktu mereka.”
Senada dengan Facebook, Google mengeluarkan inisiatif bernama “digital wellbeing.” Salah satu turunan inisiatif ini ialah meluncurkan fitur pengukur waktu, khususnya bagi pengguna YouTube. Pengguna YouTube akan diingatkan melalui aplikasi apabila mereka berlebihan mengonsumsi video-video yang ada di YouTube. Di layanan Gmail, Google bisa membuat penggunanya hanya memperoleh notifikasi dari email-email tertentu semisal dari rekan kerja. Ini dilakukan Google, merujuk klaim mereka, “untuk meningkatkan kualitas hidup”.
Pertanyaannya apakah kita sebagai pengguna sadar dan mau membatasi diri dari kecanduan teknologi yang bisa mengurangi kualitas hidup?
Editor: Suhendra