tirto.id - Seorang anak laki-laki berusia delapan tahun di Bekasi, Jawa Barat, menjadi terduga pelaku dugaan kasus kekerasan seksual terhadap setidaknya empat orang bocah lain. Anak yang menjadi korban dalam kasus ini, juga laki-laki dan berusia di bawah pelaku.
Kasus ini naik ke permukaan sekitar awal pekan, Selasa (10/6/2025), setelah kasusnya masuk penyidikan Satreskrim Polres Bekasi Kota. Salah satu ibu korban, bahkan sempat membuat pernyataan yang ramai di media sosial pada Jumat (6/9/2025).
Dalam cerita lewat rangkaian foto di media sosial, sang ibu menceritakan kalau anaknya yang belum genap berusia lima tahun, tiba-tiba enggan beribadah dan menginap di rumah kakek dan neneknya. Anaknya yang biasa bergegas ke masjid begitu azan berkumandang, kini bahkan tidak mau lagi salat Jumat. Ketika ditanya, anaknya mengaku jika rekan mainnya melakukan sodomi.
Mendengar kabar tersebut ayah sang anak langsung menghubungi orang tua dari terduga pelaku. Dari situ diketahui kalau pelaku masih duduk di bangku SD, tapi sudah melakukan aksi sodomi ke korban sebanyak tiga kali. Ibu korban menceritakan kalau kemudian dilakukan pertemuan dengan pihak kecamatan, RT, dan RW setempat. Namun, pertemuan itu ternyata bukan mencari solusi malah berisikan edukasi. "Saya butuh solusi bukan edukasi," tulis pesan ibu korban tegas di salah satu unggahannya di media sosial.
Tidak puas dengan "musyawarah" di kecamatan, ibu korban bersama orang tua korban lainnya akhirnya memutuskan mengadukan kasus Polres Metro Bekasi. Namun, di Polres Metro Bekasi laporannya ditolak dan disarankan untuk ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA). Di sana, pendekatan yang dilakukan adalah konseling untuk korban. Sementara pelaku sodomi, karena juga masih berusia di bawah 12 tahun, juga akan mendapat konseling.
Komisi Perlindungan Anak Daerah Bekasi (KPAD) Bekasi, Novrian, menyebut pihaknya sudah berkoordinasi dengan kepolisian untuk penanganan kasus tersebut. Bahkan, korban dan terduga pelaku sudah diterima.
"Pun sudah divisum. Sudah diperiksa, kejadian ini terjadi sebulan lalu. Korbannya diduga ada empat orang, tapi yang speak up baru dua. Usia korban enam tahun dan lima tahun. Tapi laporan dari orang tua korban baru diterima sekitar 1 minggu lalu," ujar Novrian yang sempat Tirto rangkum, Selasa (10/6/2025).
Novrian mengemukakan, sejauh ini terduga pelaku mengaku bahwa dirinya melakukan sodomi karena pernah menjadi korban perbuatan yang sama. Kemudian, terduga pelaku merasakan ada sensasi yang berbeda saat melakukan itu.
"Dia (terduga pelaku) juga sering nonton film porno," ucap Novrian.
Novrian menjelaskan, dalam upaya memperoleh kronologis peristiwa, pihaknya tidak mengedepankan pendekatan pidana, melainkan pendekatan rehabilitasi. ”Karena anak, baik pelaku maupun korban, adalah pihak yang harus dilindungi,” ujarnya.
Proses Hukum Berbasis Pemulihan
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, mengatakan pihaknya telah berkoordinasi untuk penanganan kasus ini dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan kepolisian.
Dian menyebut perkara ini dapat diproses melalui mekanisme khusus yang melibatkan tiga unsur penting; penyidik kepolisian, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional. Ketiga profesi ini akan bersama-sama mengambil keputusan dengan mempertimbankan hasil pemeriksaan dan penelitian masing-masing.
Pembagian tugasnya kurang lebih; penyidik kepolisian akan melakukan pemeriksaan perkara secara profesional dan berperspektif perlindungan anak; pembimbing kemasyarakatan akan melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, dan pengawasan anak; dan pekerja sosial profesional akan menyusun laporan sosial dan melakukan pendampingan terhadap anak korban maupun anak saksi.
“Pemahaman publik yang benar mengenai mekanisme ini sangat penting, agar tidak terjadi penilaian keliru seolah-olah anak dibiarkan tanpa penanganan,” ucap Dian lewat pesan singkat kepada Tirto, Kamis (12/6/2025).
Dian menambahkan, terkait tindak lanjut terhadap anak yang melakukan kekerasan, terdapat dua opsi yang dapat diambil. Antara mengembalikan anak kepada orang tua/wali dengan kewajiban pengawasan ketat atau bimbingan berkelanjutan.
Masing-masing opsi tersebut nantinya dengan prasyarat yang ketat, termasuk jaminan lingkungan yang mendukung pemulihan dan perubahan perilaku anak secara positif. Termasuk memastikan ada koreksi dan penguatan keterampilan pengasuhan di keluarga anak yang bersangkutan.
Menteri PPPA, Arifah Fauzi, menegaskan tidak boleh mengabaikan hak atas rasa aman, perlindungan, dan keadilan bagi anak korban. Semua hak itu harus dipenuhi.
"Negara harus berpihak secara tegas kepada korban, sekaligus menjalankan proses hukum terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH) dengan pendekatan yang adil, edukatif, dan tidak diskriminatif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)," kata Arifah, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (11/6/2025).
Arifah juga menanggapi pengaduan terkait pelaksanaan tugas kepolisian dan Dinas PPPA dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Menurut dia hal tersebut terjadi karena masih belum meratanya pemahaman antarinstansi.
Terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak di bawah usia 12 tahun, Arifah juga menekankan pentingnya diversi sebagai proses hukum berbasis pemulihan. “Diversi bukan semata-mata pengalihan perkara, tetapi proses hukum yang berbasis pemulihan. Dibutuhkan penelitian sosial (litsos) yang kuat dari Pekerja Sosial dan pendampingan dari Pembimbing Kemasyarakatan Bapas agar tindakan pembinaan yang diputuskan tidak hanya melindungi kepentingan pelaku, tetapi juga menjamin pemulihan bagi korban," ujar Arifah.
Berdasar tinjauan hukumnya, baik korban maupun pelaku, dalam kasus kekerasan seksual di Bekasi, keduanya adalah korban. Kepala Bidang Advokasi dan Program Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Yudi Supriadi, menyebut hal ini karena dua pihak masih berusia di bawah 12 tahun.
Berdasarkan Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), kasus kekerasan seksual di Bekasi harus menggunakan sistem diversi atau pengembalian ke keluarga dan lingkunganya. Menurut UU SPPA tidak bisa dilakukan pemidanaan. “Baik pelaku atau korban diberikan dukungan psikologis supaya tidak terbebani secara mental yang berkelanjutan,” ucap Yudi, kepada Tirto, Kamis (12/6/2025).
Diversi sendiri merupakan upaya penyelesaian konflik tidak melalui jalur pidana, tetapi lewat pendekatan kekeluargaan. Diversi sendiri memiliki tiga tahapan yakni, melalui kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Menurut UU SPPA, anak berusia di bawah 12 tahun tidak masuk kategori Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Yudi menambahkan, hal paling penting dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak adalah keterlibatan orang dewasa di sekitarnya sebagai role model atau pengawas. Langkah ini juga harus disertai penyelesaian luka batin atau trauma terutama terhadap korban. Sedangkan pelaku anak harus mendapatkan terapi reduksi perilaku agar memastikan anak tetap mendapatkan hak dasar.
Yudi menyebut pendekatan ini diperlukan agar anak kembali mempunyai nilai diri yang bagus dan kembali bersosialisasi dengan teman sebayanya. Sedangkan bagi orang dewasa, kontrol sosial harus disepakati di lingkungan tersebut terkait akses media sosial dan relasi ketimpangan gender.
“Urun rembuk di kawasan tersebut untuk menjadikan ini sebagai sarana edukasi yang memang punya perspektif perlindungan anak,” imbuhnya.
Anak Tidak Bisa Dianggap Sebagai Pelaku
Psikolog Anak dan Remaja, Sani Budiantini Hermawan, menegaskan anak tidak bisa dijadikan sebagai pelaku. Pasalnya anak merupakan korban dari sistem yang salah secara pengawasan, pembelajaran, dan pemantauan orang tua.
“Sangat memprihatinkan karena korban anak dan korban pelaku anak juga berasal dari kalangan anak-anak,” ujar Sani kepada Tirto pada Kamis (12/6/2025).
Menurut dia perlu ditelusuri penyebab anak melakukan suatu tindak kekerasan seksual dengan mencari akar masalahnya. “Apakah dia karena banyak nonton film dan melakukan perilaku imitasi? Ataupun menjadi korban sebelumnya?” tuturnya.
Sani juga mengatakan anak dari dua sisi kasus ini dapat menghadapi kesulitan perkembangan secara emosional, sosial, intelektual, dan prestasi. Anak dapat menarik diri dari sosial dan bisa saja mengalami trauma seumur hidupnya. Oleh karenanya, kasus ini membutuhkan intervensi secara komprehensif.
Dalam kapasitasnya sebagai psikolog, dapat dilakukan pendampingan dengan asesmen melalui wawancara mendalam dengan metode khusus. Hal ini dibutuhkan untuk membuat anak mengungkapkan apa yang dirasa, diikuti dengan terapi emosi. Sani mencontohkan anak dapat mengikuti play therapy.
Lebih lanjut dia mengatakan kalau keluarga tidak boleh menyalahkan anak. Sebab sumber dari masalah ini tetap adalah orang dewasa di sekitarnya, sistem yang keliru, pengawasan yang tidak pas, atau pendidikan yang kurang.
“Jadi yang (perlu) dilakukan keluarga adalah menerima anak dengan genuine, dengan tanpa syarat. Unconditional love,” ucap Sani.
Hal Ini menjadi penting, terutama saat anak akan menghadapi masa-masa sulit. Proses penyidikan misalnya. Ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan anak sangat wajar dialami anak.
Masa sulit ini umum berlangsung selama tiga bulan pertama dan enam bulan kemudian sudah mulai mereda. Dengan pendekatan yang tapat, dalam waktu satu tahun, anak sudah bisa kembali ke kegiatan rutin seperti biasa.
Sani juga menyarankan agar orang tua berkoordinasi dengan psikolog. Hal ini terkait kegelisahan anak agar bisa menerima pengobatan (healing) dengan kegiatan yang menyenangkan. Harus dibentuk sistem pendukung seperti kegiatan bersama agar anak tidak merasa sendiri. Hal ini juga berlaku baik sisi pelaku maupun korban.
Penulis: Faisal Bachri
Editor: Alfons Yoshio Hartanto