Menuju konten utama

Kasus Hasto & Fenomena Pejabat Cengengesan saat Terjerat Korupsi

Apa alasan pejabat dan elite politik justru tersenyum meskipun sudah menjadi tersangka kasus korupsi?

Kasus Hasto & Fenomena Pejabat Cengengesan saat Terjerat Korupsi
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (kiri) dihadirkan saat konferensi pers penahanan tersangka di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/2/2025). ANTARA FOTO/Fauzan/tom.

tirto.id - Siapa tidak jengkel ketika melihat elite politik dan pejabat kita masih bisa cengengesan - meski statusnya merupakan tersangka korupsi dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?

Pemandangan ini, kerap kali tersorot di layar kaca saat KPK mengumumkan status penahanan tersangka korupsi. Para pejabat dan elite masih tampak santai dan bahkan cengengesan, seolah tak merasa malu dengan tindakan yang sudah mereka perbuat.

Budaya malu, yang seharusnya menjadi penghalang untuk melakukan tindakan koruptif, tampak sudah pudar. Para elite dan pejabat cenderung menunjukkan perilaku seolah tidak ada yang perlu dipermasalahkan meski telah melanggar hukum.

Perilaku tersebut kontras dengan masyarakat biasa yang hidup dalam ketakutan akan hukum. Bagi mereka, setiap kesalahan kecil dapat berujung pada hukuman berat. Namun, pejabat atau elit politik yang terjerat kasus korupsi ini, malah memperlihatkan sikap yang menentang kewajaran.

Sikap tak bersalah ini diperlihatkan oleh Politisi PDIP, Hasto Kristiyanto, baru-baru ini. Usai resmi ditahan KPK, pria berusia 58 tahun itu terlihat masih bisa tersenyum dan cengengesan meski dalam kondisi ditahan. Bahkan ia tampak mengepalkan kedua tangannya yang terborgol dengan menandakan sapaan kepada awak media.

Hasto menyebut dirinya menerima penahanan tersebut dengan kepala tegak. Ia bahkan tak pernah menyesal terkait dengan penahanannya dan mengharapkan KPK dapat menegakkan hukum kepada pihak lainnya, termasuk keluarga mantan Presiden Jokowi.

“Sehingga saya tidak pernah menyesal saya akan terus berjuang dengan api yang menyala-nyala,” kata Hasto saat hendak masuk ke mobil tahanan KPK pada Kamis (20/2/2025) malam.

Hasto sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus suap yang menyeret buronan Harun Masiku pada Selasa (24/12/2024) lalu. Eks Sekjen PDIP itu dijerat dengan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU Tipikor. Hasto juga dijerat sebagai tersangka dalam kasus perintangan penyidikan.

KPK tahan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (kiri) berjalan menuju ruang konferensi pers penahanan tersangka di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/2/2025). ANTARA FOTO/Fauzan/tom.

Di luar kasus Hasto, sikap tak bersalah dan cengengesan juga pernah dipertontonkan dalam kasus korupsi berjamaah di DPRD Kota Malang. Ketika ditangkap KPK, puluhan anggota DPRD Kota malang masih nampak cengengesan, senyam-senyum seakan memakan duit rakyat itu enak.

Dalam kasus korupsi berjamaah dari 45 anggota DPRD Kota Malang, 40 di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi oleh KPK. Jumlah tersangka dalam kasus ini lebih besar daripada korupsi berjemaah yang terjadi di Sumatera Utara. Di mana KPK hanya menetapkan 38 dari 100 anggota DPRD Sumatra Utara sebagai tersangka kasus suap.

Jauh sebelum kasus di atas, mantan Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), M Sofyan, juga sempat menunjukkan sikap serupa. Sofyan saat itu hanya tersenyum-senyum saat dirinya sedang diantar ke mobil tahanan KPK. Sofyan sendiri diketahui merupakan tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan anggaran di kementerian itu pada tahun anggaran 2009.

Dalam kasus Hasto, Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, melihat sikap santai dan cengengesan ditunjukkan oleh politisi PDIP itu, karena ia berpikir bahwa kasus tersebut merupakan bagian dari politisasi hukum. Sehingga, Hasto merasa tidak takut dan seolah menunjukkan keberanian. Bahkan, bisa jadi ia malah menyepelekan kasus ini karena merasa bahwa kasus ini bentuk politisasi hukum.

“Tapi kan lebih susah membuktikan bahwa ini politisasi hukum apa bukan. Daripada membuktikan Hasto korupsi atau tidak, atau terlibat di kasus ini,” terang Kunto kepada Tirto, Jumat (21/2/2025).

Dalam penahanan Hasto semalam, KPK sudah menegaskan tak ada politisasi terkait penahanan Hasto Kristiyanto selaku tersangka kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan. Mengingat penyidik mempunyai alasan objektif dan subjektif untuk menahan seorang tersangka, termasuk pertimbangan kecukupan alat bukti dan barang bukti.

“Sehingga kami melaksanakan ini hanya berdasarkan kepentingan penegakan hukum," ujar Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/2/2025) malam.

Di Balik Sikap Cengengesan

Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat setidaknya ada dua alasan kenapa pejabat dan elite politik justru tersenyum meskipun sudah menjadi tersangka kasus korupsi. Pertama, dia merasa ada kekuatan politik yang melindunginya.

Perlindungan politik ini mulai dari pengurangan vonis tahanan dan denda, mendapat berbagai remisi, hingga fasilitas nantinya di sel tahanan. “Kita sudah banyak melihat kasus politisi yang memiliki sel mewah,” ungkap dia kepada Tirto, Jumat (21/2/2025).

Alasan kedua, politisi ini psikologi mirip dengan artis yang tidak ingin tampil buruk di depan kamera. Jadinya, mereka ini sudah terbiasa untuk memberi senyum di kamera. Ini memang paradoks karena senyum itu justru memiliki dampak negatif bagi citra mereka sendiri.

Dua hal itu menurut Musfi, yang menjadi akar dari hilangnya rasa malu banyak politisi. Mereka tidak merasa berdosa atau merasa bersalah ketika melakukan korupsi. Bahkan di obrolan warung kopi para politisi, terkena kasus korupsi mereka ibaratkan sepeti sedang apes saja.

“Coba bayangkan, korupsi itu tidak dibahas sebagai suatu dosa, tapi sebagai nasib sial karena terciduk,” ujar dia.

Ini kemudian diperkuat dengan budaya politik Indonesia yang sangat pemaaf dan pelupa. Politisi yang terkena korupsi dapat dengan mudah kembali ke partai dan berpolitik, dan bahkan dapat terpilih lagi di Pemilu.

Kunto Adi menambahkan, masih banyaknya pejabat dan elite politik ketika menggunakan rompi orange merasa tidak bersalah dan cengengesan, karena memang kultur dan budaya ditanamkan mereka adalah budaya korupsi. Maka, ketika kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan atas kasus korupsi, mereka hanya sedang apes saja.

“Jadi sederhananya cuma apes saja ‘saya tidak bersalah’ kan gitu. Karena [pikirnya] iya tinggal saya nyanyi saja paling juga beberapa tahun juga keluar,” ungkapnya.

Hasto Kristiyanto penuhi panggilan KPK

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan saat tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/2/2025). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.

Sikap para pejabat dan elite politik itu juga seolah meremehkan. Mereka berpikir bahwa ketika ditahan oleh KPK, tinggal mengajukan grasi hukuman, sehingga hukuman diterima singkat dan tidak sebanding dengan kejahatan yang sudah dilakukan.

“Bahkan banyak yang setelah keluar dari penjara juga terjun lagi ke dunia politik dan tidak sedikit dan moncer-moncer saja tidak ada masalah. Jadi mereka tidak merasa ini adalah sebuah hukuman yang berat atau sesuatu yang menakutkan,” kata Kunto.

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, mengatakan pejabat yang terbiasa memiliki kuasa sering kali mengalami illusion of invulnerability, yaitu perasaan kebal terhadap konsekuensi. Ini bisa membuat mereka bersikap santai bahkan dalam situasi yang mengancam reputasi dan kebebasan mereka.

Selain itu, di lingkungan elite, ada norma yang berbeda dengan masyarakat umum. Rasa malu dan penyesalan yang biasa dirasakan oleh orang awam, bisa jadi tidak terlalu kuat di antara mereka karena seringkali korupsi dianggap biasa, bahkan bagian dari sistem.

“Karena mereka masih memiliki jaringan sosial yang kuat untuk membantu mereka keluar dari masalah hukum. Ada kepercayaan diri bahwa mereka tidak akan benar-benar dihukum berat,” kata Wawan kepada Tirto, Jumat (21/2/2025).

Wawan menyebut, sikap cengengesan para koruptor saat ditangkap bukan hanya ekspresi individu, tetapi juga refleksi dari budaya politik, norma sosial di kalangan elite, dan mekanisme psikologis yang melindungi harga diri mereka.

Sementara masyarakat biasa yang berurusan dengan hukum cenderung takut karena mereka tidak memiliki jaringan perlindungan yang sama. Sedangkan para elite ini merasa masih punya backup—entah dari sistem hukum yang bisa dinegosiasikan atau dari dukungan politik yang mereka miliki.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang