tirto.id - Beberapa hari lalu Brigpol DS, polisi yang bertugas di Polrestabes Makassar dipecat karena swafoto miliknya tersebar di media sosial. Swafoto itu tersebar setelah DS mengirimkannya ke seorang pria yang mengaku berpangkat Kompol dan bertugas di Lampung.
Namun, setelah ditelusuri, pria itu adalah seorang narapidana di sebuah lembaga pemasyarakatan yang memalsukan identitas saat berkenalan. DS dipecat karena dianggap telah melanggar kode etik kepolisian. Setelah DS menolak memberikan uang pada si penipu, foto seksinya tersebar.
Anggota Kompolnas Poengky Indarti menilai bahwa kasus yang dialami oleh DS tersebut sudah melalui proses hukum internal Kepolisian Republik Indonesia (Polri), yakni proses disiplin dan kode etik.
“Sehingga dengan dilakukannya proses hukum tersebut, Polri tidak gegabah dan tidak sewenang-wenang dalam membuat keputusan. Proses hukum tersebut juga mendengar keterangan saksi-saksi dan memeriksa bukti-bukti,” ungkap Poengky.
Menurut Poengky, DS yang saat itu berstatus polisi mestinya bisa menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan pribadi, institusi, dan negara, sehingga harus berhati-hati dalam bersikap. Apalagi dalam kasus ini, ujar Poengky, DS belum pernah bertemu dengan pelaku penyebar foto.
“Sebagai seorang perempuan, apalagi yang bersangkutan anggota Polri, harus berhati-hati dalam berinteraksi dengan orang lain. Jangan sampai salah melangkah,” tuturnya.
Meski begitu, Poengky berpendapat bahwa DS bisa melaporkan masalah yang ia alami melalu proses pidana. Apalagi penipu tersebut merupakan seorang narapidana, sehingga bisa diproses dengan mudah.
Bahaya Sekstorsi
Kasus yang dialami oleh DS merupakan salah satu bentuk nonconsensual pornography yang dinamakan sekstorsi.
Artikel berjudul “Closing the Sextortion Sentencing Gap: A Legislative Proposal” (PDF) yang ditulis oleh Benjamin Wittes bersama DAN 3 orang rekannya, menyatakan bahwa kasus sekstorsi mirip dengan kekerasan seksual yang terjadi secara fisik, sebab kasus ini merupakan kejadian yang dipaksakan atau tidak diinginkan oleh korban.
Kasus ini bisa terjadi lewat dua cara, yakni melalui hubungan tatap muka dan hubungan online. Kedua cara ini memiliki perbedaan dalam kecepatan ancaman, sifat ancaman, dan penyelesaian masalah. Dalam penelitian berjudul “Sextortion: Findings From A Survey of 1.631 Victims” yang ditulis oleh Janis Wolak dan David Finkelhor (PDF), disebutkan bahwa sekstorsi yang terjadi dalam hubungan tatap langsung umumnya terjadi karena pelaku terlibat, atau pernah terlibat, atau menginginkan hubungan asmara dengan korban. Sedangkan yang terjadi pada DS, adalah sekstorsi tidak langsung karena pelaku dan korban tidak pernah bertemu.
Dalam sekstorsi online, pelaku akan merayu dan meyakinkan bahwa dia mencintai korban. Setelah mendapat yang dimau, pelaku tak akan berhenti sampai di sana. Dia akan terus memaksa korban dan meminta hal lain. Dalam kasus DS, pelaku meminta sejumlah uang. Pemaksaan itu disertai ancaman bahwa foto atau video korban akan disebar.
Wolak dan Finkelhor menemukan bahwa 77 persen korban sekstorsi adalah perempuan, baru diikuti laki-laki (20 persen) dan jenis kelamin lain (3 persen). Sekitar 43 persen korban masih berusia 17 tahun.
Sektorsi memang tak menimbulkan luka fisik bagi korbannya. Namun Wittes, dkk menyampaikan bahwa kasus ini membawa dampak psikologis yang cukup serius karena rasa malu pada lingkungan sekitarnya. Tak hanya itu, korban pun akan selalu merasa tak aman saat di lingkungan sosialnya.
Polisi Harusnya Memberi Perlindungan Hukum
Aktivis perempuan Tunggal Pawestri menghormati etik dari kepolisian. Namun, Tunggal berharap bahwa polisi tetap memberikan perlindungan hukum terhadap DS.
“Meski korban tidak melapor, pelaku penyebaran tetap harus diperiksa,” tutur Tunggal.
Tunggal mengatakan bahwa apa yang menimpa DS masuk dalam kejahatan digital (cyber crime), karena pelaku menyebarkan foto di dunia maya tanpa sepengetahuan sang pemilik foto. Menurut Tunggal, DS tetap harus mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai korban.
“Dan mestinya sebagai korban, dia harus dilindungi dulu hak-haknya, dan yang melakukan penyebaran itu harus dilacak. Siapa yang menyebarkan itu harus dihukum, karena kita kan punya undang-undang pornografi,” kata Tunggal.
Tunggal juga berpendapat bahwa seharusnya DS mendapatkan konseling, dan tak dipecat. Tunggal khawatir kasus pemecatan tanpa perlindungan hak akan membuat korban-korban takut buka suara ketika mengalami kejadian serupa dengan DS.
“Jadi alih-alih dipecat, semestinya polisi konsentrasi mengusut siapa yang menyebarkan itu, karena merekalah yang menyebarluaskan. Dan saya pikir, korban harus mendapatkan konseling,” ujarnya.
Editor: Nuran Wibisono