tirto.id - Sulawesi Selatan (Sulsel) dikepung bencana banjir dan longsor sejak akhir pekan lalu. Jumat (3/5/2024) lalu, banjir dan longsor menerjang tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan. Daerah yang terimbas bencana meliputi Kabupaten Luwu, Sidrap, Wajo, Sinjai, Enrekang, Pinrang, dan Soppeng.
Kabupaten Luwu terdampak paling parah atas banjir dan longsor kali ini. Data teranyar Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Luwu mencatat, 14 korban meninggal terdampak bencana. Rinciannya, delapan orang dari Kecamatan Latimojong dan enam orang di Kecamatan Suli Barat.
Selain itu, masih ada 16 desa di Luwu yang terisolasi akibat banjir dan longsor di daerah tersebut.
Tersebab akses putus, sekitar 3.000 warga terisolasi di wilayah kaki Gunung Latimojong. Ada 13 kecamatan di Luwu yang terendam banjir. Kondisi terdampak cukup parah juga terjadi di Sidrap dan Wajo. Banjir yang terjadi di Wajo, juga merenggut nyawa seorang lansia akibat terseret arus.
Pusat Pengendalian Operasi BNPB menyebutkan, banjir di Wajo berdampak pada 3.954 KK atau 12.931 jiwa. Warga terdampak tersebar di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Keera dan Pitumpanua. Sebagian besar warga terdampak berasal dari sejumlah desa di Kecamatan Pitumpanua.
Pada sektor pemukiman, lebih dari 3.800 unit rumah terdampak banjir. Sebanyak 6 rumah warga Wajo mengalami rusak berat, sedangkan 7 lainnya rusak ringan. Sementara itu, fasilitas umum juga terdampak, di antaranya tempat ibadah 11 unit, fasilitas pendidikan 15, fasilitas kesehatan 5, kantor 13.
“Di samping itu, dua sarana pendidikan rusak berat. Sedangkan fasilitas jalan yang terendam dengan total sepanjang 5,28 Km,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, lewat keterangan tertulis, Selasa (7/5/2024).
Sementara di Luwu, hingga akhir pekan lalu sebanyak 2.052 kepala keluarga terdampak dan 115 orang masih mengungsi. Kaji cepat dari BNPB, ada sebanyak 1.943 unit rumah terdampak, 109 unit rumah rusak berat, 42 unit rumah hanyut, empat titik ruas jalan terdampak, dan satu unit jembatan terdampak.
Cuaca ekstrem disebut jadi penyebab utama hadirnya bencana banjir dan longsor di Sulsel pekan lalu. Hal ini disampaikan Kepala BNPB, Suharyanto, saat berkunjung ke Luwu melihat situasi bencana di Sulsel, Selasa (7/5/2024). Sulsel, kata dia, menjadi provinsi dengan kejadian bencana terbanyak di luar Pulau Jawa.
“Beberapa hari ke depan ini curah hujan masih tinggi, jadi pemerintah dan masyarakat juga harus waspada,” kata Suharyanto.
Memang cuaca ekstrem diprediksi masih akan merongrong Sulsel hingga akhir pekan ini. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar menyatakan kondisi hujan lebat di Sulsel dibagi menjadi 3 kategori, yakni waspada, siaga, dan awas. Waspada artinya curah hujan sebesar 150-200 mm per dasarian, siaga sebesar 200-300 mm per dasarian, dan kategori awas lebih dari 300 mm per dasarian.
Pada dasarian I Mei 2024 (1-10 Mei 2024) hujan dengan curah tinggi masih akan terjadi di sejumlah wilayah. Satu kecamatan di Wajo masuk dalam kategori awas, dan empat kecamatan masuk dalam kategori siaga.
Adapun di Luwu, ada satu kecamatan yang masuk dalam kategori siaga. BMKG memperingatkan potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, dan longsor di wilayah Sulsel atas kondisi tersebut.
Terus Berulang, Apakah Murni karena Cuaca Buruk?
Kejadian banjir dan longsor parah di Sulsel bukan sekali ini saja terjadi. Saban tahun ketika cuaca ekstrem melanda, maka muntahan air dan tanah runtuh mengancam nyawa warga.
Banjir di Luwu bahkan sudah menjadi bencana tahunan yang mengundang nelangsa warga.
Menunjuk cuaca ekstrem semata sebagai biang keladi tak akan membenahi masalah. Seharusnya, keberulangan bencana memantik pemerintah untuk memikirkan mitigasi. Nyatanya, banjir dan longsor masih terjadi lagi tahun ini dalam tingkat yang parah, bahkan memakan korban jiwa.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah pun dianggap gagal menemukan akar masalah penyebab bencana banjir dan longsor di Sulawesi Selatan.
Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin, menilai curah hujan tinggi memang menjadi salah satu faktor banjir dan longsor, namun itu bukan satu-satunya.
Intensitas hujan yang cukup tinggi kisaran 0,5 hingga 8 mm/h sempat terjadi pada 26 April sampai 3 Mei 2024 di beberapa wilayah Sulsel.
Intensitas hujan yang tinggi dalam waktu yang lama tersebut, secara alamiah memang mengakibatkan volume air dari wilayah pegunungan (hulu) penuh dan mengalir deras ke beberapa anak-anak sungai.
Di sisi lain, Walhi Sulsel menemukan, tutupan hutan di lima kabupaten terdampak banjir yakni Luwu, Enrekang, Sidrap, Wajo, dan Soppeng, ternyata memiliki wilayah tutupan hutan di bawah angka 30 persen.
“Aktivitas ekstraktif dan alih fungsi lahan di daerah inti dan penyangga Pegunungan Latimojong memperparah banjir serta longsor yang terjadi di Luwu, Enrekang, Sidrap, dan Wajo. Pasalnya, di sekitar kawasan penyangga Pegunungan Latimojong terdapat wilayah pertambangan emas milik PT Masmindo Dwi Area,” kata Amin kepada reporter Tirto, Selasa (8/5/2024).
Selain itu, beberapa aliran sungai di sekitarnya juga dibebani oleh izin pertambangan pasir sungai (galian). Kondisi ini diperparah dengan jenis tanah yang masuk dalam kategori tanah andosol dan latosol, yang sangat rentan erosi terutama ketika musim penghujan tiba.
Secara umum, kajian Walhi Sulsel menunjukkan daya dukung dan daya tampung air Gunung Latimojong menurun beberapa tahun terakhir seiring dengan kegiatan perusahaan maupun tambang ilegal.
“Sehingga, alih fungsi lahan untuk aktivitas ekstraktif dan perkebunan di kawasan penyangga akan mendorong terjadinya banjir dan longsor,” ujar Amin.
Walhi Sulsel mendesak Pemprov Sulsel menindak tegas aktivitas pertambangan yang berada di kawasan inti dan penyangga Pegunungan Latimojong.
Lebih lanjut, perlu ada revisi peraturan terkait pemanfaatan ruang karena banyak kawasan yang rentan terhadap bencana banjir dan longsor justru diberikan izin pertambangan.
“Sudah saatnya pemerintah tidak menyelesaikan persoalan ini secara kaku atau dibatasi wilayah administratif. Tetapi, pemerintah seharusnya menyusun upaya mitigasi dan penanggulangan bencana melalui pendekatan bentang alam,” terang Amin.
UU Cipta Kerja Juga Biang Kerok Kerusakan Lingkungan
Merespons temuan Walhi, Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), I Gusti Agung Made Wardana, menilai penurunan luasan kawasan lindung – termasuk tutupan hutan – merupakan konsekuensi dari UU Cipta Kerja.
Sebelum dikeluarkannya UU Cipta Kerja, kata dia, ada kewajiban pemerintah daerah untuk menetapkan kawasan lindung sekurang-kurangnya 30 persen dari luas wilayah.
“Namun ketentuan ini dihapuskan oleh UU Cipta Kerja sehingga menyebabkan banyak daerah mengalihfungsikan kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Kawasan budidaya ini dapat diperuntukkan bagi kegiatan pertambangan atau perkebunan atau aktivitas lain sesuai potensi daerah yang memiliki dampak ekonomi bagi daerah,” ujar Agung kepada reporter Tirto, Selasa (8/5/2024).
Agung menjelaskan, dalam konteks hukum lingkungan, pemerintah pusat atau daerah sebagai pemegang mandat dalam doktrin kepercayaan publik (public trust doctrine), memiliki kewajiban memastikan aktivitas di dalam wilayahnya tidak merusak lingkungan.
Konsekuensinya, pemerintah tidak bisa berkelit dari tanggung jawab dengan alasan tidak mengetahui ada kegiatan ekstraktif di kawasan yang semestinya dilindungi secara ekologi.
“Apabila pemerintah daerah mengatakan tidak mengetahui, itu justru menjadi pertanyaan atas kinerja pemerintah selama ini. Dalam banyak kasus, pembiaran oleh pemerintah mungkin saja terjadi sebagai akibat dari relasi yang intim antara pemerintah dengan industri ekstraktif di Indonesia,” ucap Agung.
Sayangnya, ketika hubungan mutualistik antara industri ekstraktif dengan pemerintah sudah terjalin kuat, mengharapkan pemerintah menegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh industri sama artinya dengan memutuskan hubungan mutualistik tersebut.
Artinya, akan sulit mengharapkan pemerintah berbenah saat hubungan mutualistik ini masih terjalin kuat.
Masyarakat, kata Agung bisa mengakalinya dengan melakukan langkah-langkah hukum untuk menuntut pertanggungjawaban dari pelaku perusakan lingkungan.
Selain itu, warga juga dapat memaksa pemerintah kembali pada mandatnya sesuai public trust doctrine.
“Misalnya [melakukan] class action yang diajukan oleh para korban banjir atau gugatan LSM kepada pemerintah atas kelalaiannya menjalankankan kewajiban dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu dapat juga mengajukan Citizen Lawsuit,” jelas Agung.
Semua Harus Dilibatkan dalam Mitigasi Bencana
Sementara itu, pakar mitigasi bencana dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, menilai dalam konteks mitigasi bencana semua pihak harus terlibat untuk mencegah datangnya kondisi darurat.
Kesadaran mitigasi dan risiko bencana harus mulai teredukasi dari tingkat keluarga, desa, hingga ke tingkat daerah.
“Bencana urusan kita semua. Jadi ketika membaca ada risiko bencana kecenderungan langsung ke Pemerintah pusat. Justru sebaliknya, apakah ada tindakan di sekitar kita untuk mengurangi risiko? Di keluarga kita, di kampung kita, atau kabupaten/kota,” ujar Eko kepada reporter Tirto, Selasa (8/5/2024).
Menurut Eko, berbagai penelitian tentang keselamatan bencana memang menyatakan kesadaran risiko dan mitigasi harus dimulai dari level keluarga dan sesama warga.
Namun, bukan berarti negara tidak bertindak sama sekali. Utamanya, pemerintah harus memastikan membuat kebijakan yang tidak mengundang risiko bencana lebih besar.
“Banjir hubungannya jelas, pembalakan, tata ruang yang berpotensi pada meningkatkan bukaan [hutan], dan mengurangi resapan. Longsor juga demikian, maka harus ada kebijakan soal tata ruang [yang baik],” jelas Eko.
Pemerintah Cuma Mengandalkan Modifikasi Cuaca
BNPB mempertimbangkan penggunaan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk upaya penanganan dampak bencana banjir disertai tanah longsor di Sulsel.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mengatakan analisa cuaca sepekan ke depan memperkirakan hujan intensitas sedang hingga lebat masih akan mengguyur wilayah yang terdampak banjir dan longsor di Sulsel.
Operasi TMC berfungsi mengurangi atau menggeser potensi awan hujan dari Sulsel. Pasalnya, cuaca dengan curah hujan tinggi akan menyulitkan penanganan dan pemberian bantuan banjir dan longsor di Sulsel.
“Kami sudah berkoordinasi dengan BMKG, BRIN, TNI dan pihak lainnya, tinggal tunggu, bila memang dibutuhkan TMC, pemerintah daerah akan mengajukannya,” kata Abdul, Selasa.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto