Menuju konten utama
Pilkada Serentak 2024

Kans Anulir Pencalonan Dharma-Kun usai Kasus Catut KTP Disorot

Hasil pengungkapan Bawaslu dinilai bisa menjadi rujukan bagi KPU memeriksa ulang syarat pencalonan Dharma-Kun.

Kans Anulir Pencalonan Dharma-Kun usai Kasus Catut KTP Disorot
Bakal pasangan calon independen atau perseorangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana mengantarkan syarat dukungan maju di Pilgub DKI pada Minggu malam pukul 23.12 WIB.ANTARA/Mario Sofia Nasution

tirto.id - Kasus pencatutan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk dukungan pasangan calon (paslon) independen Pilkada Jakarta berjalan lambat. Bakal paslon gubernur dan wakil gubernur Jakarta, Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto, tetap lolos tahapan verifikasi syarat dukungan di tengah dugaan kasus pencatutan nomor induk warga. KPU DKI memutuskan paslon ini bisa mendaftar sebagai peserta Pilkada Jakarta pada 27-29 Agustus 2024.

Bawaslu DKI sendiri masih mendalami kasus dugaan pencatutan KTP ini. Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Jakarta, Benny Sabdo, menyampaikan, Dharma-Kun serta KPU DKI belum memenuhi panggilan dari tim Sentra Gakkumdu Bawaslu DKI. Pada Minggu (25/8/2024), Bawaslu DKI lantas melayangkan surat panggilan ketiga kepada Dharma-Kun.

“Ini panggilan ketiga [kepada Dharma-Kun]. Kami minta supaya kooperatif,” terang Benny kepada awak media, Selasa (27/8/2024).

Bawaslu DKI mengusut tujuh laporan dugaan pencatutan identitas kependudukan untuk dukungan paslon independen Dharma-Kun. Tujuh laporan ini ditindaklanjuti dari 300 lebih aduan yang sudah diterima oleh Bawaslu DKI dari warga yang merasa data dirinya dicatut.

Bawaslu DKI sendiri telah meminta keterangan para pelapor dugaan pencatutan, saksi, korban, ahli informasi teknologi, serta ahli hukum pidana pemilihan umum. Adapun KPU DKI memastikan menindaklanjuti rekomendasi dari Bawaslu DKI atas kasus dugaan pencatutan KTP milik warga untuk syarat dukungan Dharma-Kun.

“Tentu kami menunggu seperti apa hasilnya dan kami akan menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Komisioner KPU DKI, Dody Wijaya, saat memberikan keterangan pers di Kantor KPU DKI, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024).

Sejumlah pengamat dan ahli hukum pemilu menilai pengungkapan kasus pencatutan KTP ini berjalan lambat. Padahal, terdapat dugaan unsur pidana terkait perlindungan data pribadi di dalam pusaran kasus ini. Penanganan yang jalan di tempat berpotensi membuat turunnya kepercayaan publik terhadap jalannya proses Pilkada Jakarta.

Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, menilai kasus ini memang ditangani lambat dan berlarut-larut. Bawaslu, kata dia, menindaklanjutinya dengan cara yang standar.

Menurut Kholil, rentang kejadian dengan waktu pendaftaran sudah sangat pendek. Karena itu, ketika pihak yang bersangkutan sudah dipanggil dengan cara yang patut sebanyak tiga kali berturut-turut dan tidak merespons, seharusnya dilakukan penyelesaian in absentia.

“Bahwa terlapor patut dianggap tidak punya itikad baik dan mengabaikan bawaslu yang punya kewenangan menyelesaikan kasus ini,” kata Kholil dihubungi reporter Tirto, Rabu (28/8/2024).

Sedari awal Bawaslu diharapkan bergerak cepat sehingga muncul kepastian laporan dapat diselesaikan. Kholil menilai bahwa pencatutan KTP warga Jakarta yang disalahgunakan sebagai bentuk dukungan terhadap Dharma-Kun bukan sebuah kasus sepele.

Pencatutan KTP ini menyangkut keamanan data pribadi setiap warga negara. Jika melihat penanganannya yang begitu lambat, kata Kholil, ada kesan kasus dianggap tidak penting dan tidak menjadi prioritas.

“Terlepas dari apakah kasus ini hanya ada unsur dugaan pidana pilkada seutuhnya atau ada juga bercampur dugaan pidana umum, penegak hukum harus lebih gesit dan transparan,” ujar Kholil.

Lebih jauh, Kholil menduga kasus pencatutan semacam ini juga berpotensi terjadi di daerah pilkada lain. Hanya saja, memang warga tidak melaporkannya secara terbuka. Terlebih, saat ini Pilkada Jakarta menjadi sorotan politik nasional.

Di sisi lain, Kholil menilai terdapat peluang pembatalan pencalonan Dharma-Kun jika validasi jumlah persyaratan dukungan minimal yang diperoleh ternyata tak memenuhi syarat. Itulah sebabnya KPU seharusnya tidak buru-buru menetapkan bahwa bakal paslon ini memenuhi syarat, sebab belum jelas penyelesaian kasusnya.

“Sampai saat ini tidak jelas. KPU DKI tidak transparan prosesnya. Termasuk siapa pelaku [pencatutan] dan apakah sudah ada tindakan terhadap pelakunya,” ucap Kholil.

Peluang Pembatalan Dharma-Kun

Dharma Pongrekun sendiri berencana daftar ke KPU DKI sebagai paslon independen pada hari terakhir pendaftaran, Kamis (29//2024). Menurut Dharma, kemungkinan ia baru daftar di waktu sore atau malam hari.

“Rencananya kami akan mendaftar pada 29 Agustus. Rencananya [mendaftar] sore atau malam," ucapnya kepada awak media, Senin (26/8/2024).

Sebelumnya, Dharma merasa bersyukur dinyatakan memenuhi syarat dukungan. Dharma turut menepis tudingan terlibat dalam kasus pencatutan KTP untuk syarat dukungan dirinya.

Ia menegaskan tidak terlibat langsung dengan pengumpulan syarat dukungan. Dharma berdalih, tak tahu-menahu terkait pencatutan NIK yang dikeluhkan warga.

“Saya mau jelaskan bahwa kami tidak terjun langsung untuk mengumpulkan data,” kata dia.

Berdasarkan Keputusan KPU Provinsi DKI Jakarta Nomor 94 Tahun 2024 tentang Penetapan Pasangan Calon Perseorangan yang Memenuhi Syarat Dukungan dan Sebaran menyatakan Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto dengan jumlah dukungan 677.065 dan sebaran enam kabupaten/kota lolos verifikasi.

Ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, memandang bahwa mekanisme penegakan hukum memang membutuhkan proses yang tidak bisa kilat. Apalagi, kata dia, terlapor pelanggaran tidak ada itikad baik untuk mengikuti proses secara kooperatif dan tertib.

“Termasuk kemauan untuk memenuhi panggilan Bawaslu dalam rangka pemeriksaan dugaan pelanggaran,” kata Titi kepada reporter Tirto, Rabu (28/8/2024).

Titi memandang, pilihan paling tepat saat ini adalah aparat penegak hukum terus bekerja menuntaskan proses dugaan pelanggaran ini secara terbuka, transparan, dan akuntabel. Untuk pemilih, kata dia, semestinya tidak usah memilih calon pemimpin yang tak kooperatif dan patuh dalam mengikuti proses penegakan hukum.

“Sebab itu jadi gambaran karakter kepemimpinan yang akan dijalankan si calon tersebut saat menjabat sebagai kepala daerah. Bukan teladan dan contoh yang baik bagi publik,” ucap Titi.

Titi mendorong peran polisi dan jaksa untuk menangani perkara ini secara profesional dan akuntabel demi menjaga kepercayaan publik atas penegakan hukum berkeadilan. Pasalnya, duduk persoalan kasus ini sudah menjadi perhatian publik.

“Justru akan memicu ketidakpuasan publik jika sampai ada upaya membungkam kasus ini dan menghentikannya tanpa ada alasan yang cukup bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menilai keputusan KPU DKI yang meloloskan verifikasi berkas pendaftaran Dharma-Kun mencerminkan sikap abai, tidak teliti, dan tidak akuntabel dalam proses pilkada. Menurut dia, Bawaslu tetap harus menyelesaikan kasus ini meskipun paslon independen sudah mendaftarkan diri.

“Jika Bawaslu juga tidak serius dalam menangani ini, masalah ini bisa berkembang menjadi persoalan hukum dan etika di masa depan karena ada preseden kasus seperti ini masih dibiarkan,” kata Felia kepada reporter Tirto.

Jika penyelenggara pemilu tidak menyelesaikan kasus ini secara transparan dan adil, maka kepercayaan publik terhadap demokrasi dan proses pemilu berpotensi menurun. Hal ini akan menciptakan preseden buruk bagi pilkada maupun pemilu di masa mendatang.

Pencatutan data pribadi bisa dianggap sebagai praktik yang dapat ditoleransi dan tidak ada sanksi terhadap pelanggaran itu. Dengan kata lain, kata Felia, aturan dengan mudah bisa dilanggar begitu saja karena pemakluman yang jelas tidak masuk akal.

Semua pelanggaran harus diproses secara hukum oleh pemangku kebijakan dan penegak hukum agar memberikan efek jera terhadap pelaku. Selain itu, penyelesaian kasus ini akan memberikan pembelajaran untuk publik sebagai pemilih.

“Untuk itu, partisipasi publik dalam hal ini sangat krusial dalam mengawasi tahapan pilkada, termasuk proses pendaftaran kandidat,” tegas Felia.

Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Yance Arizona, memandang penanganan kasus pencatutan data pribadi ini memang masih kewenangan Bawaslu. Mereka harus memeriksa pelanggaran terkait dalam dukungan pencalonan yang diduga berasal dari pencatutan KTP. Ia juga menilai, hasil pengungkapan dari Bawaslu bisa menjadi rujukan bagi KPU untuk memeriksa ulang syarat pencalonan Dharma-Kun.

“Secara administratif Bawaslu bisa mengeluarkan rekomendasi kepada KPU bila ternyata tidak terpenuhinya syarat calon perseorangan, apalagi bisa dibuktikan banyak pencatutan KTP serta dukungan yang nyata untuk pencalonan tidak memenuhi syarat,” kata Yance kepada reporter Tirto, Rabu (28/8/2024).

Selain itu, kata dia, Bawaslu bersama Tim Gakkumdu bisa mengusut tindak pidana pemilu di kasus dugaan pencatutan KTP untuk paslon Dharma-Kun. Dalam UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), tindakan ini merupakan bagian yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana.

Ketentuan Pasal 65 butir 1 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Perbuatan tersebut diancam pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak Rp5 miliar.

“Bawaslu bersama tim Gakkumdu juga bisa mengusut tindak pidana pemilu karena ada pemalsuan dukungan,” ucap Yance.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz