Menuju konten utama

"Kalau Tidak Mau Minta Maaf, Selesaikan Lewat Pengadilan"

Kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih tetap tak tersentuh. Berlarut-larut tanpa ada kejelasan. Mengapa bisa terjadi? Apakah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu harus dibiarkan sampai orang melupakannnya?

Mantan Komisioner Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Kasus pelanggaran HAM masa lalu harus diselesaikan dan tidak memiliki masa kadaluarsa. Tetap bisa diungkap kapanpun waktunya. “Harus diselesaikan segara, sepahit apapun, agar beban sejarah tidak selalu dibawa oleh generasi muda,” kata Johny Nelson Simanjuntak, peneliti HAM, kepaada Mawa Kresna dari tirto.id.

Mengapa selama ini sulit mengungkap pelanggaran HAM masa lalu? Bagaimana strategi yang bisa diambil pemeintah dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu? Mengapa Presiden Jokowi bisa disebut abaik? Berikut wawancara dengan mantan Komisioner Komnas HAM tersebut;

Apakah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu perlu diselesaikan?

Jika dilihat dari kemaknaan, harus diselesaikan karena tidak memiliki kedaluwarsa. Kapan pun bisa dikemukakan. Bisa dikemukakan meski berganti rezim. Ini kan beban sejarah yang terus menjadi pemicu masalah di bangsa Indonesia. Harus diselesaikan segara, sepahit apapun, agar beban sejarah tidak selalu dibawa oleh generasi muda.

Misalnya tragedi 1965 (G 30 S), sekarang generasi muda sudah mulai ada yang terpecah, ada yang pro dan kontra. Ada yang acuh, ada yang mendalami. Dalam pentas politik, isu 1965 tetap menggelegar, tidak pernah selesai. Isu-isu korban tetap menjadi isu perhatian publik, karena itu masalah kemanusiaan. Jadi menurut saya, penting untuk diselesaikan.

Apa manfaatnya kalau kasus-kasus itu diselesaikan?

Kalau selesai, beban generasi muda berganti. Tidak lagi itu-itu saja. Tidak lari di tempat. Meski pun kaum muda kini sudah tidak terlalu terpengaruh, tapi satu saat dia akan tergerak hatinya. Ketika terlihat sisi kemanusiaan, itu bisa menjadi bola salju yang kemudian bisa jadi liar. Bisa setiap saat digunakan untuk menyerang pejabat negara dan penyelenggara negara masa lalu.

Artinya, ada siklus kekerasan yang tidak terselesaikan. Dan siklus itu ada dalam memori kita. Sekarang generasi muda membaca buku, menonton film dan mendengar cerita, sehingga sangat cepat masuk pikiran mereka. Kalau cepat diselesaikan, implikasinya kita akan cepat berganti wajah. Lebih segar dan lebih bisa menatap masa depan bersama-sama. Ini kan konflik negara dengan masyarakat, jadi harus diselesaikan.

Kalau harus diselesaikan, langkah apa yang harus dilakukan negara?

Negara harus melunasi utang kepada korban. Utang tidak bisa selesai tanpa dilunasi. Negara hanya bisa membayar kepada korban kalau memang mau menyesaikannya. Karena itu negara harus bersikap aktif untuk melakukan penyelesaian. Satu-persatu tetapi ada strategi dan skema yang jelas. Misalnya dalam kepemimpinan Jokowi, mungkin tiap enam bulan diselesaikan satu. Atau satu tahun satu. Ini harus ada agenda jelas, ada tim yang jelas, serta dengan arahan yang jelas.

Misalnya dalam kasus kekerasan pelanggaran Talangsari atau “Penembakan Misterius atau Petrus”, pemerintah bisa melakukan dengan mengidentifikasi, siapa sesungguhnya yang menjadi korban. Korban bisa disentuh sebelum ada penyelesaian kasus secara yudisial. Misalnya korban diberi hak-hak reparasi, pemulihan hak, baru kasus diselesaikan lewat peradilan.

Apalagi jika Komnas HAM sudah menyatakan ada unsur pelanggaran HAM berat, kalau tidak diselesaikan secara hukum, korban bisa membawa kasusnya ke Mahkamah Internasional. Karena dalam UU 39 tahun 1999 tentang HAM memungkinkan korban untuk menggunakan forum internasional untuk menuntut hak-haknya.

Pemerintah kan tidak begitu welcome kalau kasus dibawa keluar negeri, karena itu selesaikanlah di dalam negeri. Sentuh korban dengan pemulihan hak-haknya, selesaikan kasusnya, supaya ketahuan siapa yang salah. Lalu kalau sudah diselesaikan secara hukum, tidak harus orangnya dihukum sesuai dengan aturannya. Bisa ada amnesty, ada grasi. Jadi semua fasilitas hukum bisa digunakan negara agar prosesnya bisa berjalan.

Apa kendala negara dalam menyelesaikan pelanggaran HAM?

Yang selama ini menjadi kendala adalah kondisi politik. Dan kondisi politik ini banyak diinsiprasi oleh militer, karena rumusan pelanggaran HAM berat inikan serangan terhadap masyarakat sipil. Serang itu biasanya dilakukan oleh tentara.

Mana yang lebih tepat, rekonsiliasi atau peradilan?

Itu tergantung pada kepentingan siapa yang mau dilayani. Kalau kepentingan korban didahulukan, maka yang digunakan adalah proses peradilan. Lalu berlanjut ke rekonsiliasi. Tapi kalau kepentingan negara didahulukan, rekonsiliasi dulu yang dilakukan dan peradilan belakangan. Karena jelas pelanggaran HAM berat menunjukkan kegagalan negara melindungi warganya. Karena dia gagal, dia harus minta maaf, rekonsiliasi.

Kenapa muncul nada pesimis bahwa pelanggaran HAM bisa diselesaikan secara hukum? Karena orang lebih mementingkan negara, institusi dan penyelenggaranya. Tidak melihat dari aspek korban.

Tapi rekonsiliasi susah dilakukan negara?

Tentu susah. Misalnya saja Jokowi yang tidak ada bebannya, tapi banyak yang mengganjal. Sebagian besar dari kalangan tentara karena didikan tentara masa lalu yang hormat kepada seniornya. Karena itu harus ada keberanian. Kalau tidak, tidak bisa selesai.

Jadi diperlukan political will untuk menyelesaikan?

Bukan hanya itu, tapi kondisi sosial politik juga harus diciptakan. Kalau soal political will, Jokowi oke. Dia sudah menyatakan mau menyelesaikan.

Tapi Jokowi tidak mau minta maaf?

Kalau dia tidak mau minta maaf, ya selesaikan lewat pengadilan. Masalahnya, situasi politik tidak mendukung kemauan politik Presiden. Situasi politik adalah interaksi politik antara Presiden dengan TNI, TNI dengan institusi negara, TNI dengan rakyat. Kalau interaksi clear dan TNI bilang okelah itu kesalahan masa lalu yang harus diselesaikan, bisa selesai semuanya.

Artinya masalahnya selama ini di TNI?

Menurut saya begitu. Saya dulu ketua penyelesaian Talangsari. Kasus Petrus dulu saya wakil ketua. Di kasus 1965, saya anggota. Jadi saya tahu banyak. Dan ketika kami bertemu dengan Mabes (TNI), ya TNI-lah kendala sebenarnya.

Jadi menurut saya, TNI yang harus berusaha melihat masalahnya. Jangan hanya melihat hitam-putih. Cobalah dilihat dari sisi korban. Talangsari itu kelompok Islam, petrus kelompok bertato. Jangan dilihat itu. Lihat ada kobran, ada anaknya, ada istri yang kehilangan suami.

Kita berharap ada pandangan yang lebih humanistis muncul di kalangan TNI. TNI kan selalu menolak. Mereka bilang, kami bertugas untuk negara. Pada kasus 1965, kami harus menghabisi mereka karena mau mengganti ideologi negara. Tentu hal seperti itu bisa diperdebatkan. Apakah iya?

Dalam kasus Talangsari muncul separatis Islam. Apa iya? Dalam kasus penembakan misterius dan para bertato, apa iya sih bisa dilakukan untuk penertiban umum? Ada banyak hal yang harus dipelajari TNI agar berbesar hati. Masalah ini bisa diberikan kepada Presiden dan diadili secara hukum.

Mengadili kan belum tentu orang yang diadili bersalah. Bisa juga dalam mencari kebenaran, ternyata salah. Misalnya kasus yang sudah diadili, Guiteres bebas, gubernur Timor-Timur bebas, kasus Tanjung Priok juga bebas. Artinya kalau ditempuh jalur peradilan, mereka yang sebelumnya disebut bersalah, bisa mencuci nama baiknya.

Seperti sekarang kita sebut Wiranto. Kalau nggak diselesaikan di pengadilan, bagaimana bisa namanya dihapus dari dokumen Komnas HAM bahwa beliau tidak terlibat? Harus ada yang menyelesaikan.

Apakah Presiden tidak bisa intervensi terhadap kasus-kasus ini?

Seharusnya bisa. Presiden bisa mengambil alih. Pertanggungjawaban kan negara. Siapa yang mengemban tugas, ya Presiden. Presiden bisa membuat tim untuk merekomendasikan penyelesaian satu-persatu, supaya bisa dengan bijaksana diselesaikan.

Bagaimana strategi yang tepat untuk menyelesaikan?

Penyelesaian bisa menggunakan prinsip tebang pilih atau mengangsur. Pilih yang berisiko paling kecil, kemudian menginjak yang besar. Mungkin yang risikonya paling kecil adalah Penembakan Misterius karena lokasinya sebagian di Indonesia. Korban lebih bisa diajak bekerja sama. Para tersangkanya juga hanya dari satuan tertentu, tidak menyeluruh. Gejolak politik akan rendah di situ. Talangsari pun hanya figur tertentu. Risiko kecil di situ.

Soal Semanggi agak besar, vibrasinya juga agak besar. Harus dari kecil-kecil ke besar. Kalau 1965 kasus besar, hampir terjadi di seluruh Indonesia. Juga menyangkut soal ideologi. Lalu ada pertentangan agama dan komunis. Masalahnya, gairah publik memang tidak segairah membuka 1965 dibanding Talangsari.

Kalau Jokowi punya political will, kenapa memasukkan Wiranto dalam kabinet yang mengurus penyelesaikan pelanggaran HAM?

Itulah persoalan besarnya. Kalau terkait kasus pelanggaran HAM berat, orang seperti Wiranto terpenjara dalam pikiran masyarakat, bahwa orang seperti dia tidak boleh memangku jabatan publik. Berkaitan dengan Jokowi, menurut saya, keputusannya memasukkan Wiranto sebagai bargain politik. Kabinet kan semata-mata soal siapa yang membantu ketika pemilihan presiden.

Artinya tidak ada keseriusan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu?

Saya kira tidak. Bisa kita sebut Jokowi lalai. Kemungkinan dia juga mengabaikan secara sadar. Mengapa saya harus menghalangi karier Wiranto, sementara dia bisa membantu saya, memberikan dukungan politik kepada saya dan berguna.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Mild report
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti