Menuju konten utama

Menanti Jokowi Menyentuh Kasus Pelanggaran HAM Berat

Presiden Joko Widodo beberapa kali menyatakan bakal menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ada enam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang sampai sekarang belum tersentuh. Perlu political action dan bukan sekadar political will.

Menanti Jokowi Menyentuh Kasus Pelanggaran HAM Berat
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (1/9). Dalam aksi yang ke-457 tersebut mereka kembali menagih janji Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc/16.

tirto.id - Sejak menjabat sebagai presiden pada Oktober 2014, secara berturut-turut Joko Widodo mengumbar janji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, pada peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM). Pada 2014, Jokowi mengatakan kasus pelanggaran HAM masa lalu harus diselesaikan dengan dua cara, yakni rekonsiliasi dan pengadilan ad hoc.

Setahun setelahnya, Jokowi kembali mengungkapkan hal yang sama. “Jalan keluarnya adalah kita semua harus punya keberanian. Sekali lagi punya keberanian untuk melakukan rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur-jalur yudisial maupun nonyudisial,” kata Jokowi dalam pidato peringatan hari HAM dunia, di Istana Negara, pada 11 Desember 2015.

Selanjutnya pada Januari 2016, Jokowi kembali mengulang janjinya. Kali ini tidak sekadar wacana. Jokowi memerintahkan agar kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan tahun ini. “Perintah saya, selesaikan. Kasus itu sudah lama. Perintah saya adalah selesai‎kan kasus pelanggaran HAM," tegas Jokowi.

Perintah Jokowi segera mendapat respon. Pada 18-19 April 2016, digelar “Simposium 65” sebagai langkah awal memulai upaya rekonsiliasi kasus pembantaian 1965. Penyelenggaraan simposium diprakarsai Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Forum Solidaritas Anak Bangsa dan didukung Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan saat itu.

Sayangnya, gelaran simposium tidak membuahkan hasil konkret, bahkan sekadar kata “maaf” pun tidak terealisasi. Gaung upaya rekonsiliasi pun tenggelam.

Selain tragedi 1965, masih ada lima kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sampai kini juga belum tersentuh, yakni Talangsari (7 September 1989), Kerusuhan Sosial (Mei 1998), Pencullikan Aktivias (Mei 1998), Trisakti (Mei 1998), Semanggi I (13 November 1998) dan Semanggi II (24 September 1999), serta Penembakan Misterius (1983).

Perlu Political Action

Sayangnya, semua ucapan itu baru sebatas political will belum sampai political action yang nyata. Misalnya dalam tragedi 1965 yang diperkirakan membinasakan 500 ribu hingga 3 ribu orang, belum ada kesepakatan pemerintah apakah kasus ini akan diselesaikan melalui rekonsiliasi atau yudisial. Begitu pula dengan lima kasus lainnya.

Padahal Komnas HAM sudah menyerahkan berkas penyelidikannya ke kejaksaan. Sayangnya, lagi-lagi hal itu dianggap belum cukup untuk melanjutkan ke peradilan. Menkopolhukam Wiranto baru-baru ini menyebutkan beberapa kasus pelanggaran HAM tersebut terkendala masalah saksi dan bukti.

Hal itu pun dibantah oleh Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila. Selama ini, Komnas HAM sudah memberikan laporan yang lengkap. Kalaupun ada kekurangan, seharusnya segera dilakukan koordinasi untuk melengkapi berkas.

“Kendala sebenarnya adalah political action. Sudah tidak usah banyak bicara. Sekarang apa yang bisa dilakukan pemerintah dilakukan saja. Kalau bisanya rekonsiliasi, ya lakukan saja rekonsiliasi,” kata Laila kepada tirto.id, pada Senin (26/9/2016).

Menurut Laila, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengambil sikap, apakah kasus pelanggaran HAM masa lalu akan diselesaikan melalui cara rekonsiliasi atau yudisial. Jika pemerintah sudah menentukan, maka akan ada sedikit titik terang penyelesaian kasus.

Sementara itu Komisioner Komnas HAM lainnya, Nur Cholis menegaskan, Komnas HAM siap membantu pemerintah jika dibutuhkan untuk mengumpulkan alat bukti.

“Kita sadar, kasus masa lalu itu memang sulit. Tapi bisa diselesaikan. Komnas HAM siap bantu kok, kalau memang ada kurang bukti dan saksi,” tegas Nur Cholis.

Peneliti masalah HAM di Indonesia, Johny Nelson Simanjuntak menilai, mandeknya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu karena faktor pergolakan politik nasional. Harus disadari bahwa pelanggaran dilakukan oleh negara kepada warganya. Maka pelanggaran itu dapat dipastikan melibatkan mereka yang memegang kekekuasaan pada saat itu.

“Mereka itu masih berkuasa sampai sekarang. Masih ada orang-orangnya,” ungkap Johny.

Dia mengatakan, pemilihan Wiranto sebagai Menkopolhukam memiliki dua sisi yang bisa menguntungkan dan merugikan. Menguntungkan karena Wiranto kemungkinan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sebagai upaya membersihkan nama baiknya. Merugikan karena ada kemungkinan Wiranto tidak ingin kasus ini terungkap karena dirinya pernah dituding sebagai orang yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM.

“Jokowi memang posisinya sulit. Dia berkuasa, butuh backup politik. Sayangnya dia lebih mementingkan kekuasaan ketimbang penyelesaian kasus pelanggaran HAM,” tegasnya.

Tuntutan Korban

Sebenarnya mudah bagi pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Sebab selama ini, tuntutan korban tidaklah berlebihan. Setidaknya ada tiga hal yang dituntut, pengungkapan kebenaran sejarah, pemulihan nama baik dan permintaan maaf.

Hanya saja tidak bisa dimungkiri jika beberapa kasus masih ada kesalahan persepsi di masyarakat dan pemerintah. Contohnya dalam dua kasus, yakni Talangsari dan 1965. Korban dari dua kasus itu sampai saat ini masih mengalami labelisasi.

Menurut laporan Komnas HAM, sampai saat ini masih ada labeling PKI terhadap korban kekerasan 1965. Bahkan anak hingga cucu korban pun masih distempeli PKI. Padahal tidak semua korban adalah anggota PKI.

“Temuan kami ada penari, dia kerap diundang istana, tapi kemudian di cap PKI. Sampai cucunya sekarang masih diperlakukan tidak adil, dicap PKI. Orang-orang dekat Soekarno yang tidak ada kaitannya dengan PKI pun juga jadi korban,” terang Laila.

Hal serupa juga terlihat pada kobran Talangsari. Menurut laporan Komnas HAM, anak dan cucu Warsidi,korban Talangsari, sampai kini masih mendapat perlakukan diskriminatif. Mereka tidak mendapatkan bantuan sosial.

Karena masih ada perlakukan diskriminatif, Laila mengatakan ada tiga tuntutan yang harus dipenuhi pemerintah. Jika tidak, maka diskriminasi terhadap anak cucu korban akan terus berlangsung terus-menerus.

Tiga tuntutan itu setidak bisa menjadi roadmap bagi pemerintah untuk memulai penyelesaian kasus. Misalnya soal pengungkapan kebenaran, forum seperti “Simposium 65”bisa digelar untuk mengungkap kebenaran. Langkah selanjutnya, pemerintah bisa melakukan pemulihan nama baik korban dan kemudian meminta maaf.

Permintaan maaf tidak hanya sebatas permintaan maaf dari kepala negara kepada korban, tapi permintaan maaf bangsa Indonesia atas kesalahan yang pernah dilakukan negara pada warga negaranya. Sayangnya, permintaan maaf selalu dipersepsikan sempit. Dalam konteks kasus 1965, permintaan maaf dilakukan oleh presiden kepada eks anggota PKI.

“Kesalahan ini yang kerap terjadi. Sengaja memang dibuat seperti itu, padahal salah. Kita sebagai bangsa besar harus mengakui bahwa pada satu periode tertentu, bangsa ini ada kesalahan yang dilakukan oleh negara,” kata Laila.

Padahal, mengakui kesalahan masa lalu bukan berarti merendahkan negara atau bangsa. “Tapi untuk perbaikan di masa depan,” sambung Laila.

Langkah Konkret

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan strategi khusus untuk menyelesaikannya. Misalnya dengan menyelesaikan satu persatu kasus-kasus tersebut.

Johny mengusulkan agar pemerintah memulai dari kasus yang tidak terlalu menimbulkan gejolak politik. Faktanya, memulai rekonsiliasi dengan kasus 1965, justru memunculkan resistensi. Hal itu justru membuat upaya penyelesaian kasus menjadi kontraproduktif.

“Mengangsur dulu dengan (kasus) yang risiko kecil, kemudian menginjak yang besar. Mungkin yang resikonya paling kecil adalah Penembakan Misterius. Karena lokasinya sebagian di Indonesia, korban lebih bisa diajak bekerjasama, para tersangkanya juga hanya dari satuan tertentu, tidak menyeluruh. Gejolak politik akan rendah di situ,” kata Johny.

Jika satu kasus bisa terselesaikan, maka akan lebih mudah untuk menyelesaikan kasus lainnya. Minimal, beban pemerintah untuk menyelesaikan kasus tersebut menjadi berkurang.

Penyelesaian kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu tentu bukan sekadar membutuhkan komitmen, tapi juga kerja nyata. Kerja, kerja dan kerja. Bukan janji, janji dan janji.

Baca juga artikel terkait KASUS PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Indepth
Reporter: Mawa Kresna & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho