tirto.id - Presiden Joko Widodo mempertimbangkan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) UU KPK usai bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat di Istana Negara beberapa hari yang lalu. Namun, upaya Jokowi ini tak didukung sejumlah partai pendukungya.
Senin (30/9/2019) kemarin, ketua umum dan sekjen partai koalisi Jokowi ramai-ramai ke Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Banyak hal mereka bahas, tapi fokus utamanya adalah meminta Jokowi menjadikan perppu sebagai pilihan terakhir.
"Kami tidak memberi masukan secara spesifik. Hanya tentu partai menyampaikan bahwa opsi perppu harus menjadi opsi paling terakhir, karena ada opsi lainnya yang mesti dieksplor juga," kata Sekjen PPP Arsul Sani di Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).
Opsi lain yang dia dan elite partai lain maksud adalah legislative review: pemerintah kembali membahas UU KPK hasil revisi dengan DPR dan mengganti pasal sesuai dengan aspirasi masyarakat. Opsi lain: mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Arsul, Jokowi harus berpikir matang-matang dan tak terburu dalam mengambil keputusan terkait ini.
"Jangan sim salabim minta perppu minggu ini maka perppu keluar juga minggu ini. Kan, harus dikaji juga secara keseluruhan: apa benar yang ada di revisi melemahkan, atau itu hanya persepsi-persepsi. Ya mari kita debatkan di ruang publik," tutur Arsul.
Penolakan serupa datang dari PDIP. Anggota DPR dari Fraksi PDIP Yasonna H Laoly meminta Jokowi tidak menerbitkan Perppu KPK.
"Sebaiknya jangan [terbitkan perppu], tapi, kan, kewenangan menetapkan perppu ada pada presiden," ujar Yasonna di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Bekas Menteri Hukum dan HAM ini menyarankan agar Jokowi melihat dulu bagaimana implementasi UU KPK hasil revisi. Lagipula, kata Yasonna, hingga saat ini UU yang telah disahkan sejak 17 September lalu itu belum juga dijalankan.
Yasonna bahkan meminta agar tak ada lagi pihak yang menekan Jokowi untuk segera menerbitkan perppu. Ia meminta bila ada yang keberatan, sebaiknya mereka protes dengan cara yang baik.
“Jangan membudayakan neken-neken. Sudah lah. Kita atur secara konstitusional saja,” ucap Yasonna.
Politikus PDIP lainnya, Bambang Wuryanto, bahkan menyebut Jokowi tak menghormati DPR bila berani mengeluarkan Perppu KPK.
"Ya mohon maaf, presiden enggak menghormati kami, dong? Nanti one day didemo lagi ganti lagi, demo lagi ganti lagi. Susah,” kata Bambang, Jumat (27/9/2019) pekan lalu.
Dewan Syuro PKB Maman Imanulhaq beralasan perppu tak boleh diterbitkan karena DPR telah menghabiskan waktu dan tenaga bersama pemerintah merevisi UU KPK. Menurutnya tak logis bila Jokowi tiba-tiba mengeluarkan perppu hanya karena ditekan.
“PKB pada intinya menghormati eksistensi KPK, tetapi juga meminta presiden untuk mempertimbangkan tidak perlu mengeluarkan perppu," kata Maman kepada reporter Tirto, Rabu (2/10/2019).
Penolakan serupa disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla. JK menyebut Perppu KPK justru akan menunjukkan lemahnya kewibawaan Jokowi karena menganulir keputusannya sendiri lewat surat presiden (surpres).
“Di mana kita mau tempatkan kewibawaan pemerintah? Baru meneken berlaku, lalu satu minggu kemudian ditarik lagi. Logikanya di mana?" kata JK seperti dikutip dari Antara.
Alasan lainnya, kata JK, penerbitan Perppu KPK juga tidak serta merta menjamin emosi masyarakat yang merasa UU KPK hasil revisi melemahkan KPK mereda.
“Siapa yang menjamin?" JK mempertanyakan. Dia juga bilang: “Lebih baik kita tunggu apa yang diputuskan MK. Kan, sudah berjalan proses [judicial review] di MK," kata JK.
Mempertaruhkan Komitmen Jokowi
Berkebalikan dengan semua pendapat anggota dewan dan wapres, koordinator korupsi politik ICW Donal Fariz mengatakan Perppu KPK justru cara yang paling cepat untuk menyelamatkan KPK.
Penerbitan Perppu sangat dibutuhkan dalam kondisi saat ini dibandingkan legislative review maupun juducial review ke MK seperti yang disampaikan Arsul Sani.
"Perppu dikeluarkan untuk merespons kondisi sekarang. Sementara kalau judicial review butuh proses panjang," ujar Donal kepada reporter Tirto, Selasa (1/10/2019).
Di satu sisi, Donal tahu kalau Jokowi akan lebih condong mengikuti permintaan partai pendukungnya itu. Tapi di sisi lain, itu justru jadi ujian bagi Jokowi untuk memperlihatkan bahwa dirinya benar-benar tegas memberantas korupsi.
“Presiden harus bersikap tegas dan tidak berada di ketiak partai,” kata dia.
Donal menambahkan, “jika tidak mengeluarkan [Perppu KPK], publik akan menilai presiden takluk dan diatur partai.”
Hal senada diungkapkan peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Yogyakarta Zaenur Rahman. Zaenur menegaskan perppu merupakan kewenangan mutlak presiden yang tak bisa diintervensi oleh siapa pun, termasuk partai pendukungnya.
"Perppu itu enggak didukung partai koalisi tidak ada masalah apa pun," kata Zaenur kepada reporter Tirto, Rabu (2/10/2019).
Menurutnya tak masalah bila DPR yang didominasi partai koalisi pendukung Jokowi tetap tak menyetujui perppu tersebut. Yang penting, sudah ada itikad baik dari Jokowi untuk mendukung lembaga KPK dan menolak pelemahan KPK.
"Kalau enggak keluarkan [perppu], ya presiden akan dianggap sama sekali enggak dukung upaya memberantas korupsi di Indonesia."
"Masalah [ditolak atau diterima] di DPR ya itu akan dinilai langsung oleh rakyat," pungkas Zaenur.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz