tirto.id - Calon residen Joko Widodo berjanji merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PDF). Janji ini disampaikan Jokowi saat kampanye di hadapan para buruh di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, awal April lalu.
"Nanti kami bentuk tim bersama dengan KSPSI dan seluruh federasi untuk revisi PP 78," kata Jokowi dalam pidato politiknya di Gedung Budaya Sabilulungan Soreang, Selasa (9/4/2019).
Setelah janji itu didengar publik, belum ada yang tahu ke mana arah revisi PP itu.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia, Timboel Siregar menilai PP 78/2015 itu memang masih harus dipertahankan. Namun, harus disertai sejumlah revisi yang mencakup masalah hak pekerja berunding secara tripartit dan formulasi upah yang tak lagi bergantung pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
Menurut Timboel, formulasi upah yang diserahkan pada angka Badan Pusat Statistik (BPS) menyebabkan kesenjangan penetapan upah. Sebab setiap daerah tentu punya pertumbuhan ekonomi dan inflasi tersendiri.
Atas dasar itu, Timboel meminta agar mekanisme formulasi upah dikembalikan pada perundingan buruh dan pengusaha seperti Keppres Nomor 107 tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan (PDF).
"Inflasi seluruh Indonesia, kan, enggak 3 persen semua. PDB daerah juga enggak 5 persen semua. Ada proses yang bias ketika pemerintah mensentralisasi," ucap Timboel dalam diskusi bertajuk 'Ke mana Arah Revisi PP 78 tentang Pengupahan' di Jakarta, Rabu (8/5/2019).
Namun, perbaikan nasib buruh tak akan cukup bila hanya mengandalkan kenaikan upah minimum. Menurut Timboel, persoalan kesejahteraan buruh hanya dapat diselesaikan melalui keterlibatan pemerintah dalam meringankan beban pengeluaran seperti memberikan tambahan uang bagi buruh yang memiliki anak sekolah.
"Mungkin semacam subsidi, tergantung kebutuhan pekerjanya," ucap Timboel.
Usul Pengusaha & Tanggapan Pemerintah
Dalam kesempatam yang sama, Ketua Komite Advokasi DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Darwoto mengaku tak keberatan dengan usulan Timboel. Ia mengatakan formulasi penetapan upah memang selayaknya diubah. Saat ini, kenaikan upah rata-rata setiap tahun berada di kisaran 8 persen, padahal tak semua industri bertumbuh di kisaran angka tersebut.
Darwoto berkata industri padat karya seperti garmen yang memiliki 3.000 hingga 5.000 karyawan, bakal terus terbebani jika kenaikan upah stabil di angka 8 persen per tahun bagi ribuan karyawan.
"Berat loh andai kata kenaikan upah dari BPS," ucap Darwoto.
Darwoto pun mengusulkan agar upah minimum yang sering dikeluhkan buruh tetap dipertahankan, tetapi tak sebagai nominal angka yang harus terus naik setiap tahunnya. Ia lebih memilih upah minimum sebagai jaring pengaman bagi mereka yang baru bekerja 1 tahun agar upahnya tetap layak.
Sebaliknya, bagi mereka yang sudah bekerja lebih dari satu tahun, Darwoto mengatakan perusahaan memiliki sistem struktur skala pengupahan. Mekanisme ini akan mengukur upah pekerja berdasarkan kompetensi dan produktivitasnya. Dari mekanisme ini, Darwoto mengatakan kenaikan upah harus disertai dengan output-nya.
"Kalau upah naik bisa enggak produktivitasnya dari 10 naik ke 11?" ujarnya.
Menanggapi hal itu, Direktur Pengupahan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), Adriani mengatakan pemerintah masih berupaya mendengarkan pandangan dari berbagai pihak: buruh, pengusaha, pakar dan praktisi.
Adriani mengatakan rencana revisi ini masih dibicarakan kementeriannya secara internal. Ketika ditanya mengenai kendala dalam merevisi PP 78/2015, ia hanya berharap baik pengusaha dan serikat pekerja punya pemahaman yang sama.
"Kami sudah mendengarkan masalah yang dihadapi masing-masing pihak. Kita perlu cari solusi atau alternatif mana yang mengakomodir serikat pekerja dan pengusaha," ujar Adriani.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan