tirto.id - Kita mengenal istilah “over my dead body”. Artinya, sesuatu hanya bisa terjadi ketika orang yang mengucapakannya sudah kehilangan nyawa. Ungkapan ini cukup heroik dan kesan yang timbul biasanya berkaitan dengan otoritas orang yang mengucapkannya. Akan tetapi, di sisi lain ungkapan ini juga menunjukkan rentannya makna diri kita dalam tubuh yang fana.
Jemari yang Menari di Atas Luka-luka (2019)—berikutnya ditulis Jemari—karya Putri Sarah Amelia mengeksplorasi tema ini. Bercerita tentang perias jenazah, film pendek terbaik Festival Film Indonesia 2020 ini dibangun dengan pertanyaan besar soal penampilan terakhir jenazah sebelum pemakaman. Ungkapan “over my dead body” pun menjelma pertarungan antara kehendak orang tua dan jati diri anak yang tak bernyawa. Jurinya: sang perias jenazah.
Awalnya, sang perias bekerja sesuai keinginan orang tua si anak yang meninggal. Namun, ketika hendak memakaikan gaun ke anak tersebut, sebuah lemari berisikan masa lalu terbuka, sehingga sang perias terdorong untuk mempertimbangkan ulang semuanya. Konflik batin terpancar dari raut wajah perias jenazah, tapi ia tidak dapat bertanya kepada siapa-siapa.
Ketiadaan percakapan dan wasiat soal gender jenazah membuat sang perias melihat seisi kamar, dari foto, poster, hingga aroma parfum yang digunakan si anak semasa hidupnya. Semua itu dilakukan dalam waktu terbatas. Sang perias akan segera dijemput suaminya, dan tamu-tamu—off-screen—tampak mulai berdatangan. Keputusan harus segera dibuat: apa yang akan dikenakan kepada jenazah, gaun atau jas?
Jawaban untuk pertanyaan itu dicicil dengan begitu sunyi oleh pembuat film. Di satu sisi, pilihan ini membuat Jemari bekerja baik sebagai simbol pengakuan akan identitas gender, yang puitis dan tak cerewet. Namun di sisi lain, tidak adanya informasi lisan menyebabkan motivasi sang perias tidak tergambar jelas. Terlebih, pembuat film juga tidak menggambarkan konsekuensi dari setiap pilihan yang dimiliki oleh sang perias.
Apa, misalnya, konsekuensi jika sang perias menolak mengikuti keinginan orang tua si anak? Apakah honornya tidak dibayarkan? Atau sebaliknya, apa konsekuensinya jika ia menurut saja? Apakah ada keyakinan atau idealismenya yang akan tercederai?
Minimnya informasi soal konsekuensi ini mengurangi bobot motivasi sang perias. Konflik batin sang perias terasa kuat, tapi “harga” di balik tiap keputusan yang dibuatnya tidaklah tersampaikan. Jemari seakan hanya menawarkan suatu kondisi ideal, di mana keputusan akhir sang perias—setelah berbagai informasi yang didapatnya dari kamar—memanglah keputusan yang tepat.
Menerima dan Menampilkan
Lepas dari wacana seputar kematian, Jemari menawarkan pertanyaan tentang bagaimana masyarakat menerima transgender. Pertanyaan ini relevan bukan hanya untuk perias jenazah. Ditarik lebih jauh, dunia wartawan—yang juga mengandalkan jarinya untuk “menampilkan” transgender—pun relevan dengan wacana ini.
Thomas J. Billard (2016), misalnya, pernah meneliti tentang representasi transgender pada 13 koran besar di Amerika Serikat. Dalam penelitiannya itu, ia menggunakan 9 indikator—di antaranya adalah penamaan (naming) dan penggunaan kata ganti (pronoun usage)—yang meninjau sejauh apa kelompok transgender diterima.
Hasilnya, ternyata koran di Amerika pun masih ada yang mendelegitimasi identitas transgender. Untuk indikator penamaan dan penggunaan kata ganti (he/she), misalnya, 15 persen lebih sampel tulisan (yang membahas transgender) masih menggunakan nama lahir transgender dan kata ganti yang tak sesuai.
Di Indonesia, angka penerimaan mungkin akan lebih rendah. Sebab sebagaimana yang bisa disaksikan pada peliputan Elliot Page baru-baru ini, wartawan di Indonesia tampaknya terlalu kaku dalam menampilkan transgender. Ada yang ngotot menggunakan nama lahir Elliot Page di sepanjang tulisan; ada pula yang menambahkan embel-embel aktris—alih-alih aktor.
Masalah ini tentu tidak sesederhana penulisan—sebagaimana gaun atau jas bukanlah sekadar pakaian. Billard (2016) menyebutkan bahwa penerimaan penting bagi kalangan transgender untuk memperjuangkan klaimnya di arena politik, dan mengupayakan ruang aman yang mengakui hak-haknya.
Tanpa pengakuan, transgender akan terbelenggu oleh sistem yang tak inklusif. Christopher Lee, misalnya, meski telah 20 tahun hidup sebagai transpria dan memiliki surat izin mengemudi dengan identitas laki-laki, tetap ditulis sebagai perempuan di sertifikat kematiannya. Sebabnya, petugas visum mengikuti hukum yang berlaku, di mana identitas seseorang ditentukan oleh organ genital.
Kondisi yang demikian hanya akan berubah jika setiap orang berlaku sebagaimana perias jenazah dalam Jemari. Meski tidak hadir dengan motivasi yang tegas, sang perias menggambarkan betapa pentingnya memahami orang lain. Sebagai perias, ia mampu menghargai otoritas si anak, sekalipun tak ada lagi nyawa yang bersemayam. Inilah yang masih kontras dengan kondisi nyata saat ini, ketika orang yang masih hidup bahkan tidak dihargai secara pantas.
Editor: Windu Jusuf