Menuju konten utama

Jelang Pencoblosan, Surat Suara Pemilu 1955 Dicuri

Meskipun banyak saksi memberatkan, Djanawin tetap berdalih tidak mencuri 2 kilogram kertas suara Pemilu 1955.

Jelang Pencoblosan, Surat Suara Pemilu 1955 Dicuri
Lambang partai Peserta Pemilu 1955. Foto/Howard Sochurek/LIFE

tirto.id - Bekerja di bagian keamanan Percetakan Negara membuat Djanawin bin Nali lupa diri. Ia dituduh mencuri 2 kilogram surat suara Pemilu 1955. Timbunan kertas yang tergeletak di garasi tempat ia bekerja disikat dan dijual kepada seorang penadah. Meski ia berdalih kertas yang diambilnya adalah surat suara salah cetak dan hanya mengambil empat lembar, ia tetap tidak bisa lolos dari jerat hukum.

Kisah ini termuat dalam Arsip Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) tentang proses pemilihan (ANRI, “Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri tahun 1950-1959”, nomor arsip: 1926). Laporan polisi Jakarta Raya yang dibuat Inspektur Polisi Dua Soetojo menjelaskan, pada Sabtu, 27 Agustus 1955 pukul 16.15, Pembantu Inspektur Polisi Satu H.A. Boermeister dari kantor polisi Jatinegara, Ketua PPI Hadikoesomo, dan Wedana Jatinegara R. Singgih, serta dua orang lainnya membawa seorang pria bernama Djanawin bin Nali (37).

Menurut keterangan polisi, Djanawin, yang tinggal di Jalan Bekasi Timur V No. 14 A dilaporkan Wedana Jatinegara Singgih. Ia kemudian ditangkap di kediamannya dengan tuduhan hendak menjual surat suara Pemilihan Umum. Menurut keterangan Djanawin, ia mengambil surat suara itu di garasi mobil gedung Percetakan Negara pada Jum’at, 26 Agustus 1955, sekitar pukul 16.00. Padahal Djanawin adalah pegawai yang ditugaskan untuk menjaga keamanan di kantor itu.

Dijual ke Penadah

Keesokan harinya, kertas itu dijual kepada seorang pedagang Tionghoa, Lauw It Tjoen (35). Menurut si pedagang, dalam keterangannya kepada polisi setempat, Djanawin datang kepadanya 27 Agustus 1955, sekitar pukul 11.30, dengan membawa setumpuk kertas untuk dijual. Ketika ditimbang, ternyata kertas itu berbobot 2 kg.

“Ketika itu saya ambil satu lembar dan saya lihat-lihat, ternyata surat itu adalah kertas suara, apakah masih berlaku atau tidak saya tidak tahu dan karena ragu-ragu saya tidak jadi membelinya dan saya minta dia bawa kembali kertas itu dan hanya dua lembar kertas saja yang ditinggalkan untuk bungkusan barang,” terang Lauw It Tjoen kepada penyidik, seperti tercatat dalam berita acara pencurian di Kantor Polisi Jakarta nomor 1690/K/S.VI.

Lembaran kertas surat suara di toko Law It Tjoen itu diketahui Salim bin Simin, yang langsung melaporkannya ke Wedana Singgih dan Polisi Seksi VI Jatinegara. Mendapat laporan itu, polisi segera menuju Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk melakukan penggeledahan di rumah Djanawin dan Lauw It Tjoen. Polisi menemukan beberapa lembar surat suara di tempat Lauw It Tjoen, namun yang lainnya tidak ditemukan.

“Ketika itu saya datang ke toko Lauw It Tjoen, dan ditawari kertas, barangkali saya mau membeli kertas, tapi ketika ia perlihatkan kertas itu ternyata surat suara untuk pemilu yang akan datang, apakah masih berlaku atau tidak saya kurang tahu,” ujar Salim bin Simin dalam keterangannya kepada polisi, 17 September 1955.

Salim menambahkan, ia bertanya apakah surat suara itu masih banyak, Lauw It Tjoen menjawab masih banyak. Ada kurang lebih satu kilogram dan ia mengaku melihat secara langsung. “Terkait darimana Lauw It Tjoen mendapatkan kertas itu saya tidak tahu,” tegasnya.

Saksi lain, Minah binti Mana (26), memperkuat argumen Salim. Minah mengetahui ketika Djanawin membawa kertas seberat dua kilogram dan menjualnya ke Lauw It Tjoen.

“Saat itu saya sedang berbelanja di toko Tionghoa (Toko Lauw It Tjoen) yang saya kenal, dan saya melihat ada seorang laki-laki bernama Djanawin sedang menimbang kertas bersama yang punya toko, berapa banyak kertas-kertas itu dan kertas apa yang ditimbang saya kurang tahu,” kata Minah kepada polisi.

Ketika ditanya polisi apakah kertas itu lebih dari empat lembar, ia menjawab, “Menurut penglihatan saya kertas itu lebih dari empat lembar karena kertas itu sampai ditimbang oleh yang punya toko itu.”

Eni binti Ilen, saksi mata lainnya, juga memperkuat keterangan Minah. Eni sendiri merupakan tetangga depan rumah Djanawin. Ketika itu, Eni melihat Djanawin baru saja keluar dari toko Tionghoa yang letaknya di sebelah kediamannya dengan mengepit beberapa kertas dengan tangan kanannya. Ia mengaku tidak mengetahui kertas apa yang dibawa Djanawin.

“Saya tidak tahu kertas itu untuk apa, baik untuk dijual atau tidak, yang jelas ia membawa kertas ke toko Tionghoa, kalau jumlahnya mungkin lebih dari empat lembar karena barang itu dikempit dengan tangannya, namun saya tidak tahu ketika Lauw It Tjoen sedang menimbang kertas itu, hanya saya tahu ketika Djanawin membawa kertas karena rumah saya dekat dengan toko itu,” ujar Eni.

Djanawin Tetap Berkelit

Menanggapi keterangan saksi mata yang memberatkannya, Djanawin membela diri. Ia mengaku kepada polisi tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan itu.

“Sebenarnya saya tidak merasa melakukan pencurian sebanyak dua kilogram kertas surat suara, hanya saja saya mengambil empat lembar kertas surat suara yang kemudian saya masukkan kedalam saku celana dan saya bawa pulang ke rumah,” kilahnya dalam keterangan kepada polisi, 27 September 1955 (Berita Acara Nomor 1690/K/S.VI).

Djanawin mengaku tahu bahwa kertas yang diambilnya adalah surat suara untuk Pemilu. Karena, sebagai petugas keamanan, ia kerap mengontrol sekitar tempat itu dan mengetahui ada timbunan kertas di dalam garasi. Menurut Comandan Ploeg (komandan regu jaga), kertas itu sudah tidak terpakai dan akan dibakar karena salah cetak.

Ketika ditanya polisi apakah ia telah mendapatkan izin dari pengawas Percetakan Negara, ia mengakui memang tidak mendapatkan lampu hijau dari atasannya. Dengan kata lain, Djanawin telah melakukan pencurian.

“Saya memang mengambil kertas surat suara itu tanpa seizin pengawas atau setahu siapapun juga dan saya merasa tidak menjual kertas itu sebanyak dua kilogram, hanya ketika saya berbelanja di toko Tionghoa yang ada di depan rumah saya sendiri, kertas suara yang empat lembar itu telah terbawa di dalam saku celana yang ketika saya mengambil uang, keempat kertas itu terambil dan telah saya serahkan kepada yang punya toko untuk dipakai bungkus,” ujar Djanawin.

Djanawin membantah apa yang dituduhkan saksi-saksi kepadanya bahwa ia telah membawa pulang kertas surat suara lainnya. “Tidak, kecuali kertas surat suara tersebut, saya tidak membawa barang lain.”

infografik pencurian surat suara

Meski telah melakukan pembelaan, Djanawin tetap tidak dapat lepas dari jerat hukum. Atas perbuatannya, berdasarkan surat Kementerian Kehakiman yang ditandatangani Menteri Kehakiman Mr. Loekman Wiriadinata nomor JS.2/2/10/S/589/56, tersangka Djanawin dianggap melanggar pasal 362 KUHP. Jo pasal 115 UUD No. 7 tahun 1953 (L.N.No.29/1953).

Ia dijatuhi hukuman penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta pada 4 November 1955. Lama hukumannya 5 bulan dikurangi masa tahanan.

Pemilu 1955 adalah pemilu pertama di Indonesia sejak menjadi negara berdaulat. Meski keadaan negara masih belum stabil sepenuhnya baik secara politik dan ekonomi, pemilu dapat terlaksana dengan baik.

Menurut banyak kalangan, pemilu ini sangat demokratis. Asumsi itu didapat berdasarkan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi. Dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (1999), Herbert Feith memaparkan, pada hari pencoblosan 29 September, sebanyak 87,65 persen pemilih atau setara dengan 39 juta orang hadir ke tempat pemungutan suara dari total pemilih sejumlah 43.104.464 (hlm. 57).

Kasus pencurian surat suara dalam kisah ini merupakan sisi lain pelaksanaan Pemilu 1955. Memang banyak hal yang belum terungkap di seputar pemilu pertama itu, baik kasus kelas teri yang menyeret rakyat kecil maupun kasus kakap yang melibatkan para pembesar.

Baca juga artikel terkait PEMILU 1955 atau tulisan lainnya dari Faishal Hilmy Maulida

tirto.id - Hukum
Reporter: Faishal Hilmy Maulida
Penulis: Faishal Hilmy Maulida
Editor: Ivan Aulia Ahsan