tirto.id - “Darah Rakyat masih berjalan
Menderita sakit dan miskin
Pada datangnya pembalasan
Rakyat yang menjadi hakim”
Lirik lagu "Darah Rakjat" dibagi-bagikan dalam Rapat Raksasa di Lapangan Ikada, 19 September 1945. Diiringi Tan Malaka, Hatta, dan beberapa menteri, Sukarno berjalan ke panggung dan berpidato di hadapan massa. Soekarno meminta rakyat untuk memberikan dukungan kepada pemerintahan yang baru terbentuk. Aksi unjuk dukungan ini dihadiri ratusan ribu orang dan dijaga oleh tank-tank Jepang.
Lazimnya lambang dan atribut kiri pasca-1965, lagu ini dilarang beredar pada zaman Orde Baru. Dalam film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI (1984), usai membantai para perwira Angkatan Darat di Lubang Buaya, ormas Pemuda Rakjat digambarkan menyanyikan "Darah Rakjat", diiringi tarian Genjer-Genjer, yang juga sudah dicap "lagu PKI".
Sepanjang kancah Revolusi Indonesia (1945-49), "Darah Rakjat" menjadi semacam senjata spiritual para pejuang kemerdekaan. Di Sumatra, lagu ini identik dengan aksi-aksi pemuda menggasak kekuasaan bangsawan Sumatra serta dinyanyikan dalam pawai serupa Ikada yang dikerahkan para pemuda di kota Medan pada 11 April 1946, sebagaimana yang dikisahkan Anthony Reid dalam The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (1979).
Di seberang Sumatra, terinspirasi oleh perjuangan antikolonial di Indonesia, Parti Kebangkitan Melayu Malaya (PKMM) berdiri pada Oktober 1945. Partai ini akhirnya dinyatakan terlarang bersama partai-partai kiri lainnya, semenjak Inggris menyatakan Darurat Malaya pada 1948. "Darah Rakjat" jadi salah satu repertoar aksi-aksi pemogokan serikat-serikat buruh yang disponsori PKMM.
“Itu semangat dia sampai ke sini,” ujar Aktivis PKMM Zainuddin Andika menuturkan pengaruh Sukarno dan pergolakan di Indonesia selama periode tersebut kepada sutradara Fahmi Reza dalam dokumenter 10 Tahun Sebelum Merdeka (2007).
Namun, asal-usul "Darah Rakjat" sendiri masih samar. Situsweb Berdikari Online menyebutkan "Darah Rakjat" digubah Legiman Hardjono di bulan Agustus-September 1945. “Sampai sekarang belum ada sumber lain yang membantahnya,” tulis artikel tersebut. Namun tidak disebutkan sumber mana yang dimaksud.
Legiman, yang sering beredar dengan nama samaran Ismail Bakri, adalah aktivis pemimpin Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) yang sukses melakukan pengambilalihan Djawatan Kereta Api dari tangan Belanda. Pada masa revolusi AMKA melebur ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dalam perkembangannya berubah dari organisasi independen menjadi Pemuda Rakjat, onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Legiman dikabarkan dekat dengan kubu Tan Malaka.
Penelurusan Tirto menemukan lagu "Darah Rakjat" disadur dari lagu "Le Drapeau Rouge" (Panji Merah). Dengan birama 4/4, dan nada-nada mayor, dua mars tersebut secara umum hanya beda lirik dan sedikit pada bagian refrain. Namun bahkan pada bagian itu, ada kemiripan lirik yang sulit disangkal. Lirik Indonesia berbunyi “Merah warna panji kita/Merah warna darah rakyat”, sementara versi Perancisnya “Panji merah kita/Merah darah pekerja.”
Lirik "Drapeau Rouge" dikarang Paul Brousse, seorang aktivis anarkis kelahiran Montpellier yang sempat berpartisipasi dalam Komune Paris pada 1871, di mana kelas pekerja Paris merebut pemerintahan selama tiga bulan sampai akhirnya dikremus oleh gabungan pasukan nasional dan tentara Prusia. Pada 1873 Brousse pindah ke Bern Swiss, mengorganisasi Federasi Jura, sebelum akhirnya diusir lalu pindah ke Brussel, London, dan akhirnya kembali ke Perancis pada 1880, untuk menyelesaikan kuliahnya di jurusan kedokteran Universitas Montpellier. Federasi Jura adalah terdiri dari kaum anarkis yang mewakili International Workingmen's Association—wadah organisasi-organisasi kiri dan serikat buruh seluruh dunia—di Swiss.
Bulletin de la Federation Jurassienne yang diterbitkan International Workingmen's Association pada 27 Mei 1877 memuat refrain lirik "Drapeau Rouge". Di bawahnya ditulis: “Atas permintaan banyak kawan, kami menerbitkan lagu yang disusun dua bulan sejak perayaan 18 Maret di Bern ini. [Drapeau Rouge] dinyanyikan oleh kaum sosialis saat itu, sebelum dan setelah bentrok dengan polisi, yang segera membuatnya populer di serikat-serikat buruh Federasi Jura.”
Perayaan yang dimaksud adalah berkumpulnya kaum anarkis dari berbagai negeri di Eropa Bern, Swiss, pada 18 Maret 1877, memperingati enam tahun Komune Paris.
Dalam La chanson de la Commune: chansons et poèmes inspirés par la Commune de 1871 (1991), sejarawan Perancis Robert Brécy menulis bahwa lagu ini merupakan adaptasi dari komposisi "La Libre Sarine" yang disusun Jacques Vogt dan liriknya ditulis Dr. Bussard pada 1843. Melodi pada bagian refrainnya berangkat dari lagu rakyat berjudul "Armons-nous, enfants de l'Helvetie!" (Angkat senjatamu, tumpah darah Helvetie!). Vogt adalah komposer asal Freiburg, Jerman. Semasa hidupnya, lagu ini sering disenandungkan mahasiswa-mahasiswa setempat sebagai "La Marseillaise"-nya Freiburg.
Brécy, sejarawan yang banyak meneliti gerakan pekerja dan lagu-lagu sosial, juga menjelaskan bahwa lagu ini pertama kali dipopulerkan di Perancis oleh alumni Komune Paris Achille Le Roy melalui tulisannya yang berjudul Revanche du prolétariat (Dendam Proletariat, 1885). Tanpa atribusi ke Paul Brousse, lagu tersebut berkembang ke dalam banyak versi pasca-penerbitan Revanche.
Pengaruh Global
“Dalam gerakan sosial, saling pinjam lagu dan slogan adalah wajar,” Rianne Subijanto, pengajar komunikasi pada Baruch College, City University of New York, menuturkan kepada Tirto.
Di Hindia Belanda, lirik-lirik lagu revolusi umumnya disadur dari bahasa Belanda. “Ki Hadjar Dewantara, sewaktu di perasingan 2-3 tahun di Belanda, dia menerjemahkan banyak lagu,” ujar Rianne yang tahun lalu menyelesaikan disertasi bertajuk A Communication History of the Communist Movement in the Dutch East Indies, 1920-1926.
Penerjemahan lagu-lagu perjuangan sedikit memberi ilustrasi seperti apa imajinasi politik para aktivis antikolonial di Hindia Belanda tentang sejarah politik Perancis.
Selain Revolusi Bolshevik, Revolusi Perancis juga menjadi teladan utama kaum radikal dan milisi-milisi pemuda seperti Pesindo. Revolusi yang menggulingkan monarki, memenggal raja dan ratu, mendirikan republik, serta melucuti kekuasaan bangsawan bermula dari serbuan ke Penjara Bastille pada 14 Juli 1789, tepat hari ini 231 tahun lalu, dan berakhir dalam kudeta yang akhirnya menaikkan Napoleon ke kursi kekaisaran (1799).Banyak sejarawan yang mempelajari Revolusi Indonesia (1945-1949), di antaranya Anton Lucas, Anthony Reid, dan Jacques Leclerc, menyatakan perjuangan kemerdekaan pada periode tersebut juga melibatkan revolusi sosial di daerah-daerah yang berusaha menghancurkan hierarki feodal yang mesra dengan penjajah—sebagaimana di Perancis—serta mengambil alih perkebunan-perkebunan milik Belanda. Pola-pola gerakan massa dalam kejadian-kejadian seperti Peristiwa Tiga Daerah dan revolusi di Sumatra Timur menunjukkan hal tersebut.
Indonesia bukan satu-satunya. Sejarawan Trinidad C.L.R. James mengisahkan dalam The Black Jacobins: Toussaint L'Ouverture and the San Domingo Revolution (1938), lagu-lagu Perancis dinyanyikan para militan kulit hitam selama Revolusi Haiti (1791-1804). Bahkan satu resimen pasukan Napoleon, yang dikirim untuk mengembalikan Haiti ke dalam wilayah jajahan Perancis, disambut dengan tombak dan parang oleh kaum revolusioner yang menyanyikan "La Marseillaise". Dalam narasi James, resimen itu kemudian membelot ke kubu Haiti.
Ketika Richard Nixon melawat ke Beijing pada 1972, seorang wartawan tiba-tiba menanyakan peristiwa yang telah lewat nyaris dua abad. “Menurut Anda apa dampak Revolusi Perancis?” tanya sang wartawan. Perdana Menteri China Zhou Enlai menjawab: “masih terlalu dini untuk dipastikan.”
Di negeri asalnya, rujukan ke Revolusi Perancis—termasuk lagu, simbol, dan slogan—berulang kali muncul dalam pergolakan massa sepanjang abad ke-19. Pada 1814, monarki Bourbon kembali berkuasa, diinterupsi oleh Revolusi 1830, hingga akhirnya digulingkan lagi dalam Revolusi 1848 yang melahirkan Republik Kedua. Usia Republik Kedua cuma dua tahun lantaran presiden terpilih, Louis Napoleon, mengangkat dirinya sebagai kaisar pada 1851. Republik Ketiga didirikan pada 1871 setelah peristiwa Komune Paris.
Tradisi Perancis
"Drapeau Rouge" bukan satu-satunya lagu revolusioner Perancis yang mendunia.
Pergolakan rakyat di Perancis antara akhir abad ke-18 hingga abad ke-20 tak lain adalah musim semi lagu-lagu revolusioner. Sampai hari ini, lagu-lagu itu telah direkam ulang dengan berbagai variasi oleh biduan populer seperti Edith Piaf, Yves Montand, Jean Ferrat, Mirelle Mathieu, dan Johnny Hallyday. Sejumlah penyanyi bahkan memproduksi album khusus lagu-lagu revolusi.
Dua puluh volume album Histoire de France par les chansons (1962) mengabadikan seleksi lagu-lagu dari periode sejarah yang berbeda-beda, dari era Perang Salib hingga Republik Kelima (1958-…). Empat volume di antaranya dipersembahkan untuk era Revolusi Perancis 1789, Revolusi 1848, dan Komune Paris.
Album-album lain yang dirilis setelahnya mengikutsertakan lagu-lagu gerakan komunis yang aktif dalam gerakan perlawanan antifasis selama Perang Dunia II, sebagaimana yang terekam di album La Révolution Française: Chants Du Patrimoine (Jacques Gautier, 2007) dan Chants de révolte (Rosalie Dubois, 2008).
Dari seluruh lagu tersebut, dua yang paling terkenal adalah "La Marseillaise" dan "Internationale". Yang pertama dikarang oleh Claude Joseph Rouget de Lisle dan diadopsi sebagai lagu nasional di tengah-tengah revolusi tahun 1792. Namun, "Marseillaise" dinyatakan terlarang sampai 1879, ketika statusnya sebagai lagu nasional direhabilitasi. Walhasil, selama puluhan tahun pula ia jadi lagu pemberontak.
"Marseillaise" diadaptasi ke bahasa Rusia, Spanyol, Mandarin, dan lain-lain. Lagu itu juga sempat dinyanyikan pada masa Revolusi Haiti, Revolusi Bolshevik (1917), diadopsi sebagai mars Apris (partai berhaluan kiri di Peru sejak 1930), menemani Pasukan Merah Mao Zedong sepanjang Long March (1934-1935), diadopsi sebagian melodinya jadi "Dari Sabang Sampai Merauke", disadur sebagai "Marsellesa socialista"di bawah pemerintahan Allende di Chile dan dilarang setelah kudeta Pinochet (1973).
Seniman dan penyair Eugène Pottier menulis lirik "Internationale" dalam persembunyian ketika militer Perancis menyebu Paris dan membantai ribuan buruh dan serdadu yang berpartisipasi dalam Komune Paris. Lagu yang pada awalnya dimainkan berdasarkan irama "Marseillaise" ini lantas diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan menjadi lagu gerakan buruh, organisasi kiri, dan partai komunis. Saduran awal berbahasa Indonesia dikerjakan oleh Ki Hadjar Dewantara. Di Rusia, "Internationale" adalah lagu kebangsaan hingga 1944 ketika digantikan oleh "Gosudarstvenny gimn SSSR" (Lagu Kebangsaan Uni Soviet).
Di luar pengalaman Perancis, perlawanan terhadap fasisme juga berbuah musik. Perang Sipil di Spanyol (1933-1936) antara kubu kiri dengan pasukan Franco yang didukung Hitler melahirkan "A las Barricadas" (Maju ke Barikade), yang diadaptasi dari "Warszawianka" (Lagu Warsawa) yang berasal dari masa ketika rakyat Polandia melakukan pemberontakan terhadap pendudukan Rusia pada 1831. Menjelang kekalahan Hitler pada 1943-1945, Italia menyumbang "Bella Ciao", yangkini telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa (Breton, Katalunya, Mandarin, Kroasia, Denmark, Inggris, Spanyol, Thai, Tibet, Turki, Tagalog, dan lain-lain). Ketika protes besar Gerakan Hijau di Iran meletus menentang kecurangan pemilu 2009, lagu ini dinyanyikan massa yang turun ke jalan.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 14 Juli 2017 dengan judul "Jejak Revolusi Perancis di Lagu PKI". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Maulida Sri Handayani