Menuju konten utama

Jazz Gunung Seri 1 Bromo, Perayaan Harmonisasi Seni dan Alam

Jazz Gunung Series 2025 hadirkan pertunjukan teater boneka & pameran seni rupa. Sebuah improvisasi  mengoptimalkan pengalaman estetik pancaindra.

Jazz Gunung Seri 1 Bromo, Perayaan Harmonisasi Seni dan Alam
Kua Etnika dalam Jazz Gunung Series I Bromo. tirto.id/Eggi Hadian

tirto.id - Seni selalu punya cara untuk menunjukkan magisnya. Daya pukaunya. Ada nada untuk musik, gambar dan citraan berbagai dimensi untuk rupa, hingga perpaduan unsur fiksi dan realitas untuk pentas, teater. Di Jazz Gunung Series 2025, semua elemen itu dibaurkan dalam satu suguhan, memberi kepuasan sekaligus menghidupkan pancaindra.

Tahun ini, Jazz Gunung Series direncanakan hadir dalam tiga rangkaian. Tak hanya menghadirkan pagelaran musik jazz, penyelenggara Jazz Gunung berupaya membangun wahana telusur seni secara utuh dan terbuka, sehingga bisa dinikmati oleh siapa saja, tanpa terkecuali.

Sabtu (19/7), pukul 09.00, Jazz Gunung seri pertama resmi dibuka dan dilangsungkan di Jiwa Jawa Resort, Bromo, Probolinggo, Jawa Timur. Setibanya di venue, hal pertama yang dijumpai pengunjung bukanlah musisi, melainkan boneka-boneka yang menjadi aktor teater, serta siswa-siswi Sekolah Dasar Negeri (SDN) Jetak, Kecamatan Sukapura.

Para pelajar yang masih duduk di bangku kelas 1 dan 6 SD itu dibagi dalam dua kelompok. Mereka saling bergandengan tangan, dipandu karakter Petani Lokal–Yoga, Beni, dan Pambo; semuanya boneka–menyusuri jalan setapak yang menjadi rute lintasan mereka sehari-hari. Setelah melewati lahan pertanian, rombongan bertemu Mbah Kunta, pedagang sayur yang kelelahan dan sedang terlelap di atas bakul dagangannya.

Mbah Kunta mesake lho. Wayahe pasar bubar, tapi Mbah Kunta sih nang kono turu i (Mbah Kunta kasian lho. Waktunya pasar tutup, tapi Mbah Kunta masih tidur di sini),” ujar Pambo. Menyadari ada rombongan anak-anak di hadapannya, Mbah Kunta terjaga dan dengan riang menyapa mereka.

Pementasan Before Sunrise

Pementasan Before Sunrise: Bromo oleh Papermoon Puppet Theatre dalam rangkaian Jazz Gunung Series I Bromo. FOTO/Tim Dokumentasi Jazz Gunung

Selanjutnya, rombongan juga bertemu dengan Mbah Tani. Seperti halnya Mbah Kunta, Mbah Tani juga memberi sambutan hangat kepada anak-anak saat melewati lahan garapannya. Babak pamungkas pertunjukan ini berakhir di sebuah lapangan terbuka, tepat di seberang SDN Jetak.

Pementasan di atas, “Before Sunrise: Bromo”, digarap Papermoon Puppet Theatre (Papermoon) asal Yogyakarta. Pementasan ini menyuguhkan sebuah site specific performance yang dibangun, dibuat, dan terinspirasi dari pengalaman Papermoon dalam merespons ruang-ruang dan kisah yang mereka jumpai di sebuah desa di Bromo.

Maria Tri Sulistyani atau Ria Papermoon, pencetus teater boneka Papermoon, menyebut “Before Sunrise: Bromo” didedikasikan untuk para petani dan pedagang sayur yang bekerja sedari matahari belum terbit, agar sayuran sehat terhidang di piring orang banyak.

“Sejak awal, karya ‘Before Sunrise’ ini didedikasikan untuk para pahlawan yang tidak pernah disebut: para petani, pedagang sayur, yang sebelum matahari terbit mereka sudah bekerja keras untuk makanan kita,” kata Ria kepada awak Tirto, Sabtu (19/7/2025).

Pertunjukan terus berlangsung dengan adegan petani dan pedagang memilah-milah hasil bumi sebelum pagi. Proses ini tidak lama, tetapi yang istimewa, sayur-mayur menjelma menjadi media cerita dan disulap menjadi ragam kreasi: telepon, alat musik jazz, hingga binatang laut. Sayuran dengan kondisi kurang baik dimanfaatkan sebagai bahan bagi anak-anak untuk mengasah kreativitas mereka melalui lokakarya yang diselenggarakan setelah pementasan.

Bagi Ria, konsep pentas teater di ruang terbuka yang berpindah-pindah ini bukan hanya untuk menampilkan sebuah cerita. Papermoon ingin mengajak penonton untuk melihat kehidupan di sekitar lokasi penyelenggaraan Jazz Gunung di Bromo.

“Pengunjung Jazz Gunung diajak untuk melihat lanskap Bromo. Dan bagi warga setempat, mungkin mereka bisa melihat apa yang biasa mereka lihat sehari-hari dengan kacamata yang berbeda,” ujar Ria.

Chief Executive Officer (CEO) Jazz Gunung, Bagas Indyatmono, mengatakan pementasan teater sebelum pagelaran jazz adalah sebuah upaya untuk menghadirkan pertunjukan yang komplet. Awalan ini menjadi pelengkap untuk pagelaran jazz yang kerap dihadiri keluarga.

“Selama 17 tahun ini, kami memahami ternyata Jazz Gunung itu family event dan banyak banget Jamaah Al-Jazziyah yang datang bawa anak-anak. Terkadang juga kan bingung, apa sih yang bisa kami tawarkan juga buat keluarga-keluarga muda ini?” kata Bagas kepada reporter Tirto.

“Akhirnya tercetus, kami harus bikin satu (pertunjukan) teater yang inklusif, yang bisa dinikmati semuanya,” sambung dia.

Bagas berpandangan, festival jazz tidak melulu soal musik. Pendukung kegiatan yang dapat melengkapi dan menambah ragam mata acara menghadirkan warna tersendiri dalam pagelaran musik.

Selain itu, anak-anak yang menyaksikan pementasan teater dan jazz merupakan bibit muda yang sangat dibutuhkan demi keberlanjutan ekosistem seni. Bagas menegaskan, anak-anak sudah seharusnya dikenalkan kepada kesenian sejak belia. Maka, beginilah jadinya: dalam satu hari penyelenggaraan Jazz Gunung, pengunjung merasakan berbagai pengalaman menikmati macam-macam bentuk kesenian.

Bersuka dalam Pagelaran Jazz di Gunung

Pukul 15.00 WIB, perpaduan harmonika, gitar elektrik, dan drum dari Emptyyy membuka pertunjukan musik Jazz Gunung di Amfiteater Jiwa Jawa Resort.

Selanjutnya, giliran Jamie Aditya yang membawakan beberapa nomor jazz favoritnya. Menurut Jamie, kunci untuk bersuka ria bersama penonton adalah menyenangi pertunjukan itu sendiri. Dalam penampilan pertamanya di Jazz Gunung, eks VJ MTV ini membawakan serangkaian lagu, antara lain One Is Never Too Old To Swing, Sweet Marijuana Brown, dan The Little Man Who Wasn’t There.

“Gue ambil lagu-lagu kesenangan gue dari era yang gue seneng, yaitu era 20-an, 30-an, 40-an, sebab seperti gue ngomong di press conference, nada-nadanya masih happy. Lagu-lagunya, nada-nadanya mudah untuk dimain-mainin,” kata Jamie.

Jamie Aditya

Jamie Aditya dalam Jazz Gunung Series I Bromo. FOTO/Tim Dokumentasi Jazz Gunung

Selepas pertunjukan, Jamie membagikan pengalamannya manggung pertama di Jazz Gunung. Menurutnya, venue pertunjukan memberikan energi tersendiri bagi para penampil.

“Malam sebelum ke sini, gue nge-gigs, terus gak bisa tidur. Tidurnya subuh, terus paginya ke sini. Gue capek, tapi begitu lihat alam, energi gue langsung nyala lagi. Ini hal yang hebat tentang festival jazz ini, tempatnya saja bisa ngasih kita energi,” ungkap Jamie.

Jamie juga bercerita tentang rangkaian kegiatannya bersama musisi pengiring sebelum sampai di Jazz Gunung Series.

“Sebelum ke sini, Rabu, kami manggung di pub, Kamis di restoran. Sekarang manggung di sini. Ternyata ada gigs yang bayar kami untuk main di tempat bagus begini buat beautiful people dan vibes yang enak banget,” tambahnya.

Musisi lain yang turut memeriahkan panggung pertunjukan adalah Kua Etnika, Karimata, dan RAN. Khusus Kua Etnika, mereka tak pernah sekali pun absen tampil selama 17 tahun penyelenggaraan Jazz Gunung. Dan seperti tahun sebelumnya, kelompok ini juga memberikan persembahan untuk mendiang Djaduk Ferianto, salah seorang penggagas Jazz Gunung dan Kua Etnika. Lewat pukul 20.00 WIB, ketika cuaca pegunungan semakin menggigit, venue justru menghangat setelah RAN mengajak penonton melantukan "Pandangan Pertama" bersama-sama.

RAN

RAN dalam Jazz Gunung Series I Bromo. tirto.id/Eggi Hadian

Penonton asal Surabaya, Aulia (25), mengatakan Jazz Gunung merupakan pengalaman yang menyenangkan. Ia menikmati pertunjukan musik, lanskap yang diselimuti kabut tipis, serta suhu Bromo yang menusuk kulit sampai pentas selesai, dalam waktu bersamaan.

“Menurutku, pengalaman pertama ini seru. Penyanyinya tampil dengan menarik, bahkan untuk mereka yang gak terlalu mengenal musik jazz. Belum lagi, pemandangan langsung lanskap eksotis kaki Gunung Bromo ini memberikan suasana yang berbeda,” kata Aulia.

Menurutnya, Jazz Gunung memberikan suguhan estetika yang memadukan seni dengan alam. Harmonisasi semacam ini yang membuat penonton menikmati pertunjukan dengan hikmat.

“Melihat pertunjukan musik di alam seperti ini, aku bisa mengatakan dapat pengalaman estetika yang memadukan seni dengan alam. Rasanya, penonton tidak hanya menikmati musik, tetapi juga makin dekat dengan alam,” ujar Aulia.

Selain lewat teater dan musik, kedekatan Jamaah Al-Jazziyah dengan seni dan alam juga dihadirkan melalui pameran visual kolaborasi dengan ISI Yogyakarta. Lebih dari 100 karya instalasi, lukis, dan fotografi dipertontonkan kepada khalayak.

Pengajar Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta, Mikke Susanto, mengatakan bahwa kesempatan menjumpai berbagai langgam seni ini merupakan pengalaman holistik yang menyalakan pancaindra pengunjung Jazz Gunung Series 2025.

Pameran visual dalam Jazz Gunung

Pameran visual dalam Jazz Gunung Series I Bromo. tirto.id/Eggi Hadian

“Dengan adanya pameran seni rupa, saya kira Jazz Gunung akan menambah khazanah baru dalam konteks kebudayaan secara umum. Pertama, tentu satu yang paling menarik adalah memberi pengunjung (kesempatan) menikmati seutuh-utuhnya pancaindra untuk berkegiatan di sini. Jadi, jazz sudah berimprovisasi soal bagaimana upaya mata, telinga, dan sebagainya turut bergerak dalam seni visual,” pungkas Mikke.

Jazz Gunung Series 2025 bakalan digelar tiga kali. Perhelatan kedua dilaksanakan lagi di Bromo pada 25 & 26 Juli 2025, sedangkan rangkaian pamungkas diselenggarakan di kawasan Ijen, Banyuwangi, pada 9 Agustus 2025.

Baca juga artikel terkait FESTIVAL MUSIK atau tulisan lainnya dari Shofiatunnisa Azizah

Penulis: Shofiatunnisa Azizah
Editor: Zulkifli Songyanan