Menuju konten utama
Siaran Pers

Jaring Nusa KTI Gelar Seminar untuk Penyelamatan Wilayah Pesisir

Jaring Nusa KTI mengggelar seminar nasional untuk penyelamatan wilayah pesisir, laut dan pulau kecil.

Jaring Nusa KTI Gelar Seminar untuk Penyelamatan Wilayah Pesisir
Seminar Nasional Jaring Nusa KTI pada Kamis (07/09/2023). FOTO/Jaring Nusa NTI

tirto.id - Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia (KTI) menggelar seminar nasional bertema "Memperkokoh Visi Maritim Indonesia untuk Penyelamatan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau Kecil" di Jakarta, Kamis (09/07/2023).

Seminar ini terselenggara guna merespons isu terkait fakta yang menunjukkan beberapa wilayah Indonesia yang mempunyai tingkat kemiskinan tinggi di wilayah KTI yaitu provinsi Papua, Papua Barat, NTT dan Maluku.

Wilayah KTI sendiri sebenarnya kaya akan sumber keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Namun sayangnya, jika dilihat dari jumlah penduduk miskin yang dirilis BPS tahun 2021 mencapai 10% dari populasi Indonesia atau berjumlah sekitar 27,54 juta jiwa.

Di sisi lain, pemerintah telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang juga banyak membahas mengenai isu pesisir, laut dan pulau kecil.

Seminar nasional KTI menghadirkan berbagai pembicara dari akademisi, pemerintah hingga organisasi masyarakat sipil dan kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Coastal and Small Islands People Summit yang kedua diselenggarakan Jaring Nusa KTI.

Plt. Direktur Kelautan dan Perikanan Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Sri Yanti JS menjelaskan, jika dilihat dari RPJPN 2025-2045 arah kebijakan kelautan dan pesisir memiliki peran penting.

Namun saat ini, kata dia, pengelolaan potensi laut belum dikelola secara optimal. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bappenas, terdapat 3 hal potensi laut yang belum optimal.

Seminar Nasional Jaring Nusa NTI

Arah Kebijakan Pembangunan Kewilayahan RPJPN 2025-2045. FOTO/Paparan Materi Kemenkomarves

Pertama belum optimalnya pengelolaan WPP dan perikanan budidaya. Lalu belum berkembangnya diversifikasi industri yang memanfaatkan sumber daya laut. Terakhir adalah belum optimalnya tata kelola dan regulasi pemanfaatan ruang laut.

“Daya tampung lingkungan laut mengalami penurunan akibat aktivitas yang tidak berkelanjutan dan peningkatan persaingan akan ruang laut,” ujar Sri Yanti dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tirto, Jumat (8/9/2023).

Selain itu, menurutnya, daya dukung ekosistem laut mengalami kerentanan seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia dan perubahan iklim.

Sri Yanti menjelaskan, selama beberapa tahun ke depan, negara-negara di dunia akan semakin mempertahankan sumber daya alam yang berada di negara masing-masing untuk digunakan sebagai modal hilirisasi dan peningkatan nilai tambah.

Sehingga sebagai negara maritim, Indonesia memiliki sumber daya alam yang besar pada sektor laut perlu melindungi dengan berbagai aturan dan tata kelola yang baik.

“Kita sudah menyusun proses ini sejak tahun 2020, sekarang prosesnya adalah proses politik, di parlemen untuk menjadi undang-undang yang akan diacuh oleh pemimpin siapa pun pemimpinnya nanti,” terangnya.

Ia menyebutkan, terdapat tiga arah kebijakan pembangunan kelautan dalam RPJPN 2025-2045 yakni transformasi ekonomi, ketahanan ekologi dan ketahanan sosial budaya.

“Kita harus memposisikan laut sebagai halaman terdepan harus keseluruhan Nusantara. Kekayaan yang kita olah harus untuk kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Bappenas sendiri sudah membagi arah kebijakan pembangunan kelautan berbasis kewilayahan pada RPJPN 2025-2045. Hal itu dibagi setelah dilakukan riset terhadap kelebihan-kebeluhan semua pulau.

“Visi Indonesia ini ditujukan untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, Indonesia sebagai negara kepulauan juga harus bertumbuh dan sustain. Perlu optimalisasi sektor pembangunan energi terbarukan, bioteknologi dan bioekonomi, penelitian dan pendidikan, manajemen lingkungan dan SDA,” terangnya.

Seminar Nasional Jaring Nusa NTI

Subsektor di industri maritim yang belum sepenuhnya dikembangkan. FOTO/Paparan Materi Kemenkomarves

Sementara itu Muh Rasman Manafi, Asisten Deputi Pengelolaan Ruang Laut dan Pesisir Kemenkomarves menjelaskan, terdapat 6 visi untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat peradaban maritim dunia.

Keenam visi tersebut yakni pemerataan pembangunan, perairan yang bersih, sehat dan produktif, peningkatan produksi dan nilai tambah barang dan jasa SDA.

Selain itu, terdapat masyarakat maritim yang kompetitif, tata kelola yang baik hingga kedaulatan maritim dalam arti luas secara efektif.

“Untuk mencapai target pertumbuhan yang tinggi inklusif dan berkelanjutan, dibutuhkan pendekatan ekonomi konvensional, hijau, dan biru dalam pembangunan jangka panjang ke depan,” terangnya.

Rasman memaparkan, untuk mencapai visi maritim tersebut perlu melihat beberapa hal penting. Pertama Melanjutkan hilirisasi industri, meningkatkan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dan digitalisasi, menggerakkan ekonomi rakyat, serta pengembangan SDM.

“Untuk meningkatkan nilai tambah, harus melalui hilirisasi. Ke depan kita harus dorong mendekati pusat produksinya. Kita basednya mendekati pusat produksi. Jangan ikannya diambil di timur, diolah di barat,” jelas Rasman.

Kedua melakukan dekarbonisasi dan transisi energi untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, dan terakhir pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata pencaharian dan pekerjaan dengan menjaga ekosistem laut.

“Kontribusi kalau sektor maritim sangat rendah, Kita mau mewujudkan negara maritim, harusnya kontribusinya lebih dari 50 persen dari sektor maritim, namun masih 7 persen,” kata dia.

Dirjen Perikanan Tangkap KKP Agus Suherman juga ikut menjelaskan aturan yang baru saja diterbitkan pemerintah, yakni PP Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.

Menurutnya, aturan ini merupakan bentuk transformasi sektor kelautan yang menjawab 3 persoalan utama yakni persoalan keberlanjutan sumber daya ikan, ekonomi dan saing produk.

“Banyak kapal tapi sebagian besar masih belum banyak yang mendapatkan ikan, konflik wilayah tangkap. Dengan PP ini akan ada pemerataan pembangunan dan swasta akan menyiapkan anggaran atau lewat pemerintah untuk nelayan,” paparnya.

Menurutnya, adanya PP ini akan semakin berpihak kepada nelayan. Sehingga ia menyerukan untuk bersama mengawal kebijakan ini.

“Perlu menyusun langkah-langkah strategi lalu mengimplementasikannya. PP ini berpihak kepada nelayan lokal dan tradisional. Jangan sampai ada pemikiran bahwa ini untuk investasi asing. PP ini sudah diregulasi sedemikian rupa itu mengutamakan kepentingan nelayan lokal dan tradisional,” jelasnya.

Menanggapi PP Penangkapan Ikan Terukur, Amin Abdullah dari LPSDN Lombok sekaligus anggota Jaring Nusa mengungkapkan, jika aturan in secara konsep hebat diatur dalam kertas, tapi implementasi akan sulit.

“Belum ditentukan kuotanya saja susah menangkap ikan. kalau ditetapkan kuota mereka akan berhadapan dengan nelayan luar. Diucapkannya begitu gampang, faktanya susah,” terangnya.

M Zulficar Mochtar, CEO Ocean Solutions Indonesia (OSI) pun turut memberikan beberapa masukan terkait tata kelola perikanan. Yang perrtama, menurutnya, data dan informasi yang ada belumlah optimal.

“Ada banyak versi data. Data dan informasi perikanan jauh dari memadai sehingga sulit dijadikan basis kebijakan strategis,” ujarnya.

Selanjutnya, aktor perikanan yang tidak solid. Ia menerangkan ada kendala komunikasi dan trust, bias perwakilan hingga minim partisipasi. Selain itu kesiapan infrastruktur, sistem rantai dingin, kapasitas hingga taat kelola pekerja yang tidak memadai.

Ia juga menjelaskan jika kebijakan yang dibuat kurang strategis. Proses konsultasi yang tidak ideal, tekanan PNBP yang kurang realistis hingga hambatan tarif dan nontarif yang menghambat laju perikanan.

“Akses perbankan sangat sulit. Kapal-kapal yang dimiliki tidak ada asuransinya. Berapa banyak nelayan yang bisa mengakses. 82 persen BBM tidak tepat sasaran. Maksud dari pemerintah sudah bagus, namun untuk ke masyarakat sendiri belum terkoneksi,” jelas Zulficar.

Seminar Nasional Jaring Nusa NTI

Aksi yang dilakukan oleh WALHI Sulsel atas kebijakan tambang pasir laut di perairan Spermonde. FOTO/WALHI Sulsel

Ia juga menambahkan catatan kritisnya terhadap tata kelola perikanan adalah IUU Fishing yang nbelum terkendali hingga pengaruh politik, oligarki, korupsi dan transparansi.

“Di wilayah yang banyak pembiusan ikan anggaran provinsi untuk pengawasan sangat kecil. Pengawasan kita sangat perlu dibenahi. Kita punya banyak PR, kita perlu konsolidasi gerakan di tingkat tapak. Harus ada model yang bisa ditawarkan pada pemerintah. Kalau tidak ada, bisa jadi terjadi kebijakan yang tidak tepat sasaran, banyak pengambil kebijakan tidak punya pengalaman, tidak mengerti persoalan,” tutupnya.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI turut memberikan tanggapan visi maritim 2045.

Ia menyerukan pemerintah untuk serius menyusun dan mengimplementasikan kebijakan tersebut di tengah situasi pesisir, laut dan pulau kecil yang semakin kritis.

“Kenaikan temperatur laut naik. Anehnya pemerintah tidak punya sense of crisis. Dampak di lapangan sudah terlihat. Desa-desa tenggelam, 2045 Indonesia tenggelam bukan indonesia emas,” terangnya.

Sementara itu Yonfitner, Guru Besar Institut Pertanian Bogor menjelaskan perlu mendorong optimalisasi sistem insentif untuk peningkatan produktivitas kelautan dan perikanan yang berkualitas.

“Kita menyiapkan regulasi tetapi perangkatnya tidak terkonsolidasi. 2045 sektor kelautan harus memiliki yang kreatif, tangguh, kompottiti dan berkelanjutan dengan laut yang sehat dan berkeadilan,” ujarnya.

Insentif menjadi instrumen untuk mendorong terbangunnya struktur pelaku produksi kelautan dan perikanan yang tangguh, berkembang dan berkeadilan

“Pola proses produksi yang tidak mendukung keberlanjutan sumberdaya kelautan dan perikanan harus dilawan,” tegas Yon.

Karenanya, Yon mendorong perlunya peningkatan daya saing produk dan perikanan yang inklusif dan berkelanjutan.

Konsistensi kebijakan hulu-hilir, jaminan input produksi, ketersediaan infrastruktur dan biaya logistik yang lebih rasional.

“Prasyarat yang dibutuhkan untuk mendukung daya saing produk perikanan dan kelautan. Kita mengawal investasi tapi tidak mengawal kemanfaatan investasi. Ukurannya bukan ke hulu, tapi ke hilir,” pungkasnya.

Lebih lanjut Yon mengatakan, efisiensi logistik ikan dan produk kelautan bukan hanya tanggung jawab kementerian teknis perikanan dan kelautan, tetapi seluruh pemangku kepentingan untuk menunjang daya pelaku usaha kelautan dan perikanan.

Penulis: Tim Media Servis