Menuju konten utama

James F. Sundah Merilis Lagu Baru, "Seribu Tahun Cahaya"

Berbeda dari karya-karya James sebelumnya, "Seribu Tahun Cahaya" dirilis dalam tiga versi bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jepang.

James F. Sundah Merilis Lagu Baru,
Konferensi pers online perilisan lagu "Seribu Tahun Cahaya" karya James F. Sundah. Foto/ Tirto.id

tirto.id - Setelah lebih dari dua dekade tidak merilis lagu baru, komposer legendaris James F. Sundah kembali ke dunia musik lewat karya berjudul "Seribu Tahun Cahaya". Lagu ini menjadi penanda kembalinya pencipta "Lilin-Lilin Kecil" itu ke ranah rekaman, sekaligus bentuk refleksi pribadi atas perjalanan hidup dan cintanya.

Untuk liriknya, dia terilhami oleh kisah kasih sang istri yang merawatnya dengan penuh kesetiaan dan ketulusan. James menceritakan, ide "Seribu Tahun Cahaya" sebenarnya telah muncul sejak 2006–2007, namun baru rampung dan dirilis pada 2025. Menurut James, lagu ini mendapat judul lebih dulu ketimbang musik dan liriknya.

"Karena itu, akhirnya saya kebingungan sendiri cari genre musik, kayak apa bentuknya, kebingungan sendiri. Sehingga lagu ini lama gak kelar-kelar," kata James.

Berbeda dari karya-karya James sebelumnya, "Seribu Tahun Cahaya" dirilis dalam tiga versi bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jepang. Versi Indonesia dan Inggris dibawakan oleh Claudia Emmanuela Santoso, penyanyi muda Indonesia yang menjuarai The Voice of Germany, sementara versi Jepang dinyanyikan oleh Meilody Indreswari.

Menurut James, keputusan merilis lagu dalam tiga bahasa bukan sekadar strategi promosi, melainkan cara untuk menegaskan bahwa pesan cinta dan kemanusiaan bersifat universal, melintasi batas budaya dan bahasa. Selain itu, generasi penyanyi yang lebih muda dianggap sebagai gambaran zaman yang kita lewati.

"Nah, mudah-mudahan lintas generasi ini bisa sampai pesan-pesan di dalamnya, bahwa ketika kita memberikan cinta yang tanpa batas dengan penantian yang panjang bisa sampai juga kok," kata James.

Dari sisi musik, tiap versi menghadirkan atmosfer musik yang berbeda. Versi Indonesia memadukan instrumen tradisional seperti angklung dan kolintang, versi Inggris membawa sentuhan modern dengan elemen synthesizer, sementara versi Jepang menggunakan koto dan shakuhachi untuk memberi kesan lembut dan meditatif.

Ketiga versi ini dirilis secara bersamaan dan diproduksi dengan standar internasional, termasuk proses pendaftaran hak cipta di Amerika Serikat.

"Kami daftarkan di tahun 2013 kalau gak salah, kami daftarkan di Copyright Office di Amerika Serikat, itu kami udah punya dalam 5 versi sekaligus udah terdaftar," tambah James.

Tak hanya menyentuh dari sisi musikal, "Seribu Tahun Cahaya" juga mencatat prestasi unik di bidang industri kreatif. Lagu ini meraih rekor dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai “lagu tiga bahasa dari tiga benua dengan jumlah pemegang hak ekonomi terbanyak”. Pencatatan ini menjadi simbol komitmen James dalam memperjuangkan perlindungan karya cipta di tengah perubahan ekosistem musik digital.

Bagi James, merilis lagu baru bukan sekadar soal “kembali ke panggung”. Di usianya yang kini matang, ia mengaku ingin menghadirkan karya yang punya napas panjang dan makna mendalam. Sama seperti yang dia ungkapkan di lagu "Seribu Tahun Cahaya", karya-karya James akan bisa hidup seribu tahun lagi.

Baca juga artikel terkait MUSIK atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono