tirto.id - Pengarsipan musik di negara-negara maju umumnya sudah sangat mumpuni. Amerika misalkan, tidak hanya lembaga negara yang punya pengarsipan musik. Kampus pun bahkan punya koleksi masing-masing. Amerika Serikat punya MLA, alias Music Library Association. Sedangkan kampusnya, salah satu yang paling tenar adalah UCLA Music Library yang merupakan salah satu kolektor musik terbesar di Amerika. Mereka tidak hanya mengarsipkan musik dalam bentuk audio saja. Tetapi juga buku, rekaman wawancara, film dokumenter, hingga koleksi poster band. Koleksi musiknya tidak hanya terbatas pada musik klasik atau jazz, bahkan mereka juga punya koleksi heavy metal dan juga punk.
Pemerintah Inggris melalui BBC, punya BBC Sound Archive yang koleksinya merentang sejak abad 19 hingga sekarang. Tak cuma musik, mereka juga mengarsipkan pidato, hingga dialek bahasa. Jerman punya DRA, alias Deutsches Rundfunkarchiv yang dibentuk sejak 1952 sebagai pusat penyimpanan audio Jerman. Mereka adalah sayap dari konsorsium lembaga penyiaran publik Jerman ARD, yang mempekerjakan 20.616 pegawai dan setiap tahun diberi dana dari pemerintah Jerman sebanyak 6,5 miliar Euro.
Pekerjaan mengarsip memang pekerjaan jalan sunyi. Muhidin M. Dahlan, pengarsip tekun dari Radio Buku, pernah menuliskan bahwa arsip adalah nyawa bangsa. Dalam dunia musik, pengarsip adalah pekerjaan yang amat berjarak dari lampu sorot. Kalah mentereng ketimbang jadi musisi, manajer band, atau produser.
Beruntung di Indonesia masih ada segelintir orang yang setia bekerja di tempat yang jauh dari hingar bingar itu. Sekelompok pecinta musik di Irama Nusantara, misalkan. Dengan gotong royong, David Tarigan, Christoforus Priyonugroho, Toma Avianda, Alvin Yunata, Norman Illyas, dan Dian Wulandari memulai situs yang berusaha mengarsipkan musik populer Indonesia.
Semuanya berawal dari kecintaan dan keisengan. Pada 2008 David punya proyek Kentang Radio. Radio berbasis internet itu memutar lagu-lagu Indonesia lama yang sudah ditransfer dari medium piringan hitam ke bentuk digital. Butuh 5 tahun hingga akhirnya Irama Nusantara berdiri.
Tapi jika menengok lebih ke belakang lagi, semua bermula dari rasa penasaran. David, dan juga perintis Irama Nusantara, punya satu kesamaan: menyukai musik lawas Indonesia. David sudah sejak SMP mulai membeli piringan hitam musik-musik Indonesia. Ketika sudah beranjak dewasa, ketika ingin cari tahu lebih dalam tentang musisi-musisi yang mengusik pikirannya, ujungnya mentok. Susah sekali mencari informasi tentang band lawas Indonesia. Kalaupun ada, sangat susah diakses. Akhirnya berawal dari koleksi milik pribadi, David dan kawan-kawannya mulai mendata bagian yang paling mudah: data rilisan.
"Sebenarnya data yang ada di situs Irama Nusantara itu kan data mentah. Audio, teks, dan visual. Lalu kami dukung lagi dengan interview. Sekarang kami lagi mengarsipkan media cetak. Nantinya itu akan ditautkan satu sama lain," kata David saat ditemui di markas Irama Nusantara di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Pekerjaan Irama Nusantara dalam mendigitalkan dan mengarsipkan musik populer Indonesia bukan hal yang mudah. Malah teramat berat. Pangkalnya tentu soal ketersediaan dan jejak. Susah mencari rilisan-rilisan piringan hitam lawas yang memang biasanya dicetak terbatas di Indonesia.
Demi memudahkan pengarsipan, tim Irama Nusantara membatasi rentang rilisan. Dari dekade 50 hingga 70 terlebih dulu. Selain ketersediaan yang langka dan lebih susah dicari, pertimbangannya adalah daya tahan. Di era 80 dan 90 rilisan lebih mudah dicari, pun sudah ada berbagai medium, seperti kaset atau CD.
Sejak tiga tahun dimulai, Irama Nusantara sudah berhasil mendigitalkan lebih dari 1.500 rilisan. Semuanya dari piringan hitam. Tak dibatasi genre atau selera pendiri. Mau musik gambus, musik anak, hingga musik daerah, semuanya diangkut. Mereka memasang target 100 rilisan untuk didigitalkan.
Untuk ketersediaan rilisan, ada banyak pintu yang bisa diketuk. Pintu pertama adalah kolektor. Karena para pendiri Irama Nusantara adalah kolektor, mereka punya banyak jaringan pengoleksi lain. Itu pun mereka harus pasang badan dan menjamin keamanan rilisan yang dipinjam.
"Sebab kolektor itu suka susah minjemin koleksinya. Sudah diperlakukan kayak anak sendiri," kata David tertawa.
Tapi mencari rilisan di antara para kolektor ini memiliki kelemahan. Yakni mereka hanya mengoleksi apa yang mereka suka saja. Terbatas oleh genre dan selera pribadi. Kalau begitu kondisinya, maka pintu lain yang akan diketuk: para pedagang. Menurut David, lapak musik bekas adalah tempat dengan perputaran rilisan paling cepat. Ada banyak koleksi yang beredar antara para pedagang. Biasanya kalau tak dibeli, tim Irama Nusantara akan meminjamnya untuk didigitalkan.
Pintu lain adalah radio. Dalam hal ini RRI, yang seharusnya punya banyak koleksi piringan hitam. Sayang pintu ini agak susah dibuka. Tim Irama Nusantara tak punya akses. Untungnya kini mereka bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif. Akses pun terbuka. Sejak dua bulan terakhir, tim Irama Nusantara sibuk keliling RRI di pulau Jawa untuk mendata koleksi mereka. Yang bikin miris adalah, banyak dari koleksi RRI yang hilang atau rusak karena cara penyimpanan yang sembrono.
Mendigitalkan pun perlu kesabaran yang ajeg. Sebab transfernya real time, diputar sekalian ditransfer. Jika satu vinyl berisi tujuh lagu yang masing-masing berdurasi 5 menit, maka butuh 35 menit untuk mendigitalkannya. Jika dalam sebulan ada 100 piringan hitam yang harus didigitalkan, maka dibutukan sekitar 3.500 menit. Itu masih belum menghitung pembersihan. Sebab banyak piringan hitam yang kualitas suaranya tidak seprima dulu akibat salah cara menyimpan. Kadang ada pula yang dari luar tampak bagus, tapi suaranya jelek.
"Akhirnya diedit, dedas (terjemahan dari crackle, bunyi menderet dan gemresek, pen.) yang mengganggu akan dipotong secara manual. Gak pakai software macem-macem. Biar hasilnya paling enggak, tidak mengganggu," kata David.
Selain soal koleksi rilisan, yang juga diperhatikan oleh tim Irama Nusantara adalah soal hak cipta. Sebab di negara di mana hak cipta sempat jadi barang loak, hal itu rentan bikin ruwet dan pusing. Maka mereka banyak berdiskusi dan belajar tentang hak cipta. Kesimpulan yang mereka dapat, apa yang dilakukan oleh Irama Nusantara tidak akan terkena masalah. Sebab tujuannya adalah pendidikan, sama sekali bukan komersial. Hingga sekarang juga belum ada pihak-pihak yang mempermasalahkan soal pengarsipan ini.
"Tapi kami memasang pengumuman di situs. Kalau ada yang tidak berkenan karyanya dipajang, silakan kontak kami. Bisa kami hapus dari situs."
Selain Irama Nusantara, yang juga bergerak di bidang pengarsipan adalah anak-anak muda di gerakan Lokananta Project. Mereka bekerja sama dengan Perum Percetakan Negara Cabang Surakarta yang merupakan pengelola Lokananta.
Lokananta adalah sebuah studio rekaman legendaris yang didirikan pada 1956. Saat itu tugas utama mereka adalah memproduksi sekaligus menyebarkan materi untuk siaran Radio Republik Indonesia. Kemudian perannya meluas. Studio ini menjelma jadi label rekaman. Beberapa nama kondang yang pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari Lokananta adalah Gesang, Buby Chen, Jack Lesmana, hingga Waldjinah. Namun karena pembajakan dan berbagai faktor seperti kurangnya inovasi membuat pamor Lokananta menurun. Pada 1999 mereka resmi berhenti produksi. Pada 2004, mereka bangkit dari mati suru.
Beberapa orang sempat salah paham, dengan mengira bahwa Lokananta Project (LP) adalah inisiator digitalisasi koleksi Lokananta. Sebelumnya, Lokananta sudah terlebih dulu melakukannya. Sebelum LP, pihak Lokananta sudah bergerak untuk menyelamatkan koleksi mereka. Hingga sekarang, sudah ada sekitar 5 ribu master lagu yang sudah ditransfer ke bentuk digital.
"LP itu sekadar menyediakan wadah untuk menyebar arsip mereka dan melengkapi album-album mana saja yang belum didigitalisasi," kata Syaura Qotrunada, Manajer Proyek LP.
Berbekal semangat dan kecintaan terhadap musik, juga laptop dan scanner, mereka mulai membantu mendigitalkan koleksi Lokananta dan diunggah ke situs lokanantamusik.com. Berbeda dengan Irama Nusantara, hasil yang dipajang di situs itu hanya separuh dari durasi aslinya. Semua koleksi yang dipajang itu dilengkapi dengan catatan dari piringan hitam, menggunakan ejaan asli.
Sama seperti reaksi ketika pertama membuka situs Irama Nusantara, menjelajahi situs Lokananta Musik ini juga memberikan pengalaman yang mengasyikkan. Ada banyak harta karun musik populer Indonesia yang selama ini nyaris terlupakan, atau malah sama sekali tidak diketahui khalayak umum.
Ada nama-nama seperti Band Borobudur yang pernah punya album berjudul Njai Roro Kidul; Orkes Kerontjong Tjendrawasih, Sechase, hingga Zaenal Combo. Tak hanya musik populer, koleksi yang didigitalkan juga mencakup pidato Presiden Soekarno di konfrensi Asia Afrika pertama, hingga banyak koleksi murotal. Sayang, koleksi yang diunggah masih terbatas. Terkendala sumber daya manusia. Saat awal terbentuk, anggota tim ini ada 7 orang. Sekarang tinggal 3 orang. Meski demikian, pengunjung situs ini lumayan banyak.
"Bulan pertama ada ribuan pengunjung. Senang sekali!," kata Syaura. "Dampaknya memang tidak akan pernah bisa langsung dirasakan seketika. Biarkan saja pelan-pelan, yang penting berguna."
Senada dengan Syaura, David Tarigan dan tim Irama Nusantara tidak mau muluk-muluk memasang target atau visi misi. Tim Irama Nusantara sekarang hanya fokus pada pengarsipan.
"Sebab tak ada yang tahu pintu apa yang terbuka dengan pengarsipan ini. Siapa tahu ada yang awalnya hanya iseng mampir, lalu tertarik. Dia bisa saja berakhir jadi musisi, scholar, peneliti, kita tak akan pernah tahu," kata David.
Selama ini sudah ada beberapa orang yang menghubungi Irama Nusantara untuk meminta izin memakai lagunya. Tapi David dan sekondannya selalu menyarankan mereka untuk langsung menghubungi pemilik lagu. Lagi-lagi karena sistem hak cipta yang agak ribet di Indonesia, beberapa gagal memakai lagu yang ada di situs Irama Nusantara. Salah satunya adalah biro iklan asal Kanada.
Menurut David, cara orang luar negeri melihat musik lawas Indonesia itu sedikit berbeda dengan orang lokal. Jika kebanyakan orang Indonesia hanya berusaha nostalgia, orang luar negeri melihat ada kekerenan dan bisa dijadikan sesuatu yang lebih. Alias bisa dikomersilkan.
"Pihak yang ingin memanfaatkan ya, silakan. Tapi soal hak cipta silakan urus sendiri. Semisal pemilik hak cipta tidak punya versi digitalnya dan mau ngambil punya kita, ya silakan juga. Toh itu bukan punya kita, paling cuma ganti biaya transfer saja," kata David.
Untuk mencegah pembajakan, David mengunggah lagu dengan bitrate yang paling rendah. Jadi cukup untuk didengarkan, tapi akan kurang layak untuk dibajak. Walaupun, kata David sambil geleng-geleng kepala, sekarang apa saja bisa diakali dan dibajak.
Irama Nusantara maupun Lokananta Project adalah inisiatif swasta. Slogan "teruslah bekerja tak usah berharap pada negara" seperti menemui pembenarannya. Untuk hal vital seperti pendanaan, mereka juga mencari sendiri. Kebanyakan berasal dari kantong sendiri, juga dibantu oleh donatur maupun CSR perusahaan.
Tapi setidaknya sekarang negara sudah mulai hadir. Bisa dibilang cukup terlambat, tapi jauh lebih baik ketimbang berpangku tangan sama sekali. Sekarang Badan Ekonomi Kreatif sudah bekerja sama dengan Irama Nusantara untuk pengarsipan. Ini tentu langkah baik. Tapi jalan menuju pentingnya pengarsipan masih amat panjang. Butuh kesabaran dan kesadaran.
"Kesadaran ini tidak hanya harus ditanggung pemerintah. Tapi oleh semua. Tapi yang penting, bagaimana kesadaran ini bisa ada kalau bahannya tidak ada? Paling enggak, sosialisasi lah," kata David.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti