tirto.id - Ada banyak meme yang beredar di internet, tentang betapa menyenangkannya pengalaman mendengarkan musik di era pra internet. Mereka yang hidup di zaman itu pasti tahu hubungan antara bolpoin dan kaset, atau trik lucu tapi ampuh --entah siapa yang pertama kali mencetuskan ide itu-- supaya kaset tak mendem: dimasukkan ke freezer atau kulkas. Ada meme yang juga menggambarkan betapa asyiknya mendengarkan album sembari membaca liner notes. Menelusuri ucapan terima kasih para personel band, membuat penggemar merasa dekat dengan mereka yang disebut. Padahal kenal juga enggak.
Kemudian internet muncul. Era musik digital datang. Yang fisik perlahan dianggap tua. Boros tempat, tak efektif, merepotkan, anggapan seperti itu mulai datang dan ditawarkan para pecinta musik digital. Musik digital dianggap punya andil terhadap kiamatnya industri musik dengan medium kaset dan CD.
Tapi apakah internet dan musik digital adalah melulu tentang malapetaka? Ternyata tidak juga. Mereka menawarkan kemudahan dan kepraktisan. Tentu juga koleksi lagunya. Setelah era pembelian musik digital, muncullah streaming. Layanan ini menawarkan perwujudan dari kalimat terkenal: mencintai tak harus memiliki. Kamu tetap bisa mendengarkan lagu yang kamu sukai tanpa harus menyimpannya. Lebih efektif dan efisien, dan hemat ruang penyimpanan digital. Selain itu, layanan streaming bisa dinikmati gratis, walau fitur yang bisa dinikmati tak sebanyak pengguna berbayar.
Seiring semakin populernya ponsel pintar, layanan streaming juga mewujud sebagai aplikasi. Ada banyak sekali aplikasi streaming yang bisa dipilih. Sesuai preferensi masing-masing.
Saat ini penyedia jasa streaming yang paling populer adalah Spotify. Penggunanya mencapai 100 juta orang. Sekitar 30 juta di antaranya adalah pengguna berbayar. Koleksi lagunya juga mengagumkan. Mencapai 30 juta lagu. Setiap hari, perusahaan asal Swedia ini menambah 20.000 lagu baru.
Spotify berusaha memberikan keunggulan berupa mixtape personal yang diberi tajuk Discover Weekly. Ini adalah senarai lagu yang dibuat khusus oleh tim Spotify berdasar selera masing-masing pengguna. Jika seorang sering mendengarkan genre hair metal, atau musisi seperti Guns N Roses atau Motley Crue, maka yang akan muncul di Discover Weekly tak akan jauh dari genre dan band sejenis. Semisal L.A Guns, Andy Timmons, Bad Company, Aldo Nova, Tuff, hingga Joe Lynn Turner. Daftar lagu ini akan berubah setiap minggu, sesuai namanya.
Analisis data dan personalisasi selera memang diposisikan sebagai senjata utama andalan Spotify. Untuk memperkuat senjatanya ini, mereka sudah mengakuisisi dua perusahaan analis data, The Echo Nest dan Seed Scientific.
"Dengan itu, Spotify memahami kamu," kata Sunita Kaur, Managing Director Spotify Asia.
Namun, Spotify juga tak bisa terus berada di atas angin. Sama seperti arus sungai, ada banyak ikan di sana. Dalam kasus ini, masih ada Google Play Music, Apple Music, Guvera, hingga Joox.
Google Play Music adalah calon pesaing terkuat. Sebagai Goliath internet terbesar dunia, mereka punya semua yang dibutuhkan untuk membuat sebuah inovasi berkembang. Belum tentu berhasil, jika berkaca pada pengalaman Google +. Google mengatakan mereka punya koleksi 35 juta koleksi lagu, bisa untuk dibeli maupun untuk streaming. Namun sekarang layanan ini baru tersedia di 63 negara, tidak termasuk Indonesia. Nantinya, Google Play Music ini akan diperlakukan seperti loker. Pengguna bisa menyimpan lagu, atau mengunggah lagu hingga 50.000 lagu.
"Tambahan fitur unggah lagu itu mengisi celah di industri streaming," tulis Kyle Anderson di situs Entertainment Weekly, seraya memberi rating B+ untuk aplikasi ini.
Apple Music juga digadang-gadang akan jadi raksasa streaming. Berbeda dengan Spotify yang sudah berusia satu windu, Apple Music baru seumur jagung. Bermula dari Beats Music, Apple mengakuisisinya pada 2014. Ini adalah akusisi terbesar Apple, membuat perusahaan asal California itu harus merogoh kocek 3 miliar dolar. Pada Juni 2016, Apple Music akhirnya resmi diluncurkan di 100 negara. Meski mengusung nama Apple, aplikasi ini juga bisa digunakan bagi pengguna Android.
Koleksi lagu Apple Music juga mencapai 30 juta. Walau untuk jumlah pengguna, Spotify masih lebih unggul ketimbang juniornya ini. Hingga Juni 2016, penggunanya mencapai 15 juta orang. Tapi mengingat ada sekitar 1 miliar pengguna iOS, diperkirakan jumlah ini masih akan terus naik.
Ketika pertama diluncurkan, aplikasi ini mendapat sambutan yang baur. Ada yang memuji. Ada yang mengkritik. Komentar pedas diarahkan kepada tampilan yang tidak bersahabat, banyak gangguan, hingga boros baterai. Pujian diarahkan kepada kurasi yang, menurut Apple Music, dilakukan oleh manusia, bukan mesin. Jika Spotify punya Discover Weekly, Apple Music punya For Me.
Aplikasi streaming lain yang sekarang cukup populer adalah Guvera, perusahaan streaming asal Australia yang sekarang punya sekitar 17 juta pengguna dan koleksi sekitar 26 juta lagu. Ada pula Deezer, perusahaan Prancis yang punya sekitar 3 juta pengguna dengan 1,5 juta pelanggan berbayar.
Tentu industri streaming ini bukan tanpa cela. Ada beberapa kritik, bahkan boikot, terhadap layanan ini. Salah satunya datang dari artis yang sedang naik daun, Taylor Swift. Dia menarik semua katalog lagunya dari Spotify. Menurut Swift, moda bisnis Spotify masih berupa eksperimen dan mereka tidak membayar artisnya dengan layak.
"Aku tidak bersedia menyumbangkan karyaku untuk sebuah eksperimen, yang menurutku tidak memberikan kompensasi layak terhadap penulis, produser, artis, dan pencipta lagu," kata Swift. "Dan aku tidak setuju persepsi bahwa musik seharusnya gratis."
Swift juga pernah mengancam akan melakukan hal yang sama pada Apple Music. Tapi setelah Apple Music merevisi aturan terkait pembayaran dan royalti, Swift membatalkan keputusannya. Yang berada dalam barisan Swift, antara lain ada Thom Yorke, si jenius di balik Radiohead. Menurutnya, sistem pembayaran industri streaming akan sangat merugikan artis-artis baru.
"Streaming itu seperti kentut terakhir, kentut terakhir yang sangat putus asa dari seorang yang sedang sekarat," katanya pedas.
Pola bisnis streaming bahkan juga diragukan oleh musisi seperti Beck. Meski dia sadar bahwa model bisnis seperti ini tak terhindarkan, dia masih mengeluhkan jumlah pembayaran untuk para musisi. Masih terlalu kecil, katanya. "Kalau aku mencoba membuat album dari pembayaran Spotify, ya gak akan cukup."
Tapi kritik-kritik pedas ini juga diimbangi oleh dukungan dari banyak musisi. Dari Bono, misalkan. Menurut vokalis U2 ini, musuh musisi zaman ini adalah tidak transparannya industri musik. Dalam pandangan musisi asal Irlandia ini, industri musik sedang ada dalam fase eksperimen. Sudah melewati masa kejayaan album fisik, namun masih belum menemukan dan masih mencari seperti apa formula terbaik untuk penjualan musik digital.
"Maka dari itu, mari bereksperimen. Mari melihat bagaimana hasilnya," katanya dalam ajang Web Summit, ajang konferensi teknologi terbesar di Eropa.
"Kenapa banyak musisi memilih Spotify, karena mereka menyerahkan 70 persen pendapatan kepada pemilik hak cipta," sambung penyanyi bernama asli Paul David Hewson ini. "Tapi para musisi itu tidak tahu ke mana uang itu pergi karena label rekaman tidak pernah transparan."
Terlepas dari segala pro dan kontra tentang industri streaming ini, benar apa kata Beck: bentuk ini tak bisa dihindari. Jika sekarang adalah masa eksperimen, maka streaming adalah bentuk eksperimen terbaik saat ini. Sebelum nantinya, mungkin, akan ada bentuk yang lebih baik.
Jadi mari menunggu.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti