Menuju konten utama

Tak Sampai 1% Orang Indonesia Membayar Layanan Streaming Musik

Dari data Laporan Global IFPI yang dirilis oleh Believe, total pendapatan musik di Indonesia pada 2022 mencapai USD75,4 juta.

Tak Sampai 1% Orang Indonesia Membayar Layanan Streaming Musik
Ilustrasi streaming lagu. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pasar streaming musik di Indonesia memang menggiurkan. Didukung oleh penduduk berjumlah lebih dari 270 juta jiwa, dan pengguna internet yang mencapai 210 juta pada 2022, tak mengherankan kalau pendapatan dari streaming mewakili 90,6 persen dari total pendapatan musik di Indonesia.

Dari data Laporan Global IFPI yang dirilis oleh Believe, total pendapatan musik di Indonesia pada 2022 mencapai USD75,4 juta. Angka ini meningkat kurang lebih 36,7 persen dibandingkan 2021. Believe, perusahaan musik digital yang berasal dari Prancis, menyebut rata-rata pendapatan dari streaming musik di Indonesia meningkat 35 persen per tahun.

Namun ada satu catatan penting: tak sampai 1 persen penduduk Indonesia yang berlangganan paket premium untuk streaming musik. Ini artinya, tak sampai 2,7 juta jiwa yang berlangganan di platform streaming musik. Data ini diekstrak Believe dari laporan MIDiA, perusahaan riset market digital dari Britania Raya.

"Kami memang memperkirakan bahwa kurang dari 1 persen yang membayar untuk paket premium," ujar Dahlia Wijaya, Country Manager Believe. "Sebagai perbandingan, Thailand punya 3 persen, Cina sekitar 9 persen, dan AS lebih dari 35 persen populasi merupakan pelanggan berbayar."

Ini memang kontras dengan kebiasaan penduduk Indonesia yang senang mendengar musik. Pada 2022, Google, Temasek, dan Bain Company pernah merilis laporan yang menyebut sekitar 38 persen mendengarkan musik on demand setidaknya seminggu sekali. Padahal di wilayah Asia Tenggara, rata-rata hanya 28 persen. Dari angka itu, sekitar 13 persennya mendengar musik setidaknya satu jam per hari.

Di Indonesia, pasar yang dominan di ranah streaming musik adalah Spotify, YouTube (termasuk YouTube Musik dan Shorts), Resso, Tiktok, Apple Music, juga Langit Musik.

Beberapa analisis menyebut bahwa rendahnya tingkat pelanggan berbayar di Indonesia dikarenakan rendahnya tingkat penetrasi kartu kredit. Hal ini, pada dasarnya, sudah mulai diakali dengan cara menyediakan berbagai metode pembayaran. Dari potong pulsa, membayar lewat marketplace, hingga membayar di mini market. Yang saat ini sedang digodok, ujar Dahlia, adalah sistem paket yang dijual bersama dengan paket seluler.

Namun Dahlia menyebut, apa yang terjadi di Indonesia adalah kelaziman, dan yang lebih penting: pasarnya terus berkembang dengan pesat.

"Semua negara memiliki pola yang sama dalam penetrasi streaming berbayar, dan kita tahu bahwa Asia masih memiliki tingkat penetrasi campuran yang relatif rendah, tetapi jumlah pelanggan berbayarnya terus meningkat. Ini sesuai ekspektasi kami, dan kami merasa sangat nyaman dengan pertumbuhan jangka panjang untuk pasar Asia dan Indonesia secara lebih khusus," tutur Dahlia.

Menurut Dahlia, apa yang juga penting adalah konsumsi musik berdasarkan negara. Lima tahun lalu, konsumsi musik di Indonesia diperkirakan terdiri dari 70 persen internasional dan 30 persen lokal. Anka ini sudah berubah. Menurut analisis Believe, saat ini pembagian konsumsi sudah bergesar: 60 persen internasional, dan 40 persen lokal.

Dalam analisis Believe, genre utama di Indonesia adalah pop Indonesia, dan berbagai musik pop dengan bahasa daerah, seperti pop Jawa, pop Minang, musik Batak, Papua, juga Ambon. Sedangkan di YouTube, yang selalu laris adalah dangdut, pop Jawa, pop Melayu, dan K-Pop. Perkembangan musik lokal juga didukung oleh banyaknya penyedia layanan streaming musik yang mendukung musisi lokal untuk didengar lebih luas.

"Misalnya Spotify yang meluncurkan kampanye #SpotifyIDentitasku pada Oktober 2022 silam. Ada enam musisi yang dipilih jadi wajah kampanye ini, dan lima di antaranya adalah artis Believe. Kami sangat bangga," tutur Dahlia.

Baca juga artikel terkait BELIEVE atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono