Menuju konten utama

"Musuh Utama Kami adalah Pembajakan"

Spotify akhirnya mampir di Indonesia. Bagaimana strategi mereka mengalahkan pasar Indonesia yang marak oleh pembajakan? Berikut penjelasannya.

Managing director spotify asia, Sunita Kaur. foto/spotify

tirto.id - Jakarta sedang mendung. Sekitar pukul 1 siang, hujan deras turun. Sendu dan gelap di luar begitu kontras dengan wajah Sunita Kaur yang sumringah sedari tadi. Dia menyambut beberapa orang jurnalis yang datang dalam acara Catch Up With Spotify. Sudah tiga bulan sejak Spotify hadir di Indonesia. Sunita sebagai Managing Director Spotify Asia khusus datang ke Indonesia untuk berbagi kisah tentang perkembangan aplikasi musik streaming asal Swedia itu.

Sunita tampil segar dengan dress tanpa lengan, beraksen warna putih, biru, dan hitam. Dia memperlakukan wartawan dengan sangat hangat. Setiap berbicara, matanya menatap mata lawan bicara. Dia bersemangat setiap menjelaskan tentang Spotify, seperti menjelaskan tentang mainan baru favoritnya.

Sebelum jadi pimpinan Spotify di kawasan Asia, dia punya pengalaman panjang di bidang media. Perempuan dengan rambut sebahu ini pernah bekerja di Time Warner dan Singapore Press Holdings. Dia terjun di dunia media digital saat menjabat sebagai Associate Director dan Internation Accounts di Microsoft Advertising. Sejak 2013, Sunita memimpin Spotify Asia.

Perkembangan Spotify di Indonesia amat menarik. Menurutnya, sejak tiga bulan diluncurkan, sudah ada durasi 1.165 miliar menit streaming yang didengarkan oleh pengguna.

"Itu bukan hal yang bisa terjadi di tiap negara," katanya sumringah.

Indonesia juga menarik karena perbedaan karakter dengan Singapura atau Filipina, negara dengan pertumbuhan pengguna Spotify terbesar di Asia Pasifik. Di Singapura, penetrasi kartu kredit cukup cepat. Beda kasus dengan di Indonesia. Untuk itu Sunita membuat langkah yang disebutnya sebagai "localize." Spotify Indonesia memungkinkan pembayaran melalui ATM atau bahkan Alfamart.

"Indonesia adalah negara pertama yang mempunyai berbagai sistem pembayaran untuk Spotify," ujarnya.

Selepas menyantap chicken breast Caesar salad, loco moco --hidangan berupa nasi mentega yang dihidangkan dengan beef patty, telur mata sapi, saus kacang hitam, dan sosis— dan ditutup dengan banana brulee, tim tirto.id berkesempatan melakukan wawancara dengan Sunita terkait perkembangan Spotify dan strategi mereka ke depan.

Kenapa Spotify memilih Malaysia dan Filipina sebelum Indonesia?

Langkah kita selalu mengutamakan licensing, hak cipta. Kita launching di Malaysia, Hong Kong, dan Singapura dulu karena soal hak cipta yang lebih mudah. Tapi hal penting lain yang harus diingat adalah, saat bicara localizing untuk negara seperti Singapura lebih mudah. Karena negara itu berbicara Bahasa Inggris, dan tingginya penetrasi kartu kredit. Itu modal awal kami.

Kami sudah memikirkan pasar Indonesia sejak tiga tahun lalu. Tapi sebelum kami masuk ke Indonesia, kami harus menyempurnakan produk kami. Jadi dengan bisnis seperti kami, kesabaran adalah hal penting dan jadi bagian dari strategi. Keinginan untuk meluncurkan Spotify di banyak negara dengan cepat itu sesuatu yang harus kami lawan. Kami harus memastikan produk kami sempurna.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan kalian untuk benar-benar masuk ke Indonesia, dan langkah awal apa yang kalian lakukan sebelum masuk ke sini?

Setidaknya tiga tahun kami menyiapkan. Dan urusan pertama yang kami kerjakan adalah soal hak cipta. Tahun lalu, saat persoalan-persoalan penting sudah mulai diselesaikan, kami mulai mempersiapkan hal lain untuk pasar Indonesia.

Filipina sekarang adalah pasar dengan pertumbuhan paling cepat kedua di dunia dan tercepat di Asia Pasifik. Apakah menurutmu pasar Indonesia bisa tumbuh seperti itu?

Kami optimis sedang menuju ke arah itu. Sebab tanda-tandanya mulai terlihat. Hal ini menarik tentu saja. Tapi tentu saja itu tak bisa buru-buru. Filipina bisa menjadi pasar tercepat nomer dua itu setahun setelah diluncurkan.

Menurut Anda, apa yang membuat Filipina bisa menjadi pasar tercepat itu? Apakah penetrasi kredit?

Menariknya, bukan faktor kartu kredit. Di kasus Filipina, faktornya adalah kecintaan musik dan besarnya pasar pengguna. Karena di negara Asia lain seperti Singapura, Hongkong, Malaysia, Taiwan, pasarnya kecil. Singapura cuma 5 juta penduduk. Malaysia 36 juta penduduk. Filipina ada 120 juta penduduk. Indonesia sekarang 260 juta penduduk. Jadi ukuran pasar dan kecintaan mendalam terhadap musik ini adalah langkah awal yang bagus.

Apakah Spotify sudah punya data tentang jumlah pengguna di Indonesia, berapa yang berbayar?

Belum. Karena ini masih awal banget. Dan sebagai perusahaan, kami melihat ukuran dan data secara global. Secara global, ada 100 juta pengguna, dengan 30 juta pelanggan berbayar. Begitu cara kami melihatnya, dan sepertinya akan terus seperti itu. Hal yang menarik adalah: musik tidak kenal batas negara.

Apa hambatan terbesar Spotify di Indonesia?

Pembajakan. Ia adalah musuh utama kami. Kalau membuat daftar 10 musuh terbesar Spotify, nomor satu sampai 10 adalah pembajakan. Dan senjata utama kami dalam memerangi pembajakan adalah kalian, para pengguna Spotify. Edukasi. Bilang ke orang-orang, jangan unduh lagu di Torrent. Kami mau bilang: ini lho ada alternatif. Sekali buka, ada 30 juta lagu. Bisa dengerin lagu apa saja, di mana saja. Gratis, aman, dan legal. Narasi itu akan kami gaungkan.

Ada berapa musisi Indonesia yang ada di Spotify?

Wah ada banyak. Kami tidak tahu karena ada terlalu banyak, dan terus bertambah. Setiap hari, secara global Spotify menambah 20.000 lagu.

Bisakah diceritakan tentang sistem royalti di Spotify? Saya sempat baca di situs Spotify, pembayaran royalti dihitung per stream.

Sebenarnya sistemnya lebih dalam ketimbang itu. Di bagian awal, kami menceritakan misi kami, yakni membangun sistem untuk memerangi pembajakan, juga mengajak orang untuk memakai Spotify. Jadi kami bisa memberi kembali ke komunitas musik.

Sejak kami memulai Spotify, sudah ada 2 miliar dolar kepada industri musik. 70 persen pendapatan kami, adalah untuk para pemegang hak cipta.

Spotify bukan pemain tunggal dalam industri musik streaming. Menurut Anda, siapakah kompetitor yang paling berat?

Musuh kami tetap pembajakan. Tapi untuk kompetitor, kami mencintai mereka semua. Ada alasan kenapa kami mencintai mereka. Yakni karena dunia streaming masih relatif sangat baru. Aku bergabung dengan Spotify tiga tahun lalu. Saat itu tak ada yang tahu apa streaming itu, tak ada yang tahu apa itu Spotify. Jadi untuk industri yang baru seperti ini, semakin banyak pemainnya, justru makin bagus. Akan semakin banyak edukasi kepada para pengguna. Dan pasar streaming itu amat besar. Masih ada banyak ruangan bagi banyak pemain. Tentu persaingan itu adalah hal yang sehat.

Apa tantangan terbesar untuk mempopulerkan musik digital atau streaming di Indonesia? Karena akses internet bagus di sini masih tersentralisasi di kota-kota besar.

Itulah menariknya Spotify. Kami punya sistem offline. Itu adalah sistem yang kami buat, terutama di Asia dan Amerika Latin. Di kawasan itu, biasanya internetnya agak buruk. Jadi biasanya ketika ada jaringan internet nirkabel, di sana para pengguna akan mengunduh lagu untuk didengarkan offline. Jadi masih bisa mendengarkan musik tanpa internet. Sistem offline bisa mengatasi masalah akses internet yang buruk. Selain itu juga ada pilihan di bitrate. Ada low, normal, high, ekstrim. Kamu bisa menyesuaikannya dengan akses internet.

Jadi tantangan dan musuh terbesar kami masih pembajakan. Selama tiga bulan terakhir, kami menggunakan waktu kami untuk usaha memerangi pembajakan. Di Filipina, kami butuh 2 tahun untuk memerangi pembajakan. Mengubah kebiasaan itu butuh waktu.

Saya sering mencari lagu-lagu artis Indonesia lawas seperti Dara Puspita. Dan kualitas lagu mereka di Spotify amat baik. Bagaimana Spotify bisa mempunyai kualitas lagu yang amat baik, padahal di Indonesia lagu-lagu lawas yang beredar biasanya berkualitas buruk karena jeleknya sistem pengarsipan dari industri.

Ada ilmunya. Pertama, kami tidak mengopi dari mana-mana. Lagu-lagu kami langsung dari pemegang hak cipta. Jadi saat kami sudah mendapatkan izin dari pemegang hak cipta, kami langsung mentrasfer metadata ke server Spotify. Di sanalah kita bisa mendengarkan keindahan lagu via streaming.

Bagaimana Spotify melacak pemegang hak cipta lagu di Indonesia? Sebab hak cipta di sini amat ruwet dan seringkali satu lagu diperebutkan banyak orang yang mengaku sebagai pemilik.

Ada tim kami yang khusus menangani itu. Kami sudah 10 tahun di bisnis ini, sudah berpengalaman. Ada tim yang benar-benar menangani kasus hak cipta. Sekarang kami sudah lumayan dikenal. Dan sudah ada banyak kasus ketika kami masuk ke sebuah negara, para pemegang hak cipta yang akan mendatangi kami. Karena mereka tahu, dengan cara itu, Spotify bisa tahu siapa pemegang hak cipta yang sesungguhnya dan membayar royalti ke pihak yang tepat. Jadi kami punya hubungan baik dengan para pemegang hak cipta di seluruh dunia. Ini komunitas yang menakjubkan.

Selain berhubungan dengan artis, kami juga berhubungan dengan label, rumah produksi juga. Memastikan semua orang mendapat bagian yang pas dan tak ada yang terlewat.

Satu pertanyaan terakhir, dan mungkin ini bagian yang pahit. Dari laporan tahunan Spotify, terlihat bahwa meski pendapatan Spotify naik drastis setiap tahun selalu diikuti oleh kerugian yang makin besar. Apakah Spotify sudah menemukan cara yang paling pas agar semua berjalan dengan baik dan Spotify bisa untung?

Sebenarnya tahun lalu kami berhasil mendobelkan pendapatan dan mengecilkan kerugian bersih. Kami optimis 1000 persen bahwa Spotify sangat menguntungkan bagi industri. Hal menarik yang patut dicatat adalah, industri streaming adalah industri yang amat muda. Dan masih ada dekade-dekade ke depan bagi industri ini. Bagi kami secara khusus, sejak 2014 kami menginvestasikan waktu dan dana untuk reinvestasi bisnis. Jadi ketika kamu melihat hal-hal menakjubkan di Spotify, di balik katalog, dalam hal teknologi dan aplikasi, di sana kami berinvestasi. Membangun tim penyedia konten. Menyediakan editor musik di seluruh dunia untuk memproduksi playlist lokal. Dan mungkin hal paling penting adalah akuisisi. Kami sudah menghabiskan banyak uang untuk mengakuisisi banyak perusahaan bagus, seperti The Echo Nest dan Seed Scientific* yang membantu kami jadi lebih baik. Data, dan rekomendasi lagu, itu yang membuat kami lebih baik ketimbang kompetitor.

Kami tidak hanya memahami negara, tetapi kami memahami kamu.

*Menurut Business Insider, Spotify membeli The Echo Nest, sebuah perusahaan penyedia data personalisasi musik, sebesar 100 juta dolar. Sedangkan Seed Scientific adalah perusahaan analis data yang diberi tugas untuk memahami bagaimana artis, pendengar, dan merek bisa berinterasi dengan layanan streaming. Belum ada jumlah pasti berapa jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli Seed Scientific. Dengan banyaknya investasi untuk membeli perusahaan analisis data, Spotify tampak jelas akan mengandalkan personalisasi lagu untuk membedakan diri dengan para pesaingnya. Saat ini fitur andalan mereka adalah Discover Weekly, sebuah daftar lagu yang dibuat khusus bagi tiap pengguna berdasar lagu-lagu yang sering mereka dengar.

Baca juga artikel terkait SPOTIFY atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti