tirto.id - Pengadilan Federal Australia yang dipimpin oleh hakim tunggal Griffiths J dalam amar keputusannya, Selasa (24/1/2017) memenangkan gugatan Daniel Sanda, seorang petani rumput laut asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap PTT Exploration and Production Public Company (PTTEP) Australasia.
Kemenangan ini merupakan kemenangan bagi petani rumput laut NTT setelah berjuang lebih dari tujuh tahun menuntut keadilan. Selama itu pun mereka terus menderita akibat pencemaran laut yang menjadi sumber penghasilan mereka.
Pencemaran itu bermula ketika Agustus 2009, terjadi ledakan besar di ladang minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor. Ladang tersebut dikelola oleh anak perusahaan minyak nasional Thailand yakni PTTEP.
Setiap harinya selama lebih dari 10 minggu, minyak mentah yang dilaporkan cukup untuk mengisi sekitar 10 kolam renang ukuran Olimpiade tumpah dan mencemari Laut Timor. Hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar akibat tumpahan minyak dari anjungan Montara.
Tercemarnya Laut Timor tentunya memengaruhi mereka yang mengais rezeki dari hasil laut. Daniel Sanda adalah salah satu dari ribuan petani rumput laut yang merugi karena pencemaran Laut Timor. Selama tahun 2001 hingga 2008, Daniel mampu memanen 14 ton rumput laut per tahun, menurut laporan BBC.
Setiap tahunnya Daniel mampu mengantongi 20 ribu dolar AS. Namun kejadian tahun 2009 mengubah semuanya. Selama empat tahun sejak peristiwa tersebut, semua rumput laut milik Daniel mati.
Tidak hanya Daniel yang kemudian merugi karena tercemarnya Laut Timor. Menurut Ketua Advokasi Petani Rumput Laut NTT Ferdi Tanoni saat dihubungi Tirto, ada sekitar 40 ribu hingga 50 ribu petani rumput laut di seluruh NTT yang terkena dampak dari pencemaran Laut Timor.
Melihat banyaknya petani yang merugi, Daniel Sanda yang didukung oleh Ferdi Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat melayangkan gugatan kepada perusahaan minyak asal Bangkok tersebut.
Daniel kemudian mewakili 13 ribu petani rumput laut asal Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Kupang melayangkan aksi gugatan class action kepada PTTEP Australasia di Pengadilan Federal Australia di Sydney pada 3 Agustus 2016.
Pengajuan gugatan didasarkan pada tuduhan pencemaran minyak di wilayah perairan Laut Timor yang menyebabkan usaha rumput laut mereka tidak lagi menghasilkan. Petani rumput laut NTT menuntut ganti rugi sebesar 200 juta dolar AS kepada perusahaan minyak.
Sidang perdana gugatan class action digelar Pengadilan Federal Australia pada 22 Agustus 2016. Gugatan Daniel sempat ditolak oleh PTTEP Australasia dan mereka minta hakim pengadilan federal untuk menolaknya. Perusahaan beralasan Daniel tidak berhak mewakili dan mengatasnamakan seluruh petani rumput laut di NTT.
Selain itu tuduhan dari petani rumput laut NTT soal pencemaran laut juga ditepis oleh PTTEP Australasia. Menurut perusahaan, tumpahan minyak Montara tidak menjangkau pantai-pantai di Indonesia, karena jarak terdekat dari pantai di Australia ke Pulau Rote adalah 500 kilometer atau 269 mil laut.
Sedangkan menurut Ferdi Tanoni, minyak Montara tersebut terletak di tengah Laut Timor yang hanya berjarak sekitar 248 km dari Pulau Rote sehingga tentunya akan lebih dekat dengan Pulau Rote dibandingkan dengan Australia.
Perdebatan ini berakhir setelah Griffiths J menolak seluruh keberatan yang diajukan oleh PTTEP Australasia dengan mendasari pada aturan Mahkamah Agung Northern Territory yang mengakui perwakilan yang dilakukan oleh Daniel.
Perjuangan Belum Berakhir
Menangnya petani rumput laut NTT bukanlah akhir dari perjuangan masyarakat NTT untuk menuntut keadilan soal Laut Timor yang tercemar. Menurut Ferdi Tanoni kepada Tirto, ini barulah permulaan dari perjuangan masyarakat NTT.
Masih ada empat persoalan lainnya yang terus mereka perjuangkan soal pencemaran di Laut Timor yang sudah lebih dari tujuh tahun lamanya. Semakin lama ditanggulangi, maka kerusakannya tentu akan semakin besar.
“Itu baru petani rumput laut. Kita belum bicara soal nelayan. Belum lagi dari sisi kesehatan, kerusakan lingkungan dan yang terakhir soal restorasi Laut Timor. Saya hanya berharap agar masalah ini tidak sampai hilang karena ini sudah sangat lama. Sudah lebih dari tujuh tahun. Sedangkan pemerintah Australia terlihat seperti melindungi perusahaan asal Bangkok itu,” ujar Ferdi.
Secara keseluruhan, hingga kini sekitar 250 ribu hingga 300 ribu masyarakat NTT yang menderita terkait pencemaran laut tersebut, menurut Ferdi. Setelah petani rumput laut, mereka akan kembali berjuang untuk nelayan yang merugi karena pencemaran minyak tersebut. Dalam laporan Antara, Hasil tangkapan sejumlah nelayan seperti nelayan-nelayan dari Oesapa, Kupang mengalami penurunan yang sangat drastis, mencapai 70 persen.
“Sebelum meledak kilang minyak Montara, penghasilan yang kami dapat dari mencari ikan di Laut Timor bisa mencapai lebih dari Rp20 juta, namun saat ini untuk memperoleh Rp5 juta saja, sudah tidak bisa lagi,” kata Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor H. Mustrafa, seperti dilaporkan Antara.
Ribuan Nelayan di Oesapa bertumpu pada hasil laut, sehingga ketika lahan mereka untuk mengais rezeki rusak, mereka pun harus mencari daerah baru yang tidak tercemar minyak. Daerah tujuan melaut dari nelayan NTT pun menjadi semakin jauh. Bahkan hingga ke wilayah Sulawesi serta Kalimantan yang belum tercemar tumpahan minyak tersebut.
Pemerintah pusat pun diminta untuk tidak tinggal diam dan membiarkan persoalan pencemaran Laut Timor berlalu begitu saja. Pembiaran itu adalah bagian persoalan yang hanya akan memperburuk keadaan.
"Perekonomian para petani rumput laut dan nelayan hancur total akibat pencemaran tersebut, sehingga Pemerintah Indonesia tidak boleh diam dan membiarkan kasus itu berlalu begitu saja," ujar Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Dr Ir Mukhtasor M.Eng, PhD, seperti dikutip Antara.
Hal senada juga diucapkan oleh Ferdi Tanoni yang gencar melakukan advokasi kepada para petani rumput laut dan nelayan NTT. Menurutnya pemerintah harus mengambil langkah agresif untuk menekan perusahaan tersebut.
“Yang saya tau, perusahaan asal Bangkok itu ada aset 3 miliar dolar AS di Indonesia. Bekukan saja,” tegas Ferdi.
Dukungan pemerintah pusat serta pemerintah daerah memang sangat penting dalam mendukung langkah masyarakat NTT dalam menuntut keadilan kepada perusahaan minyak tersebut. Bahkan sesungguhnya ini adalah tanggung jawab negara.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani