tirto.id - Seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terancam kehilangan kewenangan untuk menangkap jajaran direksi dan komisaris BUMN. Memangnya, apa isi UU Nomor 1 2025 BUMN tentang status direksi dan komisaris?
Presiden Prabowo Subianto menandatangani UU BUMN tersebut pada Senin, 24 Februari 2025 lalu. Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam UU ini adalah perubahan status hukum direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN.
Perubahan tersebut memunculkan kekhawatiran mengenai kewenangan KPK dalam menindak kasus korupsi di tubuh BUMN. Berikut ini isi UU BUMN dan ketentuan yang tertuang di dalamnya.
Direksi dan Komisaris BUMN Bukan Penyelenggara Negara
UU BUMN atau UU No. 1 Tahun 2025 menyebutkan secara eksplisit bahwa anggota direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan penyelanggara negara.
Hal tersebut ditegaskan dalam UU BUMN Pasal 9G, Pasal 3X Ayat (1), dan Pasal 87 Ayat (5). Berikut bunyi pasalnya:
UU No. 1 Tahun 2025 Pasal 9G
Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Pasal 3X Ayat (1)
Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara.
Pasal 87 Ayat (5)
Karyawan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan penyelenggara negara.
Di sisi lain, KPK yang bertugas menangani tindak pidana korupsi beroperasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 11 Ayat (1), KPK memiliki kewenangan untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara atau aparat penegak hukum, atau yang menyebabkan kerugian negara ≥ Rp1 miliar.
Berikut bunyi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasal 11 Ayat (1):
UU No. 19 Tahun 2019 Pasal 11 Ayat (1)
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian keuangan negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Jika berdasarkan UU BUMN, Direksi dan Komisaris BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Maka secara normatif, mereka tidak termasuk subjek hukum utama yang bisa ditangani oleh KPK berdasarkan huruf a Pasal 11 Ayat (1) UU KPK.
Apabila ditemukan kasus kerugian atau korupsi, hal tersebut bisa menjadi masalah korporat. Oleh sebab itu, Menteri BUMN, Erick Thohir, berencana menambah Deputi di BUMN.
Tugasnya khusus melakukan pencegahan korupsi dan akan diisi oleh pihak Aparat Penegak Hukum (APH) seperti KPK dan Kejaksaan Agung. Hal ini juga mendapat dukungan dari tim KPK.
"KPK tentu akan siap support, karena selama ini pun KPK juga terus mendorong, dan terus melakukan pendampingan berbagai upaya-upaya pencegahan korupsi di sektor pelaku usaha, salah satunya melalui pancek, panduan anti korupsi, pencegahan korupsi di sektor usaha," ujar tim Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, kepada wartawan di Gedung merah Putih KPK, Senin (5/5/2025).
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menyatakan bahwa meskipun Direksi, Komisioner, dan Dewan Pengawas BUMN tidak lagi berstatus sebagai penyelenggara negara, mereka tetap dapat dijerat menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Namun demikian, Tanak menegaskan bahwa pandangan tersebut adalah pendapat pribadinya dan tidak mewakili sikap resmi KPK sebagai institusi.
"Dapat tidaknya direksi dan komisaris BUMN diproses dalam Tipikor tentunya tergantung pada konteks perbuatannya. Kalau perbuatannya terindikasi sebagai koruptor, tentu dapat diproses menurut UU Tipikor," kata Tanak dalam keterangannya, Selasa (6/5/2025).
Penulis: Nisa Hayyu Rahmia
Editor: Beni Jo