Menuju konten utama

Isi Revisi UU Desa Terbaru dan Apa Saja Poin Kontroversinya?

Apa saja poin kontroversial dalam revisi UU Desa? Simak penjelasan mengenai hal-hal yang kontroversial dalam revisi UU Desa yang disetujui.

Isi Revisi UU Desa Terbaru dan Apa Saja Poin Kontroversinya?
Massa dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/12/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengabulkan tuntutan Kepala Desa (Kades) terkait masa jabatan menjadi 8 tahun atau maksimal 2 periode.

Kebijakan tersebut disetujui bersama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang akan diwujudkan melalui revisi Undang-Undang (UU) tentang Desa.

Saat ini revisi UU Desa belum disahkan meskipun sudah disetujui antara DPR dengan Pemerintah. Ketua DPR Puan Maharani menyatakan bahwa RUU masih perlu melalui proses persetujuan tingkat II sehingga tidak bisa langsung disahkan saat sidang Rapat Paripurna DPR pada Selasa, 6 Februari 2024.

Sebelumnya DPR telah bertemu dengan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) sebelum rapat dimulai. Terdapat 21 organisasi perwakilan perangkat desa yang menyatakan aspirasinya. Mereka merupakan massa yang mengajukan perpanjangan masa jabatan.

DPR juga mengungkit bahwa revisi UU tentang Desa telah melalui proses persetujuan tingkat I RUU Desa oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR dan Kemendagri dan berkomitmen untuk melanjutkan pembahasan RUU hingga pengesahan.

Alasan Revisi UU Desa Menuai Kontroversi

Revisi UU Desa mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan, pembangunan, dan kesejahteraan desa. Poin penting dalam revisi ini adalah perpanjangan masa jabatan Kades 6 tahun menjadi 8 tahun atau maksimal 2 periode. Sebelumnya UU Desa mengatur masa jabatan Kades 6 tahun dengan maksimal 3 periode.

Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi perpanjangan masa jabatan bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada Kades untuk melanjutkan program pembangunan desa yang belum selesai.

Hal ini karena pada aturan sebelumnya, masa jabatan 6 tahun dirasa kurang maksimal untuk menyelesaikan berbagai program yang dilaksanakan seperti infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, hingga peningkatan kesejahteraan desa.

Poin kontroversi kedua adalah kenaikan anggaran desa yang dibahas dalam revisi UU Desa. Sebelumnya sumber pendapatan desa berasal dari alokasi dana desa (ADD), dana desa (DD), dan sumber sah lainnya yang tidak mengikat.

Kini dalam revisi UU Desa, besaran dana diubah yang sebelumnya Rp100 juta menjadi Rp200 juta per desa.

Selain itu pemerintah juga menambah tambahan dana bagi hasil pajak dan retribusi daerah (DBHPRD) sebesar 10 persen dari total DBHPRD yang diterima oleh kabupaten/kota.

Baca juga artikel terkait UU DESA atau tulisan lainnya dari Wulandari

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Wulandari
Penulis: Wulandari
Editor: Dipna Videlia Putsanra