tirto.id - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan penelitian vaksin Nusantara belum memenuhi syarat sehingga mereka belum mengeluarkan izin persetujuan penelitian uji klinis (PPUK) fase 2. RSUP dr Kariadi yang jadi lokasi uji klinis pun mengajukan penghentian penelitian sementara kepada Kementerian Kesehatan.
Dalam situasi tersebut, anggota DPR RI tetap ngotot mendesak BPOM dan Kemenkes melanjutkan penelitian. Mereka meminta penelitian vaksin berbasis sel dendritik yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu dipermudah.
“Pemerintah harus mendukung dan mempermudah proses uji klinis vaksin Nusantara maupun vaksin buatan dalam negeri lainnya mengingat persediaan vaksin COVID-19 yang tersertifikasi halal terbatas,” kata Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin melalui keterangan tertulis, Kamis (25/3/2021).
Bukan hanya mempermudah, ia juga meminta pemerintah mendukung penuh pembiayaan penelitian vaksin tersebut.
Pernyataan Aziz seragam dengan anggota DPR lain. Pernyataan dukungan secara terbuka disampaikan pertama kali saat tim Komisi IX DPR bersama Terawan mengunjungi RSUP dr Kariadi pada pertengahan Februari lalu. Hadir dalam kunjungan itu di antaranya adalah Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena dan sejumlah anggota seperti yaitu Abidin Fikri dari Fraksi PDI Perjuangan, Darul Siska Fraksi Partai Golkar, Fadholi dari Fraksi Nasdem, Ade Riski Pratama dari Fraksi Gerindra, dan Nurul Yasin dari Fraksi PKB.
“Semua anggota Komisi IX yang hadir bersedia untuk [menjadi] relawan uji klinis fase 2 vaksin Nusantara,” kata Melki seperti dikutip dari Antara.
Dukungan mereka kemudian ditampilkan lagi saat mendesak izin uji klinis fase 2 lekas dikeluarkan. Saat rapat bersama Menteri Kesehatan dan BPOM, Rabu (10/3/2021), para wakil rakyat itu bahkan memberikan tenggat waktu sepekan kepada BPOM untuk mengeluarkan izin.
Namun desakan itu ditolak Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito. “Saya konsisten, tidak bisa memberikan PPUK dalam kondisi sekarang,” katanya.
Penny mengungkapkan sejumlah alasan mengapa vaksin Nusantara belum bisa mendapatkan PPUK. Penelitian dilakukan tak sesuai dengan kaidah medis, salah satunya terdapat perbedaan lokasi penelitian. “Pemenuhan kaidah good clinical practice juga tidak dilaksanakan dalam penelitian ini. Komite etik dari RSPAD Gatot Subroto, tapi pelaksanaan penelitian ada di RS dr Kariadi,” kata Penny.
Masalah etik lain mengemuka ketika Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM mengajukan pengunduran diri dari tim penelitian uji klinis vaksin. Wakil Dekan FK-KMK UGM Bidang Penelitian dan Pengembangan, Yodi Mahendradhata, melalui keterangan tertulis, Senin (8/3/2021), menyatakan tim UGM belum terlibat sama sekali tapi namanya tetap dicatut. “Kami baru tahu saat muncul di media massa bahwa vaksin dikembangkan di Semarang, kemudian disebutkan dalam pengembangannya melibatkan tim dari UGM,” kata Yodi.
Selain masalah etik, ada dua alasan lain mengapa BPOM belum mengeluarkan PPUK fase 2. Pertama, data yang diperoleh dari interim fase 1 belum mendukung rasionalitas untuk pelaksanaan uji klinis fase 2 dalam desain adaptive trial. Kedua, diketahui dalam waktu empat minggu setelah penyuntikan vaksin Nusantara belum memberikan respons yang memadai untuk melindungi subjek.
Hal itu juga diungkapkan Penny saat rapat. Ia bilang segalanya harus dibuat jelas sebelum penerbitan PPUK fase 2. Jika tidak ada efek kemanjuran yang terlihat pada uji klinis tahap pertama, maka menjadi tidak etis untuk melanjutkannya ke uji klinis fase dua. “Akan merugikan subjek penelitian karena mendapatkan perlakuan yang tidak memberikan manfaat,” katanya.
Namun alasan yang diungkapkan Penny saat rapat itu masih belum cukup bagi DPR. Desakan DPR kepada BPOM kembali dinyatakan dalam rapat paripurna ke-15 Masa Persidangan IV, Selasa (23/3/2021) lalu. “Mendesak BPOM RI untuk segera mengeluarkan PPUK tahap II bagi kandidat vaksin Nusantara agar penelitian dapat dituntaskan,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Ansory Siregar.
Wakil Ketua Komisi IX DPR lainnya, Nihayatul Wafiroh, mengatakan agar desakan semestinya disuarakan pula oleh pimpinan DPR. “Saya pribadi mendukung pimpinan DPR untuk segera mengambil sikap DPR RI agar vaksin Nusantara ini segera ditindaklanjuti," kata Nihayatul.
Ancaman Independensi BPOM
Ahli biologi molekuler Indonesia di John Curtin School of Medical Research Australian National University Ines Atmosukarto mengatakan BPOM memiliki akses kepada seluruh informasi yang berhubungan dengan pelaksanaan uji klinis. BPOM telah mengunjungi lokasi pelaksanaan uji klinis untuk menilai apakah fasilitas tersebut memenuhi persyaratan dan mengikuti GCP (Good Clinical Practice). BPOM juga punya akses kepada berbagai ahli di bidang yang relevan.
Atas dasar itu semua menurutnya apa yang diputuskan BPOM harus dihormati. Karena itu pula “komunitas sains menjunjung tinggi semua keputusan BPOM,” kata Ines kepada reporter Tirto, Kamis.
Terkait desakan DPR, menurutnya mereka “tidak memiliki wewenang.” Lebih dari itu ia menilai desakan DPR “akan menjadi preseden yang berbahaya. Independensi BPOM terancam.”
Ines yang saat ini mengepalai Lipotek, sebuah rintisan usaha penelitian obat dan vaksin yang berbasis di Australia, menjelaskan pengembangan obat dan vaksin adalah salah satu proses yang paling teregulasi di dunia karena menyangkut kesehatan dan keselamatan manusia. Karena itu harus mengikuti proses dan prosedur yang sudah ditentukan.
Ia mengibaratkan tekanan yang diterima BPOM seperti memaksa pesawat yang belum layak terbang lepas landas: hanya akan menimbulkan protes karena membahayakan keselamatan publik.
Sulfikar Amir dari Koalisi Vaksin untuk Semua juga mengatakan bahwa desakan dari DPR menandakan para wakil rakyat ini tidak paham tentang proses pengembangan vaksin secara ilmiah. “Mereka juga tidak mengerti bahwa vaksin Nusantara ini tidak sesuai dengan konteks pandemi ini karena vaksin Nusantara ini pada prinsipnya adalah personalized vaccine,” kata Sulfikar.
Yohanes Cakrapradipta Wibowo, dokter dan peneliti asal Indonesia yang saat ini sedang mengejar gelar doktor di Departemen Farmakologi Eksperimental, European Center for Angioscience, Medical Faculty Mannheim of Heidelberg University, Jerman menyebut masalah etik dan ketidaksesuaian data vaksin Nusantara yang diungkapkan oleh BPOM sangat serius dan fatal.
“Oleh sebab itu, sikap dari DPR sangat disayangkan. Vaksin ini barang asing dan akan digunakan manusia sehingga selain harus terbukti aman dan bermanfaat tentu prosesnya tidak boleh dilakukan secara ugal-ugalan seperti riset amatiran dan harus mengindahkan sebagaimana proses penelitian biasa dilakukan,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis.
Yohanes yang pernah menginisiasi petisi menolak vaksin COVID-19 setengah jadi itu menyarankan agar pihak yang “tidak paham dan tidak punya pengalaman apa pun soal riset kedokteran, ya, tahan komentar dan telaah dulu supaya paham duduk masalahnya.” Ia juga meminta mereka “percaya pada lembaga otoritas seperti BPOM dan para peneliti yang me-review vaksin Nusantara ini.”
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino