tirto.id - Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) memastikan realisasi impor daging kerbau dari India. Sebagai awalan, sebanyak 25 ribu ton akan masuk ke Indonesia pada April 2020 ini atau sebelum bulan suci Ramadan tiba.
Jumlah tersebut merupakan bagian dari rencana pemerintah untuk mengimpor daging kerbau sebanyak 100 ribu ton dari India sepanjang 2020 ini. Dilansir Kantor Berita Antara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, keran impor daging kerbau yang ditugaskan kepada Perum Bulog dilakukan untuk memenuhi konsumsi daging dalam negeri.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pengembangan Bisnis dan Industri Bulog Bachtiar mengungkapkan, sebanyak 25 ribu ton daging kerbau asal India yang diimpor dalam waktu dekat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Ramadan dan Idul Fitri 1441 Hijriah yang jatuh pada April-Mei 2020.
“Rencana kami akan mendatangkan daging kerbau, untuk periode ini sekitar 25 ribu ton untuk menghadapi Lebaran. Sekitar April sudah masuk,” ucap Bachtiar, masih dari Antara. Stok daging kerbau yang disimpan Bulog saat ini sebanyak 1.000 ton. Jumlah itu tidak termasuk stok daging yang berada di distributor.
Berdasarkan hasil Survei Konsumsi Bahan Pokok (VKBP) tahun 2017 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susesnas) tahun 2019 yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi daging sapi/ kerbau nasional mencapai 2,66 kg/ kapita/ tahun. Sementara itu, kebutuhan daging sapi/ kerbau sampai Mei 2020 diperkirakan mencapai 302.300 ton. Di sisi lain, ketersediaan daging sapi/ kerbau sampai Mei 2020 berdasarkan produksi dalam negeri hanya sebesar 165.478 ton.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita mengungkapkan, berdasarkan data tersebut, masih diperlukan tambahan sebanyak 136.822 ton yang akan dipenuhi melalui importasi daging sapi/ kerbau sebesar 103.043 ton dan sapi bakalan sebanyak 252.810 ekor atau setara 56.659 ton daging.
Solusi atau Jebakan?
Sejumlah pelaku bisnis peternak sapi dan kerbau mengkritisi kebijakan importasi itu. Menurut Ketua Umum Dewan Pengurus Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana, terdapat dua hal yang sejatinya bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengimpor daging kerbau dari India.
Pertama, adanya risiko kesehatan dari langkah impor daging kerbau dari India. Pasalnya, masih terdapat kekhawatiran adanya penyakit kuku dan mulut (PMK) di negara tersebut. Berdasarkan data World Organisation For Animal Health (OIE), India memang belum terbebas dari penyakit kuku dan mulut atau Foot and Mouth Disease (FMD) untuk hewan ternak berkuku genap.
“Mengimpor daging dari negara yang belum bebas PMK, bisa saja terjadi kelengahan dan masuk penyakit. Ini adalah penyakit yang berbahaya. Jika penyakit ini sampai masuk, maka kerugian secara ekonomi yang akan Indonesia alami akan sangat besar,” jelas Teguh kepada Tirto.
Sebagai contoh, Inggris pernah dilanda PMK tahun 2001-2004 lalu. DilaporkanBBC, terdapat dua ribu kasus PMK yang terjadi dengan 600 ribu ekor sapi dan lebih dari enam juta kambing, domba dan babi harus dimusnahkan. Negeri Ratu Elizabeth itupun harus menderita kerugian secara ekonomi hingga miliaran poundsterling.
Indonesia sendiri telah terbebas dari penyakit ini sejak 1986. “Pemerintah harus ingat, langkah importasi daging kerbau murah dari negara yang belum bebas PMK ini ibarat mengulum peluru berbalut gula. Sekarang mungkin merasakan manisnya, tapi saat gulanya habis dan tinggal pelurunya saja, maka hanya tinggal menunggu waktu meledak,” ucap Teguh.
Pertimbangan berikutnya adalah adanya potensi jebakan pangan atau food trap akibat kebijakan impor tersebut. Meningkatnya permintaan daging kerbau asal India dinilai dapat menyebabkan harga daging asal negara Asia Selatan itu justru meningkat ke depannya.
Data US Comtrade merinci, volume impor daging kerbau beku dari India sendiri memang mengalami peningkatan. Jika pada 2016 volume daging kerbau beku yang diimpor dari India sebanyak 39,52 ribu ton, maka pada 2018 jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 79,63 ribu ton. Nilainya pun meningkat dari $141,46 ribu menjadi $283,65 ribu.
Meningkatnya permintaan daging kerbau asal India, menurut Teguh, justru mendistorsi harga daging yang sudah terbentuk di pasaran. Bahkan, saat ini terdapat kecenderungan harga daging kerbau dari India naik menyesuaikan harga daging sapi yang ada di pasaran. Hal ini membuat keuntungan yang dikantongi para importir menjadi sangat tinggi.
Lebih lanjut, Teguh menyebut bahwa impor daging kerbau sejumlah 100.000 ton ini setara dengan 650.000 ekor sapi yang berat hidupnya rata-rata 400 kilogram. Hal ini tentu sangat merugikan peternak rakyat dan menjadi kontra produktif dengan program pemerintah Jokowi yang ingin swasembada daging pada 2026.
“Impor ini memiliki efek distorsi dan cepat atau lambat memengaruhi usaha peternakan rakyat, karena daya saing dalam negeri akan semakin menurun. Jika nanti peternakan rakyat mati, maka Indonesia akan menjadi negara net importir dan harga akan dikendalikan oleh negara-negara eksportir,” jelas Teguh.
Jeritan Peternak Rakyat
Edy Wijayanto, peternak mandiri yang menjalani usaha penggemukan sapi selama 10 tahun mengaku telah mengalami kesulitan usaha sejak 4-5 tahun belakangan. Situasi ini tercipta karena usaha penggemukan sapi miliknya sulit bersaing secara harga dengan daging kerbau impor asal India maupun juga dengan sapi impor asal Australia.
Oleh karena itu, pemilik usaha Sapibagus.com di bilangan Tapos, Depok, itu beralih dari sapi potong harian menjadi pebisnis sapi dan hewan kurban. Sebab menurut Edy, jika meneruskan usahanya di sapi potong harian, terdapat potensi kerugian senilai Rp1 juta sampai Rp2 juta per ekor.
“Harga daging sapi lokal sangat sulit bersaing dengan daging sapi impor maupun daging kerbau impor. Karena di Indonesia belum ada industri pembibitan, sehingga harga bibit sapi dan bakalan sapi sudah sangat mahal,” sebut Edy.
Bibit sapi di Indonesia menurut Edy saat ini diserahkan kepada petani. Para petani biasanya memiliki sapi betina yang kemudian dikawinkan sehingga melahirkan keturunan. Nah, keturunan itulah yang kemudian dibesarkan oleh para peternak rakyat seperti Edy dan kawan-kawan.
Harga bibit sapi tersebut sudah mahal, mencapai Rp2 juta per ekor. Selanjutnya, biaya membesarkan dan menggemukkan sapi pun menjadi soal lantaran harga pakan ternak yang terbilang tinggi di Indonesia. “Peternak rakyat tidak berdaya untuk menghadapi ini. Kami sudah berusaha melakukan audiensi dengan Kementerian Pertanian dan juga Komisi IV DPR, tapi tidak ada hasil karena toh impor daging kerbau dari India tetap dilakukan,” sebut Edy.
Senada, Asnawi yang juga peternak mandiri di Pondok Ranggon, Jakarta Timur mengaku telah menggeser fokus usahanya dari sapi potong harian menjadi sapi dan hewan kurban. Ini artinya, Asnawi hanya dapat mengantongi keuntungan satu tahun sekali.
Menurut Asnawi, pemerintah hendaknya melakukan langkah lanjutan setelah importasi dilakukan. Misalnya, dengan meningkatkan jumlah populasi sapi bakalan yang murah di dalam negeri. Jika ketersediaan bakalan ini terjamin, menurutnya, maka harga daging sapi lokal hasil peternak rakyat pun tidak akan mahal di pasaran.
Selain itu, Asnawi berharap agar pemerintah hendaknya juga menyediakan kredit murah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi para peternak rakyat dengan prosedur yang tidak berbelit. Sebab, kebutuhan biaya untuk menggemukkan hewan ternak seperti sapi, tidaklah murah.
“Untuk bisa menopang bisnis skala kecil seperti peternak rakyat, sangat diperlukan kehadiran pemerintah sebagai pembina dan bukan sebagai 'pembinasa' usaha rakyat. Perlu adanya pelatihan, pembinaan dan pembimbingan dari pemerintah, serta pemberian kredit murah sehingga peternak rakyat bisa lebih berkembang,” ungkap Asnawi.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara