tirto.id - Peneliti dari Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mendukung langkah Mahkamah Agung (MA) yang melarang hakim berkomentar di media sosial dan larangan berpolitik.
Namun, Erwin melihat surat edaran MA bermasalah karena dasar hukum yang digunakan tidak tepat.
"Saya sepakat dengan ide ini bahwa harus ada imbauan bagi para hakim untuk menjaga marwah mereka dengan menjaga beberapa tindakan yang mencerminkan netralitas, meskipun saya tidak setuju dengan salah satu dasar aturan yang dipakai, yaitu UU ASN (Undang-undang Aparatur Sipil Negara)," kata Erwin dalam keterangan tertulis, Jumat (8/2/2019).
Erwin menyebutkan, penggunaan UU ASN justru menempatkan hakim sebagai birokrat negara. Padahal, hakim sudah seharusnya independen sesuai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) meskipun punya hak pilih.
"UU ASN hanya mengatur birokrasi, bukan hakim. Meletakkan hakim sebagai birokrasi dapat melukai independensi hakim," kata Erwin.
Erwin pun mengkritik judul aturan yang diterbitkan MA bermasalah. Menurut Erwin, seorang hakim sudah wajib tidak berpolitik.
Ia melihat MA salah sasaran dengan meminta para hakim untuk tidak berujar politik. MA, ujar Erwin, seharusnya mengatur batasan kebebasan berekspresi sesuai Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seperti patokan batasan ITE atau pencemaran nama baik, bukan sikap politik hakim.
"MA (Badilum) gagal melihat akar persoalan ini. Akar persoalan ini adalah adanya disparitas penerapan putusan UU ITE atau delik penodaan agama karena hakim-hakim punya tafsir dan preferensi perspektif yang beragam soal ini," terang Erwin.
"Padahal, jika membaca latar belakangnya, saya melihatnya ke arah sana. Pengaturan teknis bentuk ekspresi politik penting, namun melihat problem disparitas putusan juga tidak bisa diabaikan," tambahnya.
Mahkamah Agung melarang hakim untuk berkomentar hingga menyatakan dukungan di media sosial. Para hakim pun dilarang untuk berfoto dengan bakal calon selama pemilu berlangsung.
Peraturan tersebut mengacu pada Surat Edaran nomor 2 tahun 2019 tentang larangan hakim berpolitik. Peraturan tersebut mulai berlaku per tanggal 7 Februari 2019 dan ditandatangani Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) MA Heri Swantoro. Dalam edaran tersebut, salah satu poin yang dilarang adalah hakim tidak boleh mengunggah atau berkomentar di media sosial.
"Hakim dilarang mengunggah, menanggapi (seperti like, komentar dan sejenisnya), atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon, visi misi, mengeluarkan pendapat yang menunjukkan keberpihakan salah satu calon," kutip Tirto dari dokumen yang diperoleh dari situs MA, Jumat (8/2/2019).
Selain melarang berkomentar, hakim pun diminta untuk imparsial dan independen. MA pun melarang hakim melakukan perbuatan yang mengarah kepada keberpihakan pada paslon serta hakim dilarang berfoto dengan pasangan calon. Surat tersebut disebut berlaku bagi pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan umum.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dhita Koesno