Menuju konten utama

Perlukah Pemerintah Monitor Medsos ASN untuk Cegah Radikalisme?

SETARA Institute mengusulkan pemeriksaan latar belakang meliputi rekam jejak medsos CPNS, bukan cuma wawancara. 

Perlukah Pemerintah Monitor Medsos ASN untuk Cegah Radikalisme?
Sejumlah peserta mengikuti Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) menggunakan sistem Computer Assited Tes (CAT) CPNS secara serantak di Gedung Serbaguna Balai Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (8/12/2018). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/hp.

tirto.id - SETARA Institute menuntut Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) meningkatkan perannya dalam mengawasi penyebaran radikalisme dan ekstremisme di lembaga pemerintahan. Selama ini, APIP dinilai hanya aktif mengawasi kinerja dan keuangan Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Sudah selayaknya ada pengawasan soal kesetiaan terhadap negara. Itu berdasarkan hasil riset kajian kami," ujar Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat, Rabu (23/1/2019).

Pengawasan ini diperlukan lantaran ASN memang harus memegang teguh ideologi Pancasila, setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pemerintahan yang sah seperti tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menyebutkan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Menurut Bonar, APIP harus dibekali regulasi tambahan. Aturan baru itu diperlukan supaya APIP atau atasan ASN bisa mengecek latar belakang setiap ASN saat muncul indikasi terpapar radikal sekaligus bisa menindak tegas mereka.

Namun, pengecekan tak hanya dilakukan saat muncul indikasi radikalisme dari ASN. Peneliti SETARA Institute, Nadia Fausta menyebut pemeriksaan latar belakang juga harus dilakukan saat proses rekrutmen lewat prosedur wawancara dan rekam aktivitas media sosial calon abdi negara dengan bekerja sama dengan Polri.

"Tapi, tanpa melanggar privasi seseorang," ujar Nadia.

Tujuan penting dari pengecekan ini untuk menyaring calon abdi negara agar terbebas dari radikalisme. "Jika tidak kelar dalam tahap profiling, itu akan membahayakan," kata dia.

Imbauan SETARA Institute ini sejalan dengan hasil studi Alvara Research yang menemukan 19,4 persen PNS antipancasila. Studi ini dilakukan 10 September sampai 5 Oktober 2017 terhadap 1.200 responden dari PNS, swasta/profesional dan di BUMN, dengan rentan usia 25-40 tahun dan dilakukan di 6 kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Respons Pemerintah

Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB), Mudzakir mengapresiasi masukan SETARA Institute. Namun, Mudzakir mengklaim pemerintah sudah menerapkan sistem penyaringan lewat proses seleksi dan tes wawasan kebangsaan dalam proses rekrutmen ASN.

"Pendalaman [soal loyalitas kepada Pancasila dan negara] dilakukan di tahap itu," kata Mudzakir ketika dihubungi Tirto, Rabu (23/1/2019).

Mudzakir menyebut, seorang calon pegawai negeri sipil (CPNS) akan menjalani masa percobaan selama satu tahun. Di masa percobaan itu, kata Mudzakir, CPNS diuji untuk memegang sumpah senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.

"Di masa itu juga dilakukan deteksi [apakah terlibat dalam kegiatan radikalisme dan ekstremisme]. ASN tidak boleh mengkhianati prinsip dasar ideologi negara dalam pemikiran dan tindakan," ujarnya.

Infografik PNS

Infografik PNS

Mudzakir juga menjelaskan, ASN yang terbukti terlibat aktivitas ekstremisme dan radikalisme pasti dapat sanksi. Ia merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. ASN yang terbukti melanggar sumpah setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintah, dapat diberikan hukuman ringan hingga berat.

Jenis hukumannya, kata Mudzakir, tergantung luasnya dampak kerugian yang ditimbulkan PNS tersebut. Sanksi paling ringan yang bisa diberikan adalah teguran lisan, tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis.

Hukuman terberat sesuai Pasal 7 ayat (4) beleid itu, adalah "penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS."

Sementara itu, Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan polri bakal langsung menindak ASN yang terbukti terlibat aktivitas radikalisme dan ekstremisme. Namun, penindakan akan dilakukan setelah Polri mendalami sejauh mana aktivitas itu dilakukan ASN.

"Tidak asal tangkap," kata Dedi Prasetyo kepada reporter Tirto.

Dedi mengatakan, Polri akan akan bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta kementerian dan lembaga terkait untuk memprofil ASN yang terpapar radikalisme dan ekstremisme.

"Bisa melakukan profiling seseorang melalui Direktorat Siber Polri. Jika betul aktif menyebarkan paham dan aktif terlibat kegiatan radikalisme, kami bisa tindak,” ujar Dedi.

Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan