tirto.id - Puluhan boneka ondel-ondel seukuran botol air mineral 300 mililiter, berparas ceria, dan berpakaian menor, berjajar rapi di tangga pelataran samping galerikertas, Depok, Jawa Barat. Kumpulan boneka itu merupakan salah satu karya yang dihadirkan seniman seni jalanan (street art), Edi Bonetski, yang bernama asli Herdy Aswarudi, dalam pameran tunggalnya Ondel-ondel: Yang Rural & Yang Urban. Pameran yang masih dapat dikunjungi hingga 24 Juli 2022 ini, memajang ondel-ondel sebagai pintu masuk ke sebuah ruang percakapan tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Melalui pameran ini, Edi mengupas berbagai lapisan perjalanan ondel-ondel sebagai sebuah produk budaya yang terus bergerak mengikuti dinamika kehidupan, berkelindan dengan berbagai peristiwa. Ondel-ondel berevolusi seturut perkembangan Jakarta yang berkembang dari sekadar sebuah kota pelabuhan dengan perkampungan agraris, yang terus tergerus menjadi kota urban yang ultra-kosmopolit.
Ondel-ondel dalam prosesnya, menjalani berbagai peran dalam lini masa yang terentang panjang. Ondel-ondel pernah dipercaya memiliki tuah penolak bala, menjadi penyemarak kenduri masyarakat Betawi, hingga menjadi pajangan penyambut tamu di depan kantor-kantor pemerintahan, hotel, gedung pertemuan, serta masih menjadi obyek menarik bagi turis-turis lokal dan global yang tengah berpelesir di Jakarta. Bahkan kini, ondel-ondel juga digunakan sebagai sumber mencari nafkah bagi pengamen jalanan.
Dalam salah satu instalasi yang diberi judul “The Art After Darkness”, Edi menganalogikan ondel-ondel - pawai jalanan yang disinyalir sudah ada di Betawi sejak abad ke 17 - serupa dengan perebutan ruang yang terjadi dalam seni jalanan yang sejak lama ia geluti. “Sama seperti seniman street art, pemain ondel-ondel yang beredar di jalanan juga silih berganti mengisi ruang-ruang masyarakat dengan karya mereka,” kata Edi yang juga membuat gubahan musik dan seni performance. Pada karya ini, muncul berbagai benda bekas yang tak lagi terpakai karena terganti yang baru. Remote control, tetikus, mesin tik, tabung-tabung cat semprot, hingga puing bangunan, ditebarkan Edi di sebuah kotak kaca yang juga menyelipkan wajah-wajah legenda seperti Bunda Teresa, Basquiat, hingga Benyamin Sueb.
Dari Kemeriahan Pawai Menjadi Pajangan yang Hening
Pameran ini, menurut Edi, sejatinya berangkat dari sebuah tulisan sejarawan J.J. Rizal berjudul Ondel-ondel, Bedawangan, dan Anak Gederuwo. Tulisan tersebut mengupas tentang pergeseran budaya akibat berkembangnya sebuah wilayah rural menjadi wilayah urban yang kerap tak terelakkan di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Tulisan Rizal tersebut mengacu pada sebuah studi yang dilakukan oleh sejarawan Anthony Reid atas 2 teks, Babad Tanah Jawa dan Pustaka Rajyarajyai Bhumi Nusantara, yang menemukan bahwa kota-kota bandar di Nusantara telah menjadi daerah yang paling urban dengan penduduk mencapai puluhan ribu jiwa, puluhan ribu tentara, dan juga puluhan ribu rumah, kala wilayah tersebut secara fisik masih tampak sebagai wilayah rural yang agraris.
Rizal menemukan, tanpa disadari, terdapat sosok-sosok dalam kebudayaan kita yang telah mengalami perubahan sedemikian rupa sehingga asal muasalnya tidak lagi dikenali masyarakat modern. Di antaranya yaitu sosok-sosok besar yang pada suatu waktu sempat memeriahkan tiap sudut kota yang mereka jajaki. Rizal mengidentifikasi sosok-sosok ini sebagai leluhur dari apa yang kini dikenal sebagai ondel-ondel.
Sebagai bentuk kesenian yang bertempat di jalanan, ondel-ondel adalah produk dari lingkungannya dan merupakan kulminasi dari percampuran budaya yang melibatkan banyak ragam pelaku seni dari abad ke-19 hingga era pasca kemerdekaan. Namun pergantian zaman membuat ondel-ondel tereduksi menjadi tontonan kelas menengah atas yang tidak lagi ditemukan di jalanan. Kini, ondel-ondel sering hadir hanya pada hari-hari dan lokasi tertentu. Rizal menganggap hal ini sebagai sebuah dualitas yang bertolak belakang, yakni upaya mengingatkan warga kota pada memori kolektif mereka, tetapi di sisi lain juga sambil menghapus atau mengubah ondel-ondel sesuai kebutuhan legitimasi yang diperlukan.
“Di zaman pemerintahan Bang Ali Sadikin, menurut Rizal, ondel-ondel sebenarnya sudah diusahakan untuk jadi lebih gagah. Hanya saja, kebijakan itu justru membuat ondel-ondel kehilangan ruhnya karena ia hanya jadi benda pajangan. Dipajang di Taman Ismail Marzuki, Taman Mini Indonesia Indah, Taman Ria Remaja di Senayan, dan sebagainya, nggak jalan-jalan. Cuma kayak patung. Padahal ondel-ondel itu harus jalan, harus berisi manusia. Kalau diam saja, ya, bukan ondel-ondel,” kata Edi seraya tertawa.
Bertahun-tahun setelah masa yang dikisahkan Edi itu, ondel-ondel kembali pada khittah-nya sebagai “kembang jalanan” yang bisa kita jumpai nyaris di semua jalanan ramai baik di Jakarta, maupun di kota-kota penyangganya. “Namun kehadiran ondel-ondel di jalanan Jakarta sekarang ini sudah dianggap sebagai gangguan. Media kita setiap tahun memberitakan penangkapan ondel-ondel oleh aparat keamanan. Hanya dengan satu-dua kasus yang melibatkan ondel-ondel, seperti pencopetan dan pemukulan, ternyata sudah cukup bagi pemerintah untuk menyimpulkan bahwa seni rakyat ini tidak layak menjadi bagian dari tata kota Jakarta,” tulis Heru Joni Putra dalam pengantar pameran bertajuk Anatomi Masa Depan.
Menurut Hanafi, seniman senior yang juga tuan rumah galerikertas, pameran Ondel-ondel: Yang Rural & Yang Urban ini merupakan upaya mengenalkan publik seni dan masyarakat tentang bagaimana seorang seniman jalanan seperti Edi Bonetski bekerja. “Pameran ini mencerminkan bagaimana anak-anak muda pada era kini bekerja secara kolektif. Pameran ini diharapkan juga dapat menjadi media untuk membuka wawasan kesenian mereka melalui pengalaman perjalanan panjang Edi Bonetski,” kata Hanafi.
Pameran yang sebenarnya sudah direncanakan sejak sebelum pandemi ini merupakan sebuah pembuka rangkaian pameran trilogi yang akan dipayungi tema Sosok Besar, Sosok Kecil dalam Kebudayaan Kita yang merujuk pada tulisan J.J. Rizal.
Bentuk Karya Baru Seniman Ondel-ondel
Edi sendiri tak melihat ondel-ondel semata sebagai simbol apalagi kepunyaan kota Jakarta semata. Ia lebih melihat ondel-ondel sebagai sebuah produk budaya milik etnis Betawi yang kini menyebar ke berbagai wilayah di luar Jakarta, terutama di daerah-daerah penyangga ibukota seperti Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Seniman kelahiran Jakarta itu memiliki kedekatan yang amat kental dengan budaya Betawi di daerah tempat tinggalnya saat ini di Cipondoh, Tangerang. Keterlibatannya dengan ondel-ondel bukan hanya terjadi saat ia menyiapkan pameran tunggalnya ini. Sejak lama, Edi telah terlibat erat dengan para seniman ondel-ondel di Cipondoh dengan membantu mereka membuat sebuah kanal YouTube yang diberi nama Gopay Channel. Kanal tersebut berisi puluhan video aktivitas para seniman ondel-ondel saat melakukan pertunjukan di hajatan dan acara-acara lain, mengamen berkeliling di jalanan, hingga tutorial pembuatan ondel-ondel diunggah.
Edi membantu para seniman ondel-ondel tersebut membuat konsep konten, juga sesekali membuatkan ilustrasi musik, dan lagu-lagu balada untuk dipakai sebagai musik latar video-video tersebut. “Saat ini, pelanggan kanal Gopay Channel mencapai 122 ribu. Video-video yang diunggah di kanal tersebut, mendapat ribuan likes, bahkan ada yang pernah mendapat lebih dari 100 ribu likes dari para penontonnya,” kisah Edi dengan rasa bungah yang tak bisa ia sembunyikan.
Ondel-ondel, di era teknologi ini mampu hadir dalam bentuk karya baru bagi seniman ondel-ondel di Cipondoh. Ondel-ondel, baik ditampilkan secara daring maupun tidak, mencoba bertahan untuk tetap dapat menghibur, mendokumentasikan, sekaligus mempertahankan tradisi yang telah lama menjadi bagian dari masyarakat Betawi.
Penulis: Indah Ariani
Editor: Lilin Rosa Santi