Menuju konten utama

Aceh, Nanggroe yang Banyak Ditinggalkan Anak Kandungnya

Lapangan kerja yang minim bikin banyak kaum muda Aceh memilih merantau.

Aceh, Nanggroe yang Banyak Ditinggalkan Anak Kandungnya
Aktivitas wisatawan lokal di Pantai Lampuuk, Aceh Besar. tirto.id/Restu Diantina Putri

tirto.id - “Mumtaz!”

Ibnu Syahdan atau lebih dikenal sebagai Benu Buloe menandaskan hidangan di hadapannya sembari mengucapkan istilah itu di depan kamera. Artinya, hidangan barusan yang dilahapnya begitu lezat sampai ia harus berseru "luar biasa."

Bagi pencinta kuliner, wajah Benu Buloe mungkin familiar. Ia mengisi sebuah program kuliner di sebuah stasiun televisi swasta setiap pekan.

Benu asli Aceh. Ia meninggalkan kampung halamannya di Saree, Aceh Besar—sekitar 45 menit dari Banda Aceh—setahun sebelum tsunami. Saree adalah salah satu titik konsentrasi konflik antara GAM dan TNI saat Darurat Operasi Militer. Hal itu membuat perekonomian di daerahnya, juga daerah sekitar Aceh, lumpuh.

Mereka yang bertahan akan dicurigai sebagai "cuak" atau mata-mata GAM. Maka, sebagian besar anak muda di kampung lebih memilih ke luar Nanggroe seperti Medan, Padang, hingga Jakarta. Aceh bak negeri ditilep tanpa masa depan.

Lapangan kerja pada masa konflik terbatas. Bagi usia produktif di perkotaan, pilihannya hanya ada dua: menjadi PNS atau pegawai bank.

Namun, dua belas tahun pasca-konflik, urusan lapangan pekerjaan nyatanya tak berubah dramatis. Pilihan hanya terbatas pada, lagi-lagi, menjadi PNS ataupun pegawai bank. Segelintir korporasi di Aceh. Mau tak mau, peluang kerja yang lebih besar ada di luar Aceh.

Bidang lain, seperti penyiaran, yang ditekuni Benu, masih sangat minim. Benu pernah bekerja lepas di salah satu stasiun televisi asing di Aceh. Namun, ia memilih hengkang ke Jakarta pada 2004, bekerja sebagai juru kamera di salah satu televisi swasta. Usianya masih 21 tahun saat itu.

“Saya mau membuktikan orang Aceh bisa maju. Lagi pula mau mengurangi kebiasaan minum kopi. Jadi harus keluar dari Aceh,” katanya.

Fathur Maulana, 27 tahun, melakukan hal sama. Tiga belas tahun usai konflik, Fathur menjalani pelatihan sebagai karyawan baru di Bursa Efek Indonesia. Ia sebenarnya lulusan psikologi. Namun, masih kecil peluang kerja di Aceh untuk bidang tersebut.

“Untuk jadi staf HRD pun sulit karena tidak banyak perusahaan di sini. Kebetulan ada peluang kerja di luar, jadi ambil saja,” ujar Fathur.

Sementara pengalaman Lisa Octaviani memilih keluar Aceh pada 2015 untuk mengejar gelar magister di Jakarta. Usianya baru 23 tahun saat itu. Sebelumnya, ia bekerja sebagai staf keuangan di satu perusahaan konsultan kontraktor.

“Di Aceh, harus punya kedekatan dulu dengan orang dalam untuk dapat bekerja. Sama saja seperti daerah lain sebenarnya,” ujarnya.

Infografik HL Indepth Aceh

Keran Bocor Beasiswa

Sesudah konflik dan tsunami, pemerintah Aceh membuka keran beasiswa yang besar baik untuk studi di dalam maupun luar negeri. Pada awal dana otonomi khusus Aceh, pemerintah Aceh menggelontorkan hingga Rp101,3 miliar untuk beasiswa S1, S2, dan S3. Per 2017, dana otsus untuk pendidikan saja mencapai Rp1,5 triliun, termasuk alokasi untuk beasiswa. Hal ini dimanfaatkan para kelompok muda untuk pergi belajar ke luar negeri.

Polemik menyusul ketika para alumnus beasiswa itu kembali: hampir sebagian besar menjadi pengangguran. Penyebabnya, minim lapangan pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmu mereka. Dari data Mata Garuda Aceh, jumlahnya mencapai ratusan orang.

“Banyak beasiswa dari pemerintah tidak tepat sasaran. Misal, pemerintah membuka banyak beasiswa untuk jurusan manufaktur. Padahal di sini tidak ada. Jadi saat lulus, ya tidak terserap,” ujar Lydia dari Diaspora Muda Aceh.

Menurut Lydia, saat ini yang dibutuhkan Aceh adalah pendidikan. Maka, melalui perkumpulan itu, Lydia dan sesama rekan alumni penerima beasiswa membuat sejumlah program untuk membantu banyak anak muda Aceh meraih beasiswa di luar negeri. "Sehingga sepulangnya, mereka bisa membantu memperbaiki Aceh.”

Tadinya Diaspora Muda Aceh fokus pada pendampingan untuk mendapatkan beasiswa di luar negeri. Namun, setelah ada masalah baru dari imbas keran beasiswa terbuka lebar, fokus mereka beralih: bermitra dengan sejumlah perusahaan untuk penyerapan alumnus dari kampus luar negeri.

Lydia melihat justru yang dibutuhkan Aceh saat ini adalah pengembangan pada bidang pelayanan jasa, jika ingin para alumnus itu dapat langsung terserap di lapangan kerja.

“Aceh, kan, punya potensi pariwisata yang bagus. Tapi tidak dikembangkan. Padahal masih butuh banyak,” imbuh Lydia.

Sementara menurut Kinanti dari Mata Garuda Aceh, banyak pemuda daerah, khususnya dari kota kecil, menganggur usai lulus kuliah di luar negeri.

“Kami kurang tahu apa masalahnya. Tapi pola ini yang banyak terjadi. Misalnya saja di Bireun,” ujar Kinanti, merujuk sebuah kabupaten di utara Aceh.

Dalam lima tahun terakhir, kelompok usia 20-24 tahun menjadi penyumbang umur dengan angka pengangguran tertinggi di Aceh. Pada 2016, angka ini menembus 71 ribu jiwa. Yang mengejutkan, angka pengangguran justru lebih banyak dari generasi muda Aceh berlatar pendidikan SMA dan sarjana S1.

Pada 2016, pengangguran dalam kelompok lulusan SMA mencapai 13,2 persen, sementara dari lulusan perguruan tinggi mencapai 9,2 persen.

Sementara dari data migrasi penduduk Aceh, penyumbang terbanyak dari kota-kota kecil di Aceh ke Banda Aceh masih dari kelompok umur 20-24 tahun, sekitar 37.681 jiwa pada 2015, dan konsisten selama lima tahun terakhir.

Jika dulu konflik menjadi pemicu utama kelompok muda hijrah ke luar Nanggroe, saat ini musabab utamanya lantaran kondisi perekonomian yang jalan di tempat.

Pertumbuhan ekonomi Aceh hanya mampu menembus angka 4 persen pada 2017. Prestasi yang cukup signifikan sebenarnya mengingat pada tahun-tahun sebelumnya angka ini bisa mencapai titik minus, meski tetap memprihatinkan. Pertumbuhan ekonomi Aceh bak flu berat ini kerap membuat para perantau ogah untuk kembali dan berkarier di Aceh.

“Biasanya memilih kembali untuk menghabiskan hari tua saja. Tidak untuk berkarier,” kata Fathur, yang kini menjajaki karier di Bursa Efek Jakarta.

Baca juga artikel terkait ACEH atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Humaniora
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam