tirto.id - Atas nama rekam medis dan etika profesi kedokteran tokoh kita satu ini tidak bisa disebutkan nama aslinya.
Pierre, sebut saja demikian. Pada suatu hari, ia memutuskan untuk pergi ke dokter karena merasakan gejala tak normal pada kaki kirinya. Selama dua minggu belakangan, kaki kirinya terasa melemah dengan drastis hingga mengganggu aktivitas kerja Pierre sebagai aparatur di Perancis.
Pria berusia 44 tahun itu lantas menjalani prosedur pemindaian otak. Hasilnya mengejutkan: hampir 90 persen tengkoraknya berisi cairan. Sisanya hanya berupa lapisan luar yang lebih tipis dari jaringan otak manusia normal. Bagian internal otaknya nyaris seluruhnya terkikis. Pierre hanya mengandalkan 10 persen otaknya untuk beraktivitas.
Kondisi unik Pierre ini pertama kali muncul dalam laporan The Lancet di tahun 2007. Para ilmuwan dibuat bingung, bagaimana Pierre bisa bertahan hidup hanya dengan 10 persen otak. Apalagi dihadapkan dengan kenyataan bahwa Pierre berprofesi sebagai seorang pegawai negeri sipil serta mampu menjalani kehidupannya secara normal dan sehat layaknya orang lain. Bahkan ia sudah berkeluarga dan memiliki seorang istri serta dua anak. Keduanya juga sehat wal afiat.
Setelah ditelusuri rekam medisnya, diketahui bahwa sejak usia 6 bulan Pierre mengalami kondisi hidrosefalus atau penyakit yang terjadi akibat gangguan aliran cairan di dalam otak. Gangguan itu menyebabkan cairan otak bertambah melampaui volume normal dan menekan jaringan otak di sekitarnya. Pierre telah menjalani operasi untuk menghilangkan cairan tersebut di umur 14 tahun. Sejak saat itulah sebagian besar bagian otaknya terus terkikis.
Para dokter tak hanya memindai otak Pierre, tetapi juga menguji intelligence quotient (IQ)-nya. Hasil tes IQ-nya 75 (IQ verbal 84, IQ prestasi 70), jauh di bawah normal atau rata-rata yakni 91-110. Dengan data unik itu, para ilmuwan menghubungkannya dengan sebuah pertanyaan penting tentang kesadaran manusia.
Kesimpulan dari banyak penelitan terdahulu sudah mencoba memberi jalan terang tentang pusat kesadaran manusia terletak di otak—bisa jadi berada di area clustrum: lembaran tipis neuron di antara otak besar dan korteks visual. Namun, dalam kasus Pierre terjadi anomali. Bagaimana seseorang bisa kehilangan sebagian besar neuronnya tetapi masih bisa memiliki kesadaran dan kewaspadaan akan dirinya sendiri dan sekitarnya?
Tertarik pada fenomena ini, Axel Cleeremans, psikolog kognitif dari Universitas Libre de Bruxelles meneliti kasus Pierre selama satu dekade terakhir. Awal Juli 2016, ia menerangkan kepada Quartz bahwa sebenarnya ada banyak teori kesadaran untuk menjelaskan fenomena tersebut. Dengan kata lain, sebenarnya kesadaran dalam diri manusia tak melulu terletak di satu titik dalam otaknya, namun bisa di banyak tempat.
Cleeremans melahirkan hipotesa menarik. Bahwa alih-alih sudah terkondisi sedemikian rupa sejak lahir, otak manusia mempelajari kesadarannya secara terus menerus dan kontinyu. Artinya, lokasi kesadaran manusia sangat fleksibel dan bisa ada di lokasi yang beragam.
“Kesadaran adalah teori non-konseptual dari otak manusia itu sendiri yang diperoleh melalui pengalaman, pembelajaran, interaksi dengan dirinya sendiri, dengan dunia, dan dengan orang lain,” jelas Cleeremans.
Publikasi penelitian di tahun 2011 itu ia paparkan kembali di konferensi Asosiasi untuk Studi Ilmiah Kesadaran di Buenos Aires, Argentina, 14-16 Juni 2016. Ia menamakan hipotesisnya dengan istilah “Tesis Plastisitas Radikal”. Penelitian Cleeremans ini ternyata sejalan dengan penelitian terbaru yang menyebutkan bahwa otak manusia dewasa lebih adaptif dari perkiraan kita selama ini.
Lionel Feuillet, nurologis di Universitas Mediterranean, Marselille, Perancis, menjelaskan hipotesis Cleeremans bahwa otak manusia tak hanya bersifat sangat amat plastis dan adaptif. Kemampuan tersebut membuat otak mampu mengambil peran baru saat seseorang mengalami cedera di kepala. Proses penyembuhan pelan-pelan akan tercapai asal diperlakukan dengan kondisi layak sesuai standar medis.
Pendek kata, otak memiliki kesadaran sendiri dan belajar untuk mendeskripsikan dirinya sendiri. Otak merekam secara terus-menerus, tetapi juga berlangsung secara tak sadar. Hasil dari proses tersebut bisa terlihat dari perilaku manusia di kehidupan sehari-hari saat yang bersangkutan dalam kondisi sadar.
Mitos 10% Otak Manusia
Kasus unik Pierre membawa kepada pertanyaan selanjutnya tentang “fakta” ilmiah yang selama ini beredar luas: benarkah selama ini manusia hanya menggunakan potensi otaknya mentok di angka 10 persen saja?
Orang-orang yang mantap menjawab “iya” bahkan sampai membawanya ke dalam film berjudul Lucy (2014). Lucy, yang diperankan aktris cantik Scarlett Johansson, menjadi kelinci percobaan obat terlarang yang mampu membuat performa otak manusia melampaui 10 persen. Di akhir cerita, kala Lucy secara bertahap mampu mencapai kemampuan 100 persen otaknya, ia memiliki kekuatan super dan kapasitasnya setara kemampuan Tuhan. Lucy menjadi “tuhan” (baru) yang hanya bisa dijangkau lewat ritual metafisik.
Kepercayaan sebagian besar orang itu dibantah oleh Barry L. Beyerstein dari Brain Behavior Laboratory di Universitas Simon Fraser, Vancouver, Amerika Serikat. Pokok pemaparan Beyerstein didasarkan pada keraguan para neurologis sebab jika mengacu pada asumsi tersebut, berarti 90 persen kinerja otak manusia tak berfungsi sama sekali?
Faktanya, penelitian lanjutan membuktikan bahwa mitos tersebut keliru. Kita (selalu) menggunakan 100 persen otak kita, tetapi memang performa dan output masing-masing orang berbeda-beda. Meski berbeda-beda pun, performa yang dihasilkan manusia normal tak akan turun hingga hanya tersisa 10 persen saja.
Kembali ke kasus Pierre. Fakta tentang dirinya membuktikan bahwa meski ia hanya memiliki 10 persen dari bagian otak manusia pada umumnya, ia tetap mengfungsikannya secara total 100 persen. Bagaimana dengan IQ-nya yang rendah? Kenyataannya banyak sekali orang-orang dengan IQ lebih rendah, bahkan di bawah skor 75—dan mendapat label idiot—memiliki bagian otak lengkap alias 100 persen.
Beyerstein menduga kerancuan itu disebabkan oleh pemberitaan tak valid dari media dan kemudian diterima mentah-mentah oleh masyarakat luas. Hanya karena “fakta” tersebut memaparkan potensi otak manusia yang sangat besar. Mitos pun beregenerasi terus-menerus karena media-media memberitakannya berulang kali. Beberapa pihak juga rajin memakainya sebagai motivasi untuk mendorong orang-orang awam agar belajar lebih giat.
Dr. James W. Kalat, penulis buku “Biological Psychology”, memiliki cerita lain untuk asal-usul mitos 10 persen. Dr. Kalat menunjukkan bahwa ahli saraf di tahun 1930-an tahu tentang keberadaan sejumlah besar neuron lokal di otak manusia, tapi satu-satunya hal yang mereka tahu tentang sel-sel ini adalah bahwa mereka kecil. Nah, agar bisa dipahami lewat persentase angka, maka (di)muncul(kan) angka 10 persen itu hingga akhirnya informasi tak valid tersebut dilestarikan hingga berpuluh-puluh tahun di era setelahnya.
Sepanjang usaha Beyerstein dalam memecahkan misteri 10 persen, ia banyak mendapat rujukan bahwa Albert Einstein lah yang pertama kali menciptakan mitos tersebut. Namun Beyerstein tak pernah menemukan data yang valid saat ia menelusuri catatan-catatan di arsip pribadi Einstein. Ia pun menduga jika mitos itu lestari karena nama besar sang fisikawan saja.
Lagipula, mitos 10 persen itu tak pernah benar-benar dijadikan standar untuk menilai kadar intelektualitas seseorang, atau dalam bahasa lain yang lebih jujur, standar usaha seseorang dalam memanfaatkan otak kepunyaannya. Jika metode penilaian itu benar-benar ada, barangkali suatu saat lazim kita temui seseorang dengan level kesadaran 100 persen bertanya kepada rekannya sendiri,
“Eh, performa otakmu sudah berapa persen?”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti