Menuju konten utama

Girolamo Cardano, si Pengagas Bilangan Imajiner

Nama matematikawan yang pernah dianggap menista agama ini menjadi nama perusahaan teknologi kriptokurensi.

Girolamo Cardano, si Pengagas Bilangan Imajiner
Gerolamo Cardano. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Semakin dekat dengan ajal, semakin banyak pula tragedi menimpa Girolamo Cardano. Pada 1570, Cardano ditangkap Inkuisisi Gereja Katolik yang dipimpin Paus Pius V. Meskipun Cardano bungkam soal rincian dakwaan yang ditimpakan kepadanya, namun kemungkinan besar dia didakwa sebagai penista agama.

De Subtilitate yang disusunnya membandingkan agama Kristen, Yudaisme, dan Islam secara objektif. Sedangkan dalam De Immortalitate, laki-laki yang lahir pada 1501 itu menulis soal keabadaian dan kefanaan jiwa. Cardano pun sempat menulis soal horoskop Yesus Kristus dan menyampaikannya kepada Paulus III—paus sebelum Pius V. Selain dianggap menista, tulisan macam itu dianggap bagian gerakan Reformasi Protestan yang gencar ditekan Paus Pius V.

"Horoskop tentang Kristus dipandang banyak orang di pengadilan era Paus Pius V sebagai upaya merendahkan Pencipta menjadi seperti ciptaan-Nya: jika bintang-bintang bisa meramal kehidupan Kristus, berarti Tuhan tidak bertindak sesuai kehendak-Nya sendiri," sebut Michael Brooks, seperti dilansir New Scientist.

Cardano mendekam di penjara selama tiga bulan. Setelahnya, Cardano menjadi tahanan rumah, dilarang mengajar, menerbitkan buku, dan menceritakan alasan penangkapannya. Bersamaan dengan itu, dia pun memusnahkan 130 buku dan 111 manuskrip karyanya. Enam tahun kemudian, Cardano meninggal, tepat pada 20 September 1576.

Cordano dan Gagasan Bilangan Imajiner

Seperti tragedi yang merangsek di akhir hayatnya, nama Cordano pun amat jarang disebut dalam buku-buku pelajaran anak SMA atau kuliah (di Indonesia). Buku-buku seolah cukup menyitir Leonardo da Vinci atau Leonardo Fibonacci, dua saintis anasir Renaisans Italia yang hidup sezaman Cardano.

Jika tidak digunakan sebagai nama perusahaan platform cryptocurrency "Cardano", nama yang diserap dalam bahasa Inggris menjadi Jerome Cardan itu mungkin bakal terkubur dan tidak pernah dikenang lagi saat ini.

Pada kenyataannya, pena dan tinta Cardano tidak hanya didedikasikan untuk menulis buku-buku agama, astrologi, atau horoskop belaka. Kontribusi Cardano, terutama dalam bidang matematika, signifikan betul.

Markus Fiers dalam Girolamo Cardano 1501 - 1576 (1983) mengatakan Cardano meluncurkan buku berjudul Ars Magna pada 1545. Dalam buku itu, Cardano menjabarkan metode ampuh penyelesaian persamaan pangkat tiga dan empat. Gagasan Cardano, yang diilhami hasil kerja dua koleganya: Scipione del Ferro dan Tartaglia, itu istimewa. Sebelumnya, orang-orang baru bisa menghitung penyelesaian persamaan kuadrat (pangkat dua).

Selain itu, Ars Magna juga menjadi bukti bahwa Cardano adalah orang Eropa pertama penulis susunan bilangan yang saat ini disebut bilangan imajiner atau kompleks. Dalam buku itu, Cardano menulis (5+√−15) dan (5−√−15) sebagai hasil suatu penyelesaian persamaan kuadrat.

Dalam matematika, perkalian sebuah bilangan dengan sejumlah bilangan itu sendiri disebut operasi pangkat (kerap disimbolkan dengan tanda ^), misalnya 6x6 = 6^2 = 36.

Setiap operasi pun memiliki operasi-balikan. Untuk operasi pangkat dua, operasi-balikannya adalah akar (disimbolkan dengan √).

Karena bilangan negatif dikali bilangan negatif menghasilkan bilangan positif, operasi pangkat 2 untuk bilangan negatif selalu menghasilkan bilangan positif, misalnya -6x-6 = -6^2 = 36.

Dengan begitu, √36 pun memiliki dua nilai, 6 atau -6.

Pertanyaannya, jika operasi pangkat dua selalu menghasilkan bilangan positif, apakah operasi √-36 memiliki nilai?

Untuk menjawab itu matematikawan menempuh jalan berliku. Rafael Bombelli mengenalkan notasi √-1 untuk memecah bilangan imajiner, misalnya √-36 menjadi √36√-1, melalui buku l'Algebra (1572). Dua abad kemudian, Leonhard Euler memopulerkan penggunaan simbol i untuk merujuk √−1 sehingga √-36 dapat ditulis 6i.

Sebagai sebuah sistem, bilangan imajiner mulai menemukan bentuk aljabarnya ketika pada 1831 matematikawan asal Irlandia William Rowan Hamilton mengembangkan konsep pasangan terurut bilangan asli untuk mendefinisikan bilangan imajiner. Dengan konsep ini, bilangan 1+6i cukup ditulis (1,6).

Bilangan imajiner disebut bilangan kompleks oleh Carl Friedrich Gauss, kemudian Augustin-Louis Cauchy mengonsepkan secara utuh himpunan bilangan kompleks pada 1847.

"Kami secara penuh menanggalkan simbol √−1, meninggalkannya tanpa penyesalan karena kami tidak tahu apa yang ditunjukkan pun makna apa yang mesti diberikan kepada simbol tersebut," ujar Cauchy, seperti dilansir "A Short History of Complex Numbers" (2006) yang disusun Orlando Merino.

Jadi, √-36 bukan lagi momok. Ia sudah diserap menjadi bagian himpunan bilangan kompleks dengan nilai 6i.

infografik girolamo cardano

Bilangan Imajiner yang Diolok-olok

Dibanding kawan-kawan bilangan lainnya, bilangan imajiner (atau kompleks) ini memang tampak tiada gunanya dalam kehidupan sehari-hari. Ia juga sulit dibayangkan keberadaannya secara empiris.

Filsuf Perancis abad ke-17 Rene Descartes sebenarnya adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah imajiner untuk menyebut √−1. Dia mengatakan itu melalui sebuah risalah berjudul "Discours de la method pour bien conduire sa raison et chercher la verite dans les sciences" yang terbit di Leiden pada 1673.

Descartes mengatakan, "Untuk setiap persamaan, seseorang dapat mengimajinasikan sebanyak mungkin akar [setara dengan derajatnya], namun dalam banyak kasus tidak ada jumlah akar yang sesuai dengan yang dibayangkan seseorang."

Meski berjasa 'menemukan' istilah bilangan imajiner, kalimat Descartes tersebut sebenarnya bermaksud mengolok. Dengan berkata seperti itu, filsuf yang terkenal dengan adagium aku berpikir maka aku ada itu, mengatakan bilangan imajiner hanya bisa dibayangkan, tapi wujudnya, terutama perannya sebagai akar persamaan dan posisinya dalam diagram bilangan (Cartesius), tidak diketahui.

Namun, jauh setelah Descartes mati karena pneumonia, para matematikawan mengembangkan banyak metode analisis bilangan kompleks. Sebagaimana disebut Brooks, analisis tersebut berguna dalam memodelkan arus dan tegangan listrik dalam sirkuit elektronik.

Analisis bilangan kompleks juga mempermudah para ilmuwan untuk menghitung pergerakan osilasi dan gelombang yang digunakan dalam perangkat komunikasi, mulai dari telepon hingga wifi.

Bersama dengan teori probabilitas, bilangan imajiner juga berguna dalam mengulik persamaan teori kuantum Schrodinger. Sementara itu, Alexander V. Avdeev dan kawan-kawan menggunakan analisis bilangan kompleks untuk menakar posisi sumber tsunami.

Baca juga artikel terkait SAINS atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Teknologi
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani