Menuju konten utama

WNI Terjebak di Jepang: Korban Penipuan, Kerja Serabutan, Ilegal

Ada banyak warga Indonesia di Jepang yang menjadi korban perdagangan orang. Hidup mereka sulit, status ilegal sehingga dapat ditendang kapan saja.

WNI Terjebak di Jepang: Korban Penipuan, Kerja Serabutan, Ilegal
Ilustrasi Jepang, foto/IStockphoto

tirto.id - Ratusan atau bahkan ribuan warga Indonesia bekerja secara ilegal di Jepang karena ditipu oleh calo dan terjepit di celah kerangka kerja dua negara tersebut. Pandemi Covid-19 yang tak juga menunjukkan tanda mereda membuat kehidupan mereka semakin buruk.

Beberapa WNI yang visanya overstay menolak untuk saya, seorang jurnalis Jepang, wawancara. Mungkin khawatir dapat menyebabkan mereka dilaporkan ke polisi. Indra, yang mau diwawancara tapi tidak ingin saya cantumkan nama aslinya, 30 tahun, juga awalnya menolak. Setelah saya sampaikan niat untuk melaporkan hal ini agar tidak ada korban lagi, ia baru bersedia menceritakan kisahnya.

Pada 4 April 2021 kami bertemu di restoran Cina. Dia bersikeras mentraktir saya. Kata dia, ibunya menyuruhnya untuk memperlakukan teman baru dengan baik.

Indra adalah perokok berat. Jadi kami berjalan di sekitar stasiun untuk mencari kafe yang memiliki ruang untuk merokok agar dia bisa bercerita dengan lebih nyaman. Kami tidak menemukan satu pun yang cocok dan terpaksa pindah ke kedai teh tapioka. Di sana saya mendengar ceritanya dari awal.

Sebelum meninggalkan kampungnya di Blitar, Jawa Timur, ke Jepang pada 2016, Indra membayar Rp80 juta untuk apa yang disebut dengan biaya 'pengenalan pekerjaan'—setengahnya dari pinjaman. Ketika mendarat di Bandara Narita, dia mulai menyadari ada yang aneh. Dia langsung dimasukkan ke mobil van yang dipenuhi pekerja Indonesia. Selain itu, sekelompok pria asal Indonesia memintanya mengisi dokumen aplikasi yang kelak diketahui visa pengungsi.

Mereka juga ternyata tidak memberikan pekerjaan dengan gaji sebesar 160 ribu yen (Rp20,9 juta) per bulan seperti yang dijanjikan. Indra malah dipekerjakan di pabrik pengepakan stroberi, dengan gaji 'minus' 60 ribu yen untuk bulan pertama.

Biaya sewa kamar apartemen untuk enam pekerja yang disediakan juga cukup mahal, masing-masing dikenakan 40 ribu yen. Harga tersebut jauh lebih mahal daripada standar setempat.

Indra tak bertahan lama di tempat tersebut. Setelah meminjam 10 ribu yen (Rp1,3 juta), ia diam-diam pergi ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo agar mendapatkan perlindungan sekaligus berharap bisa tinggal di kota tersebut. Dia membawa koper. Akan tetapi harapannya segera hancur. Dia mengatakan pihak KBRI tidak bisa banyak membantu karena ia sudah mengajukan visa pengungsi.

Katanya, memang ada kesempatan 50% untuk bisa mendapatkan visa kerja, tapi 50% lagi peluang dideportasi.

Selama di kedai yang ramai ini, Indra bercerita sambil meneteskan air mata. Dia mengatakan seorang staf KBRI bertanya apakah dia mengarang cerita alias berbohong. “Mereka egois. Saya sakit hati.” Indra bilang dia tidak suka orang Indonesia dibandingkan dengan warga Jepang.

Broker yang membuatnya terjebak dalam situasi ini juga mantan jishusei atau pemagang yang berasal dari Indonesia. Secara resmi, sistem pemagangan ditujukan bagi peserta asing untuk memperoleh keterampilan dari industri Jepang agar dapat digunakan untuk pengembangan industri di negara asal.

Indra akhirnya memutuskan untuk terus bekerja serabutan dengan status pemohon visa pengungsi. Sejak itu ia berpindah-pindah kota dan berganti-ganti pekerjaan, mulai dari tenaga penjual karage (ayam goreng Jepang) hingga buruh pabrik plastik.

Namun, selama pandemi yang berkepanjangan ini, Indra kehilangan status hukumnya.

Kini dia bekerja di pabrik manufaktur di salah satu kota di Prefektur Aichi—yang dikenal sebagai basis merek otomotif Toyota. Barang-barang yang produksi digunakan untuk mobil dan perahu. Dengan lebih dari 7.000 WNI, prefektur ini menjadi tempat sebagian besar orang Indonesia tinggal, bahkan melampaui populasi WNI di ibu kota Jepang, Tokyo.

Karena pandemi Covid-19, lima teman Indra asal Indonesia di-kubi atau di-PHK. Mereka tidak punya uang bahkan untuk membeli makanan. Akhirnya Indra mengizinkan mereka semua untuk menginap di apartemennya. Sebelumnya, mereka bekerja paruh waktu di prefektur-prefektur di dekat Aichi.

Apa yang dialami Indra sama sekali bukan kasus yang luar biasa, dalam arti dialami pula oleh banyak orang lain.

Seorang ahli tentang Indonesia, guru besar di Nagoya Gakuin University yang membantu orang-orang Indonesia yang membutuhkan, Saeki Natsuko, membuka grup obrolan LINE. Dari sana, pada puncak pandemi, ia bisa menerima 150 pesan konsultasi dan keluhan setiap hari. Ia menemukan banyak dari mereka yang tidak tahu hak dan kewajiban karena tak menguasai bahasa Jepang. Seperti Indra, para tenaga kerja yang kerap datang dari pedesaan Indonesia juga sering disuruh untuk mengisi surat pengajuan visa pengungsi tanpa tahu apa isinya, katanya.

”Mereka adalah korban perdagangan manusia. Setelah mengajukan visa dengan status pengungsi, mereka tidak dapat memperoleh perlindungan dari pemerintah Indonesia karena di Jepang, orang yang mengajukan visa pengungsi berada dalam posisi yang setara dengan orang yang kehilangan kewarganegaraan.”

Ia mengatakan beberapa orang Indonesia yang datang melalui calo memilih untuk tetap bekerja ilegal di Jepang karena belum mendapatkan cukup uang untuk membayar utang orang tua atau biaya pendidikan anak-anak mereka.

Infografik Nasib Pekerja Indonesia di Jepang

Infografik Nasib Pekerja Indonesia di Jepang. tirto.id/Fuad

Hani, 36 tahun, penduduk Indonesia yang tinggal di sekitar Tokyo, mengatakan kasus overstay pekerja Indonesia adalah hal yang biasa akhir-akhir ini. Kemudian juga soal kasus penipuan yang marak sejak pandemi. Untuk magang di Jepang, orang Indonesia diminta membayar Rp40-50 juta, akan tetapi pada akhirnya “mereka bahkan tidak bisa berangkat”.

Di sekitar komunitas tradisional Indonesia di Jepang, yaitu Ōarai di Prefektur Ibaraki, kasus overstay visa juga sudah menjadi topik umum. Ada beberapa orang Indonesia yang bekerja secara ilegal di sektor pertanian atau konstruksi. Orang-orang ini sering kali memiliki SIM ilegal. Masalah ini diketahui oleh polisi setempat.

Saat diwawancarai pada Desember 2020, seorang mantan broker Jepang di Ōarai yang sering berinteraksi dengan masyarakat Indonesia menunjuk ke luar kantornya. Dia mengatakan sekelompok anak muda Indonesia yang baru saja turun dari mobil adalah pekerja overstay yang dia kenal.

”Mereka bekerja di bidang pertanian karena sektor tersebut membutuhkan tenaga kerja dengan jumlah yang besar pada masa panen raya. Beberapa lainnya bekerja di bisnis konstruksi yang terkadang berafiliasi dengan Yakuza (gangster)”. Dia juga menambahkan, ada bisnis menjual mobil untuk pekerja ilegal.

Dampak dari fenomena ini bisa melebar ke mana-mana, termasuk kriminalitas. Kasus-kasus kriminal yang melibatkan orang Indonesia mungkin akan meningkat di masa depan dengan preseden orang-orang Vietnam. Selama beberapa tahun terakhir, puluhan ribu orang Vietnam berbondong-bondong datang ke Jepang. Pada 2019, untuk kali pertama jumlah orang Vietnam yang ditangkap melebihi orang Cina, padahal komunitas Cina lebih besar daripada kelompok Vietnam.

Di sisi lain, jumlah WNI yang tinggal di Jepang meningkat pesat, tercepat ketiga setelah Vietnam dan Nepal. Hingga Juni 2020, jumlah penduduk Indonesia di negara ini mencapai 66.084 orang.

Polisi takut jika pekerja overstay membentuk organisasi kriminal. Sekolah polisi sekarang bahkan melatih petugas untuk berbicara bahasa Indonesia.

Kembali ke Indra. Dia tak ingin lebih banyak orang yang bernasib sama sepertinya. Indra berharap agar orang lain bisa ”lebih berhati-hati untuk memutuskan pergi bekerja ke luar negeri dan dapat mengambil jalur yang tepat.”

TOKYO/Takehiro Masutomo

Baca juga artikel terkait PERDAGANGAN ORANG atau tulisan lainnya dari Takehiro Masutomo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Takehiro Masutomo
Penulis: Takehiro Masutomo
Editor: Rio Apinino