Menuju konten utama

Ketika Hukum Gagal Memberi Keadilan Korban Perbudakan Long Xing 629

Korban perbudakan ABK Kapal Long Xing 629 tak mendapat kompensasi yang layak dari perusahaan. Satu perusahaan bahkan lolos dari jerat hukum

Ketika Hukum Gagal Memberi Keadilan Korban Perbudakan Long Xing 629
Ilustrasi HL Indepth Lemahnya Hukum Bagi Pelaku Perbudakan ABK. tirto.id/Lugas

tirto.id - Kasus perdagangan orang dan perbudakan ABK yang melibatkan kapal Long Xing 629 milik Dalian Ocean Fishing Co. Ltd berakhir antiklimaks. Dalam rangkaian persidangan yang digelar di beberapa pengadilan negeri di Jawa Tengah, tiga perusahaan penyalur ABK divonis rendah. Sementara satu perusahaan, PT Karunia Bahari Samudera (KBS), lolos dari jeratan hukum.

PT KBS, perusahaan yang berkantor di Pemalang, adalah pihak yang memberangkatkan Sepri dan Ari sebagai ABK di kapal berbendera Tiongkok tersebut. Sepri, 24 tahun, adalah anak seorang petani kebun asal Dusun II, Desa Serdang Menang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan yang berniat mengubah nasib keluarganya. Begitu pun dengan Ari (24), tetangga Sepri yang turut mencoba peruntungan menjadi ABK. Malang, niat mengubah nasib tersebut justru berubah jadi malapetaka.

Kedua ABK itu tewas setelah berlayar kurang lebih satu tahun. Mereka tewas setelah dieksploitasi oleh kapten kapal dengan bekerja lebih dari 18 jam setiap hari; termasuk mengalami kekerasan fisik serta mengonsumsi makanan dan minuman tidak layak.

Sepri tewas pada 22 Desember 2019, dan Ari 30 Maret 2020.

Ketika Hukum Tak Berpihak Kepada Korban Perbudakan

Selain PT KBS, ada tiga perusahaan lain yang diperkarakan: PT Lakemba Perkasa Bahari, PT Sinar Muara Gemilang, dan PT Alfira Perdana Jaya. Keempatnya diadili di pengadilan negeri yang berbeda.

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tegal, staf HRD PT Lakemba Perkasa Bahari Kiagus Muhammad Firdaus diganjar hukuman penjara 14 bulan pada 21 Desember 2020. Sedangkan Muamar Kadafi selaku direktur PT Lakemba Perkasa Bahari divonis 15 bulan pada 29 April 2021, dengan denda masing-masing Rp800 juta, subsider kurungan satu bulan.

Dalam putusan vonis tersebut, ada perlakuan yang berbeda diterima terdakwa, Firdaus pada masa penyidikan langsung menjadi tahanan rutan, sedangkan Kadafi tidak. Terdakwa Kadafi baru ditahan pada saat proses penuntutan umum dengan status tahanan Kota Tegal. Bahkan sampai dengan putusan, hakim hanya menetapkan terpidana sebagai tahanan.

Keistimewaan lainnya, kedua pelaku tersebut hanya dikenakan UU No 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Padahal, dua perusahaan lainnya PT Sinar Muara Gemilang dan PT Alfira Perdana Jaya yang ikut memberangkatkan ABK di Kapal Long Xing 629 dikenakan UU No 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Sementara itu PN Pemalang memvonis Muhamad Zakaria dan Joni Kasiyanto masing-masing selama 4 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp120 juta. Zakaria merupakan Direktur PT Sinar Muara Gemilang dan Joni sebagai Komisaris perusahaan.

Sedangkan PN Brebes memvonis William Gozally alias Willy selama 3 tahun 4 bulan dan denda Rp120 juta. Willy merupakan staf PT Alfira Perdana Jaya (APJ). Anehnya, Direktur Utama PT APJ Indra Batarudin dan Komisaris Utama Jeslyn Yang (pemilik saham mayoritas PT APJ) yang diperiksa sebagai saksi tidak menjadi tersangka.

Vonis rendah dan berbagai kejanggalan tersebut menyisakan rasa kecewa dari para korban. Kekecewaan memuncak ketika para korban hanya mendapat upah kerja di Kapal Long Xing 629 dengan total sebesar Rp45 juta dan dicicil sebanyak empat kali tanpa kompensasi lainnya.

"Dibayar gajinya doang. Kecewanya bonus kami enggak dihitung. Tapi kasbon kami di kapal dihitung. Jadi kenapa dibedain bonusnya. Bon-bon dihitung, giliran bonus dilupain," kata Risky Fauzan kepada Tirto (9/6).

Faisal, ABK asal Brebes mengatakan perwakilan dari Willy meminta korban yang diberangkatkan dari PT Alfira Perdana Jaya tidak mengaitkan kasus perbudakan itu dengan perusahaan. Padahal lima ABK; Faisal, Nur Adi Wijaya, Cheri Kurniawan, Adi Renaldi dan Aditya Purnomo direkrut dan diberangkatkan melalui perusahaan tersebut.

Faisal menambahkan perwakilan Willy cuma mampu membayar total Rp42 juta, itu pun upah selama bekerja di kapal, sedangkan kompensasi lainnya tidak ada. Pihaknya sempat bertanya persoalan itu kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), namun justru disarankan untuk mengambil daripada tidak mendapat sama sekali.

"Ini enggak adil, kita nuntut juga kompensasi dari kerja yang sengsara itu tapi dapatnya gaji doang," kata Faisal, ABK yang memandikan jenazah Sepri.

Sementara itu, korban perbudakan ABK dari Pemalang; Muhammad Yusup, Muhammad Yani, Azuar, Riski Pangareza, Bernadus Maturbongs dan Yuda Pratama harus gigit jari. Pasalnya, PT Sinar Muara Gemilang yang merekrut dan memberangkatkan ABK tidak mampu membayar restitusi sebesar Rp103 juta sampai dengan Rp141 juta kepada korban.

"Pelaku menyatakan tidak sanggup membayar," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi, (7/6).

Edwin berkata berdasarkan aturan saat ini, pelaku bisa menolak membayar restitusi dengan menggantikan kurungan penjara maksimal satu tahun penjara. Oleh sebab itu, dalam putusan hakim perlu upaya paksa kepada pelaku untuk membayar restitusi kepada korban.

Pihaknya menilai perlu perubahan atau revisi UU TPPO terkait pembayaran restitusi. Jika restitusi disandingkan dengan subsider kurungan penjara bagi pelaku, tentu pelaku lebih memilih kurungan penjara.

"Apa artinya dua bulan atau tiga bulan kurungan penjara," katanya.

Sementara itu, pada terdakwa dari PT Lakemba Perkasa Bahari, restitusi tidak diputus PN Tegal karena jaksa penuntut umum menggunakan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Infografik HL Indepth Perbudakan ABK

Infografik HL Indepth Lemahnya Hukum Bagi Pelaku Perbudakan ABK. tirto.id/Lugas

Bukti Pemalsuan Surat Pelarungan Jenazah Menguap

Lolosnya PT KBS dalam jeratan hukum menimbulkan banyak pertanyaan. Aulia Aziz Al Haqqi, pengacara keluarga korban, merasa janggal ketika penanggung jawab atau pemilik perusahaan yang memberangkatkan Sepri dan Ari tidak menjadi tersangka tindak pidana.

Pertama, perusahaan tidak memiliki izin rekrut ABK yang terdaftar di Kementerian Perhubungan maupun di Kementerian Ketenagakerjaan pada saat itu. Kedua, ada dugaan tindak pidana pemalsuan surat izin keluarga terkait tanggal pelarungan jenazah.

Dalam sebuah mediasi antara Kemenlu, PT KBS dan pengacara keluarga korban pada 13 Mei, Aziz meminta klarifikasi Dirjen Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu Joedha Nugraha terkait pernyataan Menlu Retno Marsudi yang menyebut pelarungan jenazah Ari sudah disetujui keluarga pada 31 Maret.

Joedha menunjukan foto surat via ponsel kepada pengacara keluarga korban, setelah dicocokan, isinya sama kecuali tanggal persetujuan. Aziz berkata Kemenlu kaget mendapatkan dokumen PT Karunia Karunia Bahari tidak valid. Padahal keluarga Ari menandatangani pada 13 April 2020.

“Surat yang didapatkan Kemenlu bahwa pelarungan bertanggal 31 Maret. Artinya, ada pemalsuan surat,” kata Aziz.

Sementara itu, Dirtipidum Bareskrim Polri Andi Rian menjelaskan tidak adanya tersangka dari PT KBS karena dari 14 ABK yang dipulangkan oleh KBRI, tidak ada yang direkrut dan diberangkatkan oleh PT KBS sehingga tidak ada yang dapat menjelaskan proses dan cara perekrutannya.

Polisi pun enggan menjerat PT KBS dengan tindak pidana pemalsuan surat izin pelarungan. Alasannya, tidak ada laporan terkait pemalsuan surat tersebut.

"Saat penanganan awal dan sampai saat ini tidak ada pengacara, Kemlu atau siapapun yang menyerahkan atau melaporkan surat dimaksud," kata Andi kepada Tirto (7/6).

Pernyataan ini dibantah oleh Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Achdiyanto Ilyas Pangestu. Ia menjelaskan pihaknya telah mengungkap persoalan manipulasi tanggal pelarungan ABK Ari oleh pihak perusahaan saat pertemuan bersama Kemenlu dan keluarga korban.

"Itu juga menjadi bahan pelaporan di Bareskrim," kata Ilyas (3/6). "Laporan kita terhadap keempat perusahaan itu sudah masuk Bareskrim, diproses dan tidak diproses itu kewenangan dari penegakan hukum."

Sementara itu, Joedha membenarkan ada pertemuan antara keluarga korban dan PT KBS di Kemenlu. Soal surat melarung jenazah, pihak keluarga menyetujui. “Namun ada beberapa perbedaan, tapi tidak bisa saya sampaikan dulu karena menjadi bahan penyelidikan," katanya kepada Tirto (17/5).

Pada saat itu, Joedha tidak bisa menjelaskan secara detail kepada media karena bisa menyulitkan polisi untuk menindaklanjutinya. "Kami sampaikan bahan temuan ini kepada polisi," katanya.

Saksi sekaligus korban perbudakan dan perdagangan orang di kapal Longxing 629, Faisal mengatakan sebenarnya ada tiga ABK yang diberangkatkan PT KBS, diantaranya, Sepri, Ari dan Edo. Namun, Edo tidak lama di Kapal Longxing 629, dia dipindahkan ke kapal lain karena dinilai malas bekerja.

"Edo sudah pulang ke Indonesia, dia sempat ke Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) di Kemensos. Pulang bersama Idris (ABK). Edo ini satu perusahaan sama Sepri," kata Faisal (8/6).

Tirto berusaha mengkonfirmasi upaya pemalsuan surat pelarungan ABK bernama Ari oleh PT KBS. Ilham, selaku staf di PT KBS membenarkan nomor seluler ini milik perusahaan. Tapi ketika ditanya soal surat pemalsuan pelarungan, Ilham tiba-tiba berkata tidak bekerja lagi di perusahaan.

Dia meminta wartawan Tirto untuk bertanya kepada Irvan Mekriano Cornelis David, direktur PT KBS. Ilham berjanji akan memberikan nomor kontak Irvan, tapi sampai tulisan tayang, Ilham tak juga memberikan nomor kontak Irvan dan tak menjawab pesan Tirto.

Kasus Perbudakan ABK Terus Berulang

Dalam laporan Greenpeace Indonesia yang rilis pada 31 Mei, ditemukan setidaknya ada 20 perusahaan agen tenaga kerja Indonesia dan 26 perusahaan perikanan dari Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, Pantai Gading dan Nauru yang diduga melakukan praktik kerja paksa terhadap ABK Indonesia.

Dalam periode Mei 2019 hingga Juni 2020, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima 62 aduan terkait praktik perbudakan. Angka itu naik dari 34 aduan sepanjang Desember 2018-Juli 2019. Sementara itu ada 45 kapal yang dilaporkan melakukan praktik perbudakan, naik dari 13 kapal.

“Kelemahan regulasi di Indonesia dan tidak adanya perlindungan yang jelas terhadap ABK, dimanfaatkan oleh agen perekrut tenaga kerja merekrut tenaga kerja melalui praktek birokrasi yang koruptif,” kata juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, Afdillah.

Asri Bramita, mantan ABK dan pernah bekerja di perusahaan perekrutan ABK mengatakan banyak ABK Indonesia di kapal perikanan berbendera Taiwan dan Tiongkok melaut hanya berbekal buku pelaut bodong tanpa mengikuti prosedur yang benar yaitu mengikuti pelatihan basic safety training (BST).

"Banyak agen pengirim awak kapal ikan Indonesia tak memiliki izin," kata Bramita kepada Tirto, awal Juni lalu.

Bramita mengatakan permintaan atas ABK Indonesia di kapal ikan Taiwan sangat tinggi, pada tahun 2014 ABK Indonesia yang tercatat resmi di Taiwan sebesar 8.765. Namun, perkiraannya lebih dari 40 ribu ABK Indonesia di Kapal Taiwan yang beroperasi di laut lepas. Artinya sebagian besar ABK Indonesia tidak tercatat resmi. Para ABK ini banyak yang tergiur dengan iming-iming bonus besar di kapal asing tanpa mendapat penjelasan soal hak-hak pekerja.

Sementara itu Edwin Partogi dari LPSK membenarkan bahwa pelaku pelanggaran yang dilakukan perusahaan terus berulang, namun ia enggan menyebut nama perusahaannya. Berdasarkan temuan Tirto, PT Lakemba Perkasa Bahari pernah tersandung kasus pemalsuan dokumen pelaut yang diberangkatkan ke Trinidad Tobago pada 2015. Dalam pemeriksaan di Polda Metro Jaya, dari 10 calon ABK yang diberangkatkan, ternyata hanya satu yang memiliki dokumen asli. Sisanya palsu.

Ketua Umum SPPI Achdiyanto Ilyas Pangestu mengatakan kasus perbudakan ABK akan terus berulang bila penanganannya seperti pada kasus Kapal Long Xing 629. Ia berkata sampai saat ini kedua perusahaan resmi yang terlibat perbudakan tidak mendapat sanksi tegas dari Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan. Padahal dua kementerian ini yang memberikan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI).

Ketidaktegasan itu terbukti dengan kasus yang berulang. Ilyas berkata ada sembilan ABK lagi yang bernasib seperti ABK kapal Long Xing 629 baru-baru ini. Perusahaan yang merekrutnya adalah PT APJ, tapi mereka berangkat secara swadaya. Selain itu ada 155 ABK kapal Long Xing lainnya yang dipulangkan melalui Bitung dengan nasib seperti ABK kapal Long Xing 629, tapi Ilyas tak menjelaskan nama perusahaan yang merekrut dan memberangkatkan.

"Tujuan kami bukan menghukum orang tapi mengembalikan hak-hak korban lebih dulu,” tegas Ilyas. “Untuk apa menghukum orang jika korbannya belum mendapatkan hak-haknya."

Baca juga artikel terkait PERDAGANGAN ORANG atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Adi Renaldi