tirto.id - Kasus perdagangan orang di Indonesia tak menunjukkan adanya tanda-tanda penurunan. Dalam tiga tahun terakhir, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat 1.343 kasus TPPO. Sementara itu, Satgas TPPO Satker Bareskrim Polri dan Polda mencatat pada periode 5 Juni -1 September 2023 terdapat 830 laporan polisi dan 2.539 korban perdagangan orang yang berhasil diselamatkan.
SBMI menemukan adanya pergeseran modus-modus perdagangan orang seperti pengantin pesanan dan penipuan daring. Faktor kemiskinan, masih diyakini sebagai faktor utama tingginya angka perdagangan orang di Tanah Air.
Dengan tingginya angka laporan tersebut, Presiden Joko Widodo akhirnya resmi menerbitkan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN-TPPO) 2020-2024 pada 27 Februari 2023. Disusul dengan dibentuknya Satuan Tugas TPPO oleh Kapolri di bawah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) pada Juni 2023.
Kendati demikian, pembentukan satgas ini justru dinilai SBMI sebagai kegagapan dan ketergesaan pemerintah memerangi perdagangan orang.
Berikut petikan wawancara Tirto dengan Ketua SBMI Hariyanto pada Selasa (22/8/2023).
Apa penyebab perdagangan orang berdasar penelusuran SBMI?
Departemen Riset dan Komunikasi sudah menemukan faktor-faktor yang melatarbelakangi teman-teman (publik) terjerumus pada pusaran perdagangan orang, ternyata didasari kemiskinan, ekonomi, dan sebagainya.
Bahkan kami juga menjawab, bahwa sedang berkembang, membangun ekonomi komunitas berbasis koperasi di beberapa kabupaten dan desa, dalam rangka meningkatkan ekonomi para korban perdagangan orang yang sedang kami tangani. Secara garis besarnya, ke situ.
Dengan adanya kampanye, literasi kepada warga, tapi masih ada juga yang terjerat dengan modus perdagangan orang, selain kemiskinan, rendahnya pendidikan, apakah ada penyebab lain?
Itu sudah teridentifikasi lama, yaitu kemiskinan. Kami sudah katakan dengan tegas, perdagangan orang ini terstruktur dan masif. Itu disebabkan oleh kemiskinan. Kenapa kemiskinan? Pertama, soal informasi. Pemerintah belum mempunyai satu informasi yang menjadi rujukan kepada warga, misalnya cara bekerja ke luar negeri yang aman.
Kemudian informasi ini masih didominasi oleh pelaku yang mengedepankan bisnis daripada keselamatan manusia. Di sini ada kemiskinan akses informasi. Kedua, kemiskinan bagi korban untuk akses bantuan hukum. Tidak banyak korban yang berani melapor, tapi proses di kepolisian dsb menjadi kendala. Akhirnya korban lain malas melapor karena terlalu ribet, berbelit, dan tidak menguntungkan para korban.
Maka dalam pencegahan, seharusnya pemerintah menggunakan kekuatannya dalam mengonsolidasi sampai level desa. Bagaimana pemerintah menyiapkan platform informasi berbasis desa yang mudah diakses oleh masyarakat.
Kemudian soal infrastruktur. Misalnya informasi sudah ada, tata kelola migrasi yang aman harus seperti ini. Tapi kami masih lihat, misalnya Nusa Tenggara Barat Timur, untuk migrasi prosedural itu sangat mahal, panjang. Ini yang menyebabkan teman-teman (publik) memilih jalur tak sesuai prosedur; di situ ada calo, ini menjadi salah satu indikator memanfaatkan kerentanan. Sampai hari ini (cara itu) masih jadi pilihan masyarakat.
Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, sampai hari ini bisa dihitung dengan jari. PTSA sebagai mekanisme pemangkasan birokrasi penempatan pekerja migran yang panjang. Adapun (daerah) yang sudah membentuk PTSA terkendala dengan sumber daya manusia. Karena sumber daya manusianya belum bisa memberikan pelayanan responsif gender, berprinsip HAM, ini juga masih jadi tantangan terberat dalam membangun tata kelola migrasi yang baik.
Lalu (perihal) kebijakan. Kebijakan yang dibangun oleh Indonesia, misalnya kita sudah mempunyai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, ternyata itu belum bisa menjamin pekerja migran dari desa kembali ke desa. Masih banyak celah yang dimanfaatkan para pelaku untuk menempatkan secara tak prosedural. Lalu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, secara prinsip bagus, pelibatan masyarakat jelas, tahapan penanganan kasus perdagangan orang juga jelas. Tapi persoalannya adalah korban merasa jenuh dan pelan-pelan meninggalkan proses hukum karena korban tak mendapat restitusi, lantaran disebabkan oleh undang-undang itu.
Apabila pelaku tak bisa membayar restitusi kepada korban, maka bisa diganti subsider kurungan, sepertiga dari keputusan hakim. Ini menjadi penyebab korban kehilangan kepercayaan untuk melapor kepada kepolisian.
Apa saja modus perdagangan orang? Apakah ada pergeseran modus atau modus baru yang wajib diwaspadai?
Sangat beragam modusnya. Umumnya, yang melatarbelakangi adalah iming-iming gaji besar, kerja enak. Modus itu terjadi bertahun-tahun hingga hari ini. Tapi ada pergeseran modus, misalnya tahun 2019-2020, perdagangan orang bermodus pengantin pesanan.
Dahulu dibangun opini bahwa pengantin pesanan adalah kawin kontrak. Kami berhasil investigasi untuk membedakan pengantin pesanan dan kawin kontrak.
Pengantin pesanan, ada pola-pola perekrutan yang sangat terstruktur. Misalnya ada "Mak Comblang". Ada mak comblang di DKI Jakarta yang khusus mengurus dokumen keberangkatan; Mak Comblang di provinsi khusus mengurus perkawinannya; Mak Comblang di kabupaten yang mengurus perekrutan. Modus pengantin pesanan seperti itu, sama saja ada iming-iming.
Kemudian terjadi eksploitasi, bahwa tidak semua pengantin pesanan betul-betul seperti layaknya orang menikah. Misalnya di Cina, itu dipekerjakan tapi gajinya diambil oleh mertuanya. Kemudian ada juga yang jadi budak seks, dipaksa mengonsumsi obat-obatan terlarang. Fenomena terakhir, ada yang menjadi kurir narkoba.
Modus lain yaitu menggunakan modus penipuan daring. Menariknya, korban perdagangan orang tidak bisa dikatakan berpendidikan rendah, berasal dari desa, karena fakta-fakta terbaru korbannya lulusan S1 dan S2. Modusnya yaitu memanfaatkan sulitnya mengakses pekerjaan pasca COVID-19. Kemudian mereka ditawarkan bekerja sebagai operator di Thailand dengan gaji besar, misalnya. Tapi faktanya malah dikirim ke Myanmar dan Kamboja. Ini modus lama yang jadi fenomena, ternyata perdagangan orang tidak lagi menyasar aspek pendidikan dan gender, melainkan kerentanan manusia.
Kerentanan manusia tidak bisa diukur dengan tinggi-rendahnya pendidikan, tapi kerentanan diukur berdasar situasi-situasi tertentu. Ada kerentanan yang disebabkan oleh keluarga, sosial, atau tidak mendapatkan akses pekerjaan di dalam negeri.
Korban banyak berasal dari daerah mana? Lalu negara mana saja yang terbanyak menerima korban perdagangan orang?
Ada 25 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) bermodus pengantin pesanan yang tercatat Serikat Buruh Migran Indonesia sepanjang 2017 hingga Mei 2020. Dari 25 kasus tersebut, 18 korban di antaranya sudah berhasil dipulangkan, dua berada di KJRI Shanghai, empat masih bersama suami. Dan ada satu korban telah meninggal dunia karena keterlambatan negara memberikan pelindungan.
Sementara berdasarkan daerah asal, Kalimantan Barat menjadi provinsi terbanyak dengan laporan kasus pengantin pesanan dengan sembilan kasus, disusul DKI Jakarta dengan tujuh kasus, dan Jawa Barat empat kasus.
Sementara untuk keseluruhan kasus TPPO, Nusa Tenggara Barat menjadi pengadu kasus perdagangan orang terbanyak sepanjang tiga tahun terakhir dengan jumlah 461 kasus; Jawa Barat dengan 273 kasus, Jawa Timur dengan 110 kasus, Jawa Tengah 90 kasus dan di 25 provinsi lainnya di Indonesia.
Berdasar tujuan negara dari kasus perdagangan orang, Polandia menjadi tujuan tertinggi dalam tiga tahun terakhir yakni 364 korban. Disusul Arab Saudi (220 korban), Kamboja (212 korban), Malaysia (105 korban), Taiwan (92 korban) dan korban-korban yang ditempatkan di 38 negara lain.
Bagaimana kerja sama dengan pemerintah? Apakah ada kendala spesifik?
Dalam aspek penegakan hukum, kami banyak melaporkan kasus perdagangan orang kepada kepolisian. Dalam konteks perdagangan orang, secara kuantitatif turun. Bukan karena tidak ada kasus, tapi tidak banyak yang melapor kepada kepolisian. Tapi secara angka, besar (kasus meningkat). Dua tahun terakhir, yang kami identifikasi, ada 600 sekian kasus. Itu memenuhi tiga unsur perdagangan orang. Yang berhasil kami laporkan itu nol koma sekian persen kepada kepolisian.
Jadi perdagangan orang secara kuantitatif turun, tapi secara kualitatif naik. Secara kekuatan kasusnya itu naik dengan modus-modus baru. Secara angka turun dalam kepolisian, kenapa kasus-kasus itu turun di kepolisian? Pertama, soal perspektif penegak hukum, yang sampai hari belum jelas bagaimana mekanisme penegakan terhadap korban perdagangan orang.
Seringkali penyidik menyalahkan korban. Misalnya korban perempuan, disalahkan kenapa mau (terjerat iming-iming); kalau laki-laki, (disalahkan) kenapa tidak melawan dan sebagainya; kalau korban pelecehan seksual, pertanyaan (polisi) menjurus kepada trauma yang berulang. Ini yang menyebabkan korban perdagangan orang enggan melaporkan kepada polisi.
Kedua, aparat penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa, adalah penyidik yang "bermain-main" dengan hukum, penyidik juga meminta uang kepada pelaku. Data-data ini sudah kami konfirmasi, kami kumpulkan dengan baik. Maka kasus penegakan hukum menjadi lambat dan panjang, karena banyak penyidik yang "bermain". Ketiga, masih banyak pelaku perdagangan orang yang dikategorikan orang terdekat korban, misalnya keluarga, saudara, bapak-ibu, saudara kandung yang teridentifikasi.
Kenapa keluarga menjadi korban? Berdasar penelusuran kami, memang dimanfaatkan oleh pelaku dengan menggunakan jeratan utang. Pelaku memberi duit kepada keluarga calon korban untuk menyetujui anaknya, saudaranya, untuk berangkat ke luar negeri. Ketika sudah menjadi korban, seringkali itu dijadikan alat oleh pelaku, "Kalau kamu melapor maka bapak/ibu/saudaramu akan terlibat dalam proses perekrutan ini."
Maka kami telah sampaikan kepada para korban bahwa bapakmu (keluarga) bukan sebagai pelaku, tapi jadi korban juga. Untuk menutupi kasus, mencabut surat kuasa, melarang melapor, karena bapakmu diintimidasi oleh pelaku.
Kalau pemerintahan, kita bisa lihat kegagapan pemerintah memerangi perdagangan orang dengan tergesa-gesa, sporadis mengubah Gugus Tugas TPPO dari Kementerian PPA ke Kapolri yang sekarang dipegang oleh Mahfud MD. Kemudian restrukturisasi Satgas TPPO. Ini menunjukkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, pemerintah mengabaikan perdagangan orang.
Koridor hukum harus jelas, tindak pidana perdagangan orang tidak hanya identik dengan kurungan penjara dan tidak identik dengan penempatan tak sesuai prosedur. Perdagangan orang tak boleh hanya menyasar perizinan; perdagangan orang itu adalah rangkaian proses, cara, dan tujuan eksploitasi, jika salah satu (unsur) tidak terbukti bukan TPPO. Maka kami menyampaikan kepada pemerintah, kembalikan kepada koridor hukum yang tepat, di situ ada hak korban yang tidak boleh dikesampingkan.
Terkait tak sesuai prosedur, apa yang dilakukan oleh SBMI agar korban bisa kembali ke Indonesia?
Kami punya perspektif berbeda. Memang agak rumit, cara pandang pemerintah juga salah. Seringkali penerapan undang-undang yang disematkan kepada pekerja migran hanya berbasis Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017.
Namun kami menekankan bahwa setiap warga negara Indonesia, entah itu pekerja migran, pelajar, mahasiswa dan sebagainya, memiliki (diatur) dalam Undang-Undang Hubungan Luar Negeri. Indonesia memiliki Undang-Undang Hubungan Luar Negeri Nomor 37 Tahun 1999, yang diturunkan melalui Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 5 Tahun 2018.
Dalam penerapan undang-undang ini, maka perwakilan Republik Indonesia, pemulangan tidak boleh jadi korban dahulu. Konteks sekarang, pemulangan itu harus jadi korban perdagangan orang lebih dahulu, kemudian punya anggaran untuk pemulangan. Ini perspektif yang salah. Karena Undang-Undang Hubungan Luar Negeri adalah setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan perlindungan dari negara, bahkan ketika di sana terjadi wabah penyakit, dan lain-lain. Maka pemerintah harus memulangkan dengan biaya negara.
Oleh sebab itu kami mendorong perspektif perlindungan warga negara Indonesia. Pemulangan saja tidak cukup, tapi perlu membangun untuk mengantisipasi tata kelola dalam negeri. Ini yang kami rasa sampai hari ini sangat sulit.
Bagaimana SBMI menyorot media sosial dijadikan "keranjang" untuk menyasar calon korban?
Digitalisasi ini seperti dua mata pisau yang tajam. Pertama, dengan digital ini, dalam konteks ASEAN dan global misalnya, adalah alat penyebarluasan informasi migrasi aman. Sisi lain, digital sebagai alat yang menjerumuskan orang-orang masuk pada praktik perdagangan orang. Masalahnya, digitalisasi ini tak bisa dihentikan, semua orang bebas untuk menyebarkan informasi terkait lowongan pekerjaan yang tidak tervalidasi melalui medsos.
Karena fenomena ini tidak terbendung, kemudian pemerintah juga tidak bisa mengatasi informasi tidak valid ini, maka pemerintah harus bisa melawan dengan memanfaatkan medsos untuk menyebarkan informasi tandingan. Misalnya, pemerintah membuat informasi soal perusahaan-perusahaan yang berizin dan tidak berizin; soal negara-negara yang boleh menempatkan pekerja migran. Platform-platform medsos ini yang hari ini tidak digunakan pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah juga menyalahkan karena (pekerja) berangkat tak sesuai prosedur dsb, tanpa mengevaluasi kesalahan mekanisme, apa yang menjadi penyebab masyarakat masuk dalam jerat perdagangan orang.
Apa yang harus diputus dari alur perdagangan orang?
Ini tidak berdiri sendiri. Ada konteks pencegahan, penindakan, pemulihan korban. Pencegahan yang hakiki adalah soal sosialisasi. Tapi bagi saya, pencegahan yang berdampak pada penjeraan adalah pencegahan berbasis penegakan hukum yang tegas.
Pencegahan untuk sosialisasi itu bagus, tapi yang hari ini harus dilakukan pemerintah adalah tunjukkan kepada para aktor intelektual perdagangan orang bahwa hukum di Indonesia tidak bisa dipermainkan; kemudian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 betul ditegakkan; beri keadilan kepada korban; tunjukkan kepada publik kalau menjadi pelaku perdagangan orang bahwa sanksinya adalah pemenjaraan; sanksi soal; pemailitan harta.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri