Menuju konten utama
Expose

Mail-Order Bride: Mengungkap Modus Lain Perdagangan Orang

Jaringan TPPO dengan modus ini beroperasi mulai dari tingkat kelurahan/desa hingga di kantor imigrasi.

Mail-Order Bride: Mengungkap Modus Lain Perdagangan Orang
Header Indepth Perbudakan Seks. tirto.id/Ecun

tirto.id - Orang menyebutnya praktik pengantin pesanan, tapi dalam istilah lain disebut ‘mail-order bride’. Ini merupakan pernikahan melalui sistem perantara atau 'mak comblang' yang tidak lazim. Dalam praktiknya melibatkan banyak pihak dan tentunya lewat rekayasa dan ada banyak keganjilan-keganjilan lain.

Mereka yang terlibat dalam praktik ini, modusnya menyiasati perkawinan perempuan Indonesia dengan orang asing. Para mendonan itu order perempuan Indonesia, dikawini, lalu diajak keluar negeri. Cara-cara nakal pun ditempuh, misalnya memalsukan dokumen-dokumen, dari akta nikah hingga surat pindah agama. Jaringannya beroperasi dari pusat hingga ke desa-desa.

Korban diiming-imingi hidup enak, fulus banyak, dan beragam fasilitas 'wah' lainnya. Namun ibarat pepatah "untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak", alih-alih mendapatkan hidup layak, para korban justru mendapat sederet penyiksaan: kekerasan fisik dan verbal, perbudakan seks, penyekapan, penyitaan dokumen, hingga dipaksa bekerja tanpa upah.

Menurut laporan Serikat Buruh Migran, kasus pengantin pesanan ini tergolong sebagai kejahatan transnasional yang mengancam keamanan global mengingat banyaknya pihak terlibat di lapangan secara terselubung dan terstruktur.

Pihak-pihak yang terlibat seperti biro perjalanan/agen, makelar/calo, konsumen (pihak pria), pengantin wanita, dan juga oknum pemerintah yang berkontribusi terhadap kasus ini tidak hanya berasal dari satu negara, melainkan melewati batasan wilayah negara. Kasus ini pun beralih dari upaya mendapatkan keuntungan dengan menjodohkan dua pihak yang berbeda negara menjadi modus perdagangan manusia.

Selama ini korban pengantin pesanan dari Indonesia juga dinarasikan sebagai perempuan-perempuan beretnis Tionghoa, memiliki tingkat pendidikan rendah, dan berangkat ke Cina dengan alasan ekonomi.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional SBMI Hariyanto berkata masalah warga negara Indonesia menjadi korban perdagangan orang, termasuk menjadi pengantin pesanan, ialah kemiskinan.

“Perdagangan orang ini terstruktur dan masif, disebabkan kemiskinan,” ucap dia kepada Tirto, Selasa (22/8/2023).

Penyebabnya, pemerintah belum memiliki rujukan informasi ihwal cara bekerja aman di luar negeri. Informasi ini masih didominasi oleh para pelaku yang mengedepankan bisnis ketimbang keselamatan manusia.

“Ada kemiskinan dalam akses informasi. Kedua, ada kemiskinan bagi korban untuk mengakses bantuan hukum.”

Infografik Pengantin Pesanan China Revisi

Infografik Pengantin Pesanan China. tirto.id/ecun

Banyak korban melapor pada polisi, tapi dianggap sepele sebab dianggap masalah rumah tangga biasa. Itu membuat korban lainnya enggan mengadu. Padahal ada sejumlah indikator yang dapat menentukan suatu kasus masuk kategori tindak pidana perdagangan orang, antara lain: penahanan dokumen, penipuan, pemalsuan dokumen hingga kekerasan.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia (PWNI dan BHI) Kementerian Luar Negeri Joedha Nugraha berpendapat “pengantin pesanan” ini mengacu kepada rujukan Palermo Protocol yang diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang menentukan apakah ada unsur seseorang menjadi korban perdagangan orang atau tidak. Unsur tersebut adalah tindakan, cara, dan tujuan.

Untuk cara, kata Joedha, ada proses penipuan. Seperti informasi apa yang akan calon korban dapatkan jika ikut serta dalam program penuh iming-iming itu. Ada proses eksploitasi, bahkan kesepakatan yang tak ditepati. Bagi Cina, kasus Arum dan para “pengantin” ialah problem rumah tangga biasa. Sementara bagi Indonesia, masalah itu merupakan salah satu bentuk perdagangan orang. Perbedaan pandangan ini juga menjadi kendala penyelesaian.

“Upaya-upaya kami lakukan. Upaya diplomasi dalam berbagai level, seperti di KBRI, tingkat pusat, bahkan Menteri Luar Negeri langsung menyampaikan kepada pihak Cina agar kasus-kasus ini bisa ditangani,” kata dia kepada Tirto, Jumat (1/9/2023).

Kasus Arum merupakan satu dari 25 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) bermodus pengantin pesanan yang tercatat Serikat Buruh Migran Indonesia sepanjang 2017 hingga Mei 2020.

Dari 25 kasus tersebut, 18 korban di antaranya sudah berhasil dipulangkan, dua berada di KJRI Shanghai, empat masih bersama suami. Dan ada satu korban telah meninggal dunia karena keterlambatan negara memberikan pelindungan.

Sementara berdasarkan daerah asal, Kalimantan Barat menjadi provinsi terbanyak dengan laporan kasus pengantin pesanan dengan sembilan kasus, disusul DKI Jakarta dengan tujuh kasus, dan Jawa Barat empat kasus.

Darurat TPPO

Tahun 2020, SBMI menerbitkan laporan situasi perdagangan orang di Indonesia ‘Jeratan Perdagangan Orang Dalam Bisnis Penempatan Buruh Migran Indonesia: Mengungkap Praktik Perdagangan Orang dalam Bisnis Penempatan Buruh Migran Indonesia’ [pdf] yang mengungkap masalah sektor pekerjaan awak kapal perikanan migran, pengantin pesanan, dan pekerja rumah tangga.

Total aduan yang didokumentasikan selama periode 2010 hingga 2020 sebanyak 2.597 kasus. Secara umum, terdapat tiga kelompok yang paling rentan mengalami eksploitasi, perbudakan dan diskriminasi,dan permasalahan ganda yaitu Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebesar 58,5 persen (1.519 kasus); Anak Buah Kapal (ABK) Perikanan sebesar 11,1 persen (288 kasus); dan Pengantin Pesanan sebesar 0,1 persen (25 kasus). Adapun sebesar 29,3 persen aduan (765 kasus) berasal dari sektor lainnya.

Sementara pada 2020 hingga Juni 2023, SBMI telah mendokumentasikan 1.343 kasus TPPO. Setelah dianalisis, kasus yang telah memenuhi tiga unsur perdagangan orang yakni proses, cara, dan tujuan, sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT) masih menjadi klaster korban TPPO terbanyak yakni 362 kasus.

Sektor pekerjaan lainnya yang mengikuti yaitu dengan modus penipuan daring (279 kasus), peternakan (218 kasus), buruh pabrik (193 kasus), awak kapal perikanan migran (153 kasus) dan diikuti oleh sektor pekerjaan lainnya. Tiga tahun terakhir, SBMI melihat korban-korban TPPO tertinggi dialami oleh laki-laki (882 korban) dan perempuan (461 korban).

Jika melihat kembali pada data keseluruhan kasus yang dimiliki oleh SBMI, perempuan tetap menjadi sektor paling rentan. Peningkatan korban laki-laki disebabkan naiknya kasus penipuan daring yang lebih banyak menjerat korban laki-laki dan juga kenaikan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) gagal berangkat yang diindikasikan korban TPPO.

Lantas daerah dengan kasus terbanyak antara lain Nusa Tenggara Barat, menjadi pengadu kasus perdagangan orang terbanyak sepanjang tiga tahun terakhir dengan jumlah 461 kasus; Jawa Barat dengan 273 kasus, Jawa Timur dengan 110 kasus, Jawa Tengah 90 kasus dan di 25 provinsi lainnya di Indonesia.

Berdasar tujuan negara dari kasus perdagangan orang, Polandia menjadi tujuan tertinggi dalam tiga tahun terakhir yakni 364 korban. Disusul Arab Saudi (220 korban), Kamboja (212 korban), Malaysia (105 korban), Taiwan (92 korban) dan korban-korban yang ditempatkan di 38 negara lain.

Begitu juga dengan data yang dikeluarkan oleh International Organization for Migration (IOM), berdasar penelusuran IOM provinsi asal dengan kasus tertinggi adalah Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. Perinciannya, 42 kasus di Jawa Barat (2018); 30 kasus di Jawa Barat (2019).

Lalu ada 44 kasus di Nusa Tenggara Timur (2000); ada 25 kasus di Jawa Barat (2021) dan 51 kasus di Jawa Barat (2022). Adapun daerah lima besar adalah Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Untuk itu, sebagai upaya pencegahan, IOM melakukan beberapa hal.

“IOM Indonesia secara rutin melakukan peningkatan kesadaran dan kampanye tentang migrasi yang aman untuk mencegah di kalangan masyarakat umum, pemerintah, pekerja migran dan calon migran pekerja, dan kelompok rentan lainnya,” tutur Chief of Mission IOM Indonesia Jeffrey Labovitz, dalam keterangan tertulis kepada Tirto, Senin (28/8/2023).

IOM juga melakukan kegiatan peningkatan kapasitas dan kampanye publik dengan cakupan yang luas kepada berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat, desa, pemuka agama, dan anggota masyarakat lainnya.

Menggugat Peran Negara

Merujuk data Januari-Agustus 2023 ini, Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Sosial Romal Sinaga berkata pihaknya memberikan layanan terhadap 621 orang korban perdagangan orang dan Pekerja Migran Bermasalah Sosial. Sementara di tahun-tahun sebelumnya, pihaknya juga telah menangani ribuan korban perdagangan orang.

“Kami memberikan layanan mulai dari rehabilitasi, pembinaan kesejahteraan, psikologis, hingga pelatihan vokasional dan kewirausahaan melalui Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) dan Sentra/Sentra Terpadu/Balai Besar yang tersebar pada 37 titik di seluruh Indonesia,” ujar dia kepada Tirto, Rabu (23/8/2023).

“Memang tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu akar permasalahan perdagangan orang adalah kemiskinan, sehingga Kemensos terus melakukan upaya-upaya yang komprehensif dalam memberdayakan ekonomi keluarga korban perdagangan orang, sehingga mereka bisa mandiri secara ekonomi dan tidak mudah terpengaruh atas janji-janji manis bekerja di luar negeri,” lanjut Romal.

Kementerian Sosial juga menyiapkan infrastruktur yang mendukung ekonomi warga di wilayah sekitar tempat tinggal. Seperti pada Juli 2023 di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, yang memiliki angka perdagangan orang yang cukup tinggi, kementerian mendirikan saluran irigasi modern dan instalasi air bersih sehingga warga terbantu dan memiliki aktifitas ekonomi, mereka bisa bertani dan keperluan air bersih terpenuhi.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di sisi lain, membentuk Satuan Tugas Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang sejak 4 Juni 2023. Hal ini menindaklanjuti instruksi Presiden Joko Widodo soal Polri harus memberantas para pelindung pelaku perdagangan orang. Satgas ini dipimpin Wakabareskrim Irjen Pol Asep Edi Suheri dan wakil satgas Kakorbinmas Baharkam Polri Irjen Pol Hary Sudwijanto.

“Tujuan (pembentukan) agar perdagangan orang di Indonesia tidak ada lagi, dihilangkan, dan melindungi warga negara Indonesia menjadi korban,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan, ketika ditemui Tirto, Senin (28/8/2023). Meski ada satgas-satgas serupa, Korps Bhayangkara tetap bersinergi untuk mengusut kasus tersebut.

Berdasar penelusuran satgas, lima provinsi terbesar yang menjadi daerah asal perdagangan orang yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Modus terbanyak adalah menjadi pekerja migran.

Berikut data Satgas TPPO Satker Bareskrim Polri dan Polda jajaran periode 5 Juni -1 September 2023: 830 laporan polisi, 2.539 korban perdagangan orang yang berhasil diselamatkan, 974 tersangka; sementara modus terbanyak ialah pekerja migran/PRT (520 kasus), anak buah kapal (7 kasus), pekerja seks (254 kasus), dan eksploitasi anak (69 kasus).

Kepolisian memastikan bakal terus menindak para pelaku perdagangan orang, termasuk dalam perkara pengantin pesanan. Untuk itu, Polri berharap peran serta masyarakat.

“Kerja sama dengan masyarakat yang paling kecil adalah menginformasikan kepada aparat adanya potensi perdagangan orang,” jelas Ramadhan.

Terpisah, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri juga menyebut tengah berupaya meningkatkan kesadaran publik agar tak menjadi korban, misalnya sosialisasi agar masyarakat tak mudah terbujuk rayu ketika mendapatkan tawaran oleh warga Cina, apalagi dijanjikan hidup enak; jangan silau dengan tawaran bersifat materi dan bujuk rayu apa pun.

Publik bisa segera melaporkan modus-modus itu kepada pemerintah atau aparat penegak hukum. Kementerian Luar Negeri pun bekerja sama dengan Polri untuk bisa menuntaskan perkara perdagangan orang, apa pun modusnya.

"Langkah pencegahan jauh lebih penting ketimbang kuratif, oleh karena itu pemahaman masyarakat terkait modus perdagangan orang itu menjadi kunci utama," pungkas Joedha.

Baca juga artikel terkait PENGANTIN PESANAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri