tirto.id - Beberapa waktu lalu, Menteri Penanggung Jawab Olimpiade, Yoshitaka Sakurada didesak untuk meminta maaf kepada seluruh masyarakat Jepang karena terlambat tiga menit dalam sebuah rapat parlemen.
Melansir dari BBC, Dia juga didesak mundur karena beberapa perilaku yang dianggap tidak layak sebagai seorang anggota parlemen.
Hal ini bukan terjadi untuk pertama kalinya di Jepang. Tidak hanya tokoh publik, layanan publik, pegawai perkantoran, dan institusi-institusi di Jepang sangat mencela keterlambatan. Atau lebih tepatnya, ketidaktepatan waktu.
Pada Mei 2018, perusahaan kereta api di jepang JR-Railways meminta maaf karena tiba 25 detik lebih awal dari yang dijadwalkan, dan karenanya seorang penumpang ketinggalan kereta.
“Kami sangat mengecewakan kostumer kami, dan kami berjuang untuk mencegah agar ini tidak terjadi lagi,” kata pihak JR West kepada Koran Asahi, seperti dikutip Asia One.
Ketepatan waktu adalah hal yang sangat penting bagi orang Jepang dan dianggap sebagai salah satu patokan sopan santun. Mereka diajarkan untuk tepat waktu sejak kecil.
“Orang tua ku selalu mengatakan pada ku bahwa penting untuk tidak terlambat, untuk berpikir bahwa oran aka merasa tidak nyaman karena aku terlambat dari yang telah dijadwalkan, dan aku menempatkannya pad situasi sulit,” kata Issei Izawa, seorang mahasiswi seperti dilansir South China Morning Post.
Kisah serupa juga dialami oleh Kanako Hosomura, seorang ibu rumah tangga di Prefektur Saitama, yang benci jika terlambat, meskipun hanya beberapa menit.
“Saya sangat mending untuk datang lebih awal dari janji karena itu lebih baik daripada membuat seseorang menungguku,” katanya. Sebaliknya, dia tidak sudi menunggu teman yang terlambat membuat yang lain merasa tidak nyaman.
Karakter masyarakat Jepang yang sangat mengagungkan ketepatan waktu adalah hal menyenangkan untuk di bahas bagi masyarakat dunia, dan dianggap sebagai sebuah kebudayaan bangsa Jepang itu sendiri.
Ketepatan Waktu Berpengaruh Terhadap Perekonomian
Namun, sebenarnya ketepatan waktu berpengaruh kepada perekonomian. Pekerja Inggris yang terlambat merugi sebesar 9 miliar euro (atau sekitar 11,7 miliar dolar AS), dari laporan singkat Heathrow.
Lebih dari setengah orang yang di survei dalam laporan tersebut terlambat kerja dan pertemuan biasa.
Sama dengan di Amerika Serikat, keterlambatan juga menjadi sebuah momok. Di New York, pekerja yang terlambat merugikan daerah sebesar 700 juta dolar AS, sedangkan California merugikan daerah sebesar 1 miliar dolar AS di tahun 2018 seperti dilaporkan Inc Magazine.
Menurut laporan tersebut, keterlambatan menyebabkan pekerja menjadi kurang produktif di tempat kerja dan hal tersebut menghambat pencapaian perusahaan.
Selain dirinya sendiri, pekerja yang terlambat juga membuat kinerja tim menjadi kurang produktif.
Dari mana Jepang Memulai Budaya Tepat Waktu?
Sebuah penelitian yang dilakukan Takehiko Hashimoto dari Universitas Tokyo, yang melakukan penelitian dengan mempelajari catatan seorang Belanda, Willem Van Kettendyke yang mengunjungi Jepang pada masa Edo (1603-1868).
Dalam catatannya, Kattendyke menggambarkan bagaimana sistem waktu Jepang yang sangat sederhana, dan kesopanan orang-orang Jepang.
Salah satu hal yang mengecewakan adalah bagaimana warga Jepang tidak paham dengan waktu.
Berbeda dengan jam tetap, waktu di Jepang dibagi menjadi 6 partisi yang disebut “koku”, yang mana setiap bagian waktu ditandai dengan dengan pemukulan gong di beberapa titik dalam sebuah wilayah.
Pada era restorasi Meiji (1868-1912) tepatnya tahun 1873, Jepang menerima sistem Jepang ala Barat, dan melakukan akulturasi (perpaduan budaya asing dan lokal) terhadapnya.
Jepang mulai mengenal sistem 24 jam ala Barat. Namun, sistem yang kemudian diberi nama “watokei” tersebut menggunakan penomoran Cina.
Mungkin, penemuan sistem jam di Barat pada abad ke-15 mengubah kultur di Eropa, namun, pengenalan sistem Jepang terhadap sistem jam pada akhir abad ke-16 tidak cukup mengubah kultur di Jepang, namun paling tidak membuat masyarakat Jepang pada waktu itu lebih mengenal waktu.
Restorasi Meiji adalah era yang mengubah segala-galanya di Jepang. Dalam periode ini lah masyarakat Jepang mulai mengembangkan budaya tepat waktu.
Pada era ini diterapkan beberapa hal seperti sistem pendidikan, penanaman moral, dan program pemerintah membentuk masyarakat jepang untuk disiplin dalam waktu.
Era Meiji mengakhiri era samurai di Jepang dan banyak Samurai (militer pada zaman itu) beralih profesi menjadi guru karena sistem shogun (sistem feodal dimana tuan tanah yang mempekerjakan Samurai memegang kendali) telah dilarang.
Arahan dari Menteri Pendidikan Jepang mengharuskan siswa datang 10 menit sebelum pelajaran dimulai setiap harinya, dan jika tidak mereka akan menerima hukuman atas keterlambatan dari guru mereka yang mantan samurai. Hal tersebut membantu mengajarkan ketepatan waktu pada generasi baru.
Era Meiji juga masa dimana modernisasi Jepang dimulai. Masyarakat Jepang mengubah pakaian mereka, sistem kesehatan dan pendidikan, tari-tarian, kesenian, arsitektur, makanan, dan lukisan semuanya mulai mengadopsi kultur Barat seperti Amerika dan Eropa.
Mereka mulai menerapkan sistem waktu 7/24 jam ala Barat dan hari dibagi menjadi 24 jam. Menit dan detik juga mulai diperkenalkan.
“Sejak itu, melalui pendidikan, sosial, dan sistem militer, masyarakat Jepang mulai belajar tepat waktu. Terlebih lagi, pada Era Meiji, orang-orang mulai memakai jam mekanik,” kata Mashashi Abe, profesor multikultural dari Waseda Institute for Advanced Studies (WIAS) seperti dilansir IEA.
Propaganda “Waktu adalah uang” dan nasionalisme, yang salah satunya mengharuskan tepat waktu dalam rangka menghormati orang lain juga membentuk masyarakat Jepang disiplin terhadap waktu. Ketepatan waktu orang Jepang sering menjadi bahasan di mana-mana.
Karena sudah tertanam sejak masa sekolah, hal tersebut terbaa hingga dunia kerja. Untuk mendapatkan reputasi buruk di Jepang cukup mudah, tinggal datang terlambat.
Rekor terlambat pada siswa Jepang juga menjadi catatan buruk yang memengaruhi penilaian universitas.
Hukuman sosial turun temurun semacam itu, telah berhasil melanggengkan penanaman ketepatan waktu bagi masyarakat Jepang di era modern.
Editor: Yandri Daniel Damaledo