tirto.id - Butuh waktu dua tahun bagi Kourosh Yaghmaei untuk membikin album Malek Jamshid. Ia bekerja di tengah keterbatasan, dari segi peralatan hingga finansial. Namun, yang miris, ia butuh waktu lama lagi—sekitar 12 tahun—agar albumnya bisa dirilis ke pasar.
Penyebabnya bukan seret dana atau kesulitan mendapatkan label, melainkan sistem sensor pemerintah Iran yang melarang peredaran musik rock.
Di Iran, musisi harus mengajukan izin setiap hendak merilis album. Izin mudah didapat jika album dirasa aman. Sebaliknya, apabila album bersangkutan dianggap melenceng dari norma sosial, jangan harap pemerintah memberi izin—dan inilah yang terjadi pada Yaghmaei.
“Kamu tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya saya secara emosional, keuangan, maupun kejiwaan selama bertahun-tahun,” kata Yaghmaei, sebagaimana ditulis dalam artikel Noisey yang berjudul “From National Star to Enemy of the State: Iranian Rock Pioneer Kourosh Yaghmaei Fights On.”
Yaghmaei adalah rock star pada masanya. Ia meletakan fondasi musik cadas Iran lewat permainan gitar ala surf rock yang dibalut dengan warna psychedelic dan lirik-lirik yang terinspirasi puisi Persia abad 11. Tapi, status Yaghmaei seketika berubah seperti pesakitan usai Revolusi 1979.
Dari yang semula rock star, Yaghmaei dicap sebagai musuh negara. Ia dilarang tampil di publik, musiknya tak boleh diperdengarkan, dan kebebasannya dibungkam. Apa yang terjadi pada Yaghmaei merupakan gambaran Iran saat itu manakala Revolusi 1979, yang berawal dari gerakan untuk melengserkan Shah, nyatanya justru jadi alat perang bagi pemerintah untuk melibas siapa saja yang dicap membangkang terhadap kepemimpinan Ayatollah Khomeini dan Republik Islam.
Musik Tidak Penting
Selain film, musik merupakan produk budaya yang kena imbas adanya revolusi. Pada era kepemimpinan Shah musik dipandang sebagai cara untuk jadi modern. Setelahnya, pada masa Khomeini, musik dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan berpotensi merusak generasi muda Iran.
Tak lama selepas revolusi, pemberlakuan larangan terhadap musik Barat—pop dan rock—segera diberlakukan. Muncul pembatasan (atau pelarangan) terhadap penyanyi perempuan, konser, kelas musik, siaran radio dan televisi yang menyajikan lagu-lagu Barat.
Sebagai gantinya, mengutip studi Somayeh Ghazizadeh bertajuk “Cultural Changes of Iranian Music after Islamic Revolution” (PDF, 2011), rezim Khomeini mempromosikan musik religi dan musik tradisional yang didasarkan atas interpretasi puisi-puisi penyair kuno macam Hafiz, Sa'adi, Khayyam, dan Ferdowsi.
Namun, keinginan untuk menikmati musik pop dan rock justru makin berkobar. Larangan tak membuat masyarakat Iran, khususnya anak-anak muda, takut mendengarkan musik Barat. Mendengarkan musik justru dianggap sebagai cara melawan rezim.
Di tengah kebijakan larangan musik Barat pada 1980-an, kaset-kaset musik Barat tetap diproduksi dan didistribusikan lewat pasar gelap oleh para warga Iran yang tinggal di luar negeri—terutama mereka yang pindah ke Los Angeles dan New York.
Ada alasan mengapa distribusi dan produksi kaset umumnya berasal dari dua kota di AS itu. Mengutip Sarah Auliffe dalam “Popular Music and Memory Construction in Iranian Diasporic Contexts” (PDF, 2011), baik Los Angeles maupun New York menawarkan ruang untuk kebebasan berpikir, berkreasi, serta mobilitas sosial yang tinggi. Di mata para diaspora Iran, hal tersebut merupakan kemewahan yang sulit dijumpai di kampung halaman.
Keberanian masyarakat Iran untuk mendengar musik Barat ditanggapi dengan berani pula oleh aparat. Seringkali aparat melakukan razia. Mereka yang tertangkap didenda atau dipenjara.
Kondisi perlahan berubah usai berakhirnya Perang Iran-Irak (1988) dan kematian Khomeini (1989). Sesaat sebelum meninggal, Khomeini mengeluarkan fatwa yang isinya mengesahkan penjualan dan pembelian alat-alat musik selama tujuannya jelas dan tak melanggar hukum.
Pada 1997, Muhammad Khatami terpilih sebagai presiden Iran. Pemerintahannya melonggarkan pembatasan musik. Birokrasi perizinan untuk konser dipermudah secara bertahap, pendidikan musik diberlakukan di sekolah-sekolah, pasar untuk rilisan fisik dibuka, serta radio maupun televisi (diminta) menyiarkan lebih banyak musik Barat.
Perubahan kebijakan ini tak bisa dilepaskan dari kesadaran pemerintah Iran bahwa pengaruh Barat semakin sulit ditahan, khususnya setelah internet lahir dan meleburkan batas-batas kebudayaan. Kendati sudah ada kelonggaran, beberapa aturan pembatasan tetap saja bertahan. Perempuan, misalnya, masih sulit jadi penyanyi.
Percuma Dilarang
Ketika pemerintahan beralih ke tangan Mahmoud Ahmadinejad pada 2005, musik Barat lagi-lagi dilarang. Pemerintah menyatakan musik Barat tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan Republik.
Ada yang menarik dari pelarangan musik di Iran. Pemerintah Iran menggunakan istilah “pop” untuk menggambarkan semua genre musik yang berasal dari Barat. Namun, sejak Khatami berkuasa pada 1997, pemahamannya sedikit bergeser. Musik pop, di mata masyarakat Iran, merujuk pada semua musik yang berada di arus utama (mainstream). Sementara musik rock dipakai untuk mendefinisikan musik-musik alternatif, bawah tanah (underground), atau yang acapkali disebut sebagai musik indie.
Di era Ahmadinejad, larangan bermusik menyasar arus bawah tanah dan alternatif yang dalam perkembangannya diisi bermacam genre, dari blues, jazz, rock, metal, hip-hop, hingga psikedelik. Akan tetapi, yang harus ditekankan, kontrol negara tak bisa menghentikan antusiasme bermusik yang sudah kadung tumpah ruah.
Kenyataannya rezim Ahmadinejad sedang menghadapi masyarakat yang sangat muda (sekitar 70 persen populasi Iran saat itu berusia di bawah 30 tahun), berpendidikan, relatif makmur, hingga berpandangan modernis sekaligus sekuler. Kondisi itu kemudian mendorong lahirnya keinginan untuk menjadi bagian dari budaya global. Kancah musik bawah tanah dan alternatif kemudian dianggap sebagai bagian penting untuk mewujudkan mimpi tersebut.
Menurut Heather Rastovac dalam “Contending with Censorship: The Underground Music Scene in Urban Iran” (PDF, 2009), kemunculan kancah bawah tanah dan alternatif menandakan bahwa untuk pertama kalinya anak-anak muda di Iran aktif membangun ekosistem musiknya sendiri. Di ruang-ruang itulah mereka menumpahkan kegelisahan akan masalah-masalah sosial.
Para kritikus biasanya beranggapan musik-musik dalam skena underground tidak mewakili estetika Iran. Tapi, memang itulah jalan yang sengaja diambil. Para musisi sengaja mengedepankan keragaman gaya untuk dapat melampaui batasan, terlibat dalam dialog budaya, dan yang paling penting: jadi semakin global.
Bukan berarti identitas sebagai orang Iran tak penting. Para musisi tetap berusaha mengartikulasikan kebanggaan mereka terhadap budaya Iran lewat lirik—terinspirasi penyair Persia Abad Pertengahan—atau dengan memasukkan instrumen tradisional ke dalam aransemen musik. Beberapa pionir arus bawah tanah dan alternatif Iran antara lain adalah Hypernova, Yellow Dogs, Langtunes, dan Mavara.
Untuk menghasilkan album atau menggelar konser di dalam negeri, band-band ini harus memperoleh izin (mujāwwiz) dari Kementerian Kebudayaan dan Bimbingan Islam. Kendati larangan pemerintah Iran tak dituangkan dalam bentuk undang-undang, tetap saja memainkan musik rock di panggung publik serupa mimpi di siang bolong.
Seperti yang dilaporkan The Guardian, mereka hanya bisa memakai flat kecil untuk pentas, bersembunyi dari kejaran pantauan aparat (karena sekali ketahuan dapat berakhir dengan pemenjaraan), serta mengandalkan Facebook (jika tak diblokir) untuk menyebarkan karya, dokumentasi, hingga publikasi yang berhubungan dengan kiprah band.
Itu baru tantangan internal. Mereka juga kesulitan memperoleh sorotan dari luar Iran. Banyak label dan penyelenggara festival di Eropa, misalnya, yang enggan mengundang artis Iran karena sulitnya mereka mendapat visa. Lebih sulit lagi konser di Amerika Serikat karena hubungan hubungan kedua negara yang tak pernah stabil.
Pertanyaannya: apakah anak-anak muda ini menyerah begitu saja? Jawabannya jelas tidak. Mereka senantiasa mencari peluang agar tetap bisa bermusik seraya serta menyentil kondisi sosial-politik di Iran. Ada yang bergerak di dalam negeri dan berjejaring dengan ekosistem yang ada. Ada juga yang mencari peruntungan di negeri orang dengan harapan mampu melesat lebih cepat.
Satu hal yang pasti: mereka berusaha menempa diri dalam komunitas transnasional, untuk mengembangkan identitas baru yang berakar dari Iran namun tampak global.
Otoritas Iran nampaknya sadar bahwa perubahan budaya seringkali diprakarsai oleh dua hal: kekuatan anak muda dan seni. Karena kancah musik bawah tanah dan alternatif di Iran dibangun dari kedua elemen yang kuat ini, pemerintah kemungkinan akan terus mengontrol musik.
Sementara musisi bawah tanah dipaksa untuk bersaing dengan sensor, Republik Iran juga dipastikan menghadapi tantangan berupa gelombang anak-anak muda yang bertekad untuk lepas dari cengkeraman rezim, hidup dengan bebas, dan sekali lagi terhubung dengan dunia luar. Bagi banyak pemuda Iran, semua itu (bisa) dilakukan bersama musik.
Editor: Windu Jusuf