tirto.id - Polemik penghancuran Rumah Cimanggis kembali mencuatkan debat lama tentang bagaimana memperlakukan bangunan-bangunan bersejarah. Wakil Presiden Jusuf Kalla bersikukuh bahwa Rumah Cimanggis tidak perlu dipertahankan karena merepresentasikan penjajahan.
Rumah Cimanggis memang bukan gedung yang menjadi saksi sebuah peristiwa yang luar biasa menentukan, katakanlah seperti rumah di Pegangsaan Timur. Sejarah mencatat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dibacakan di beranda sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56. Saat itu, rumah tersebut menjadi kediaman Sukarno dan istrinya, Fatmawati.
Rumah yang sangat bersejarah itu, yang jadi saksi mata peristiwa luar biasa penting, kini sudah tidak ada lagi. Begitu juga beberapa bangunan di sekitarnya. Kini hanya sebuah taman saja di situ, berikut tetenger berupa tugu.
“Tugu ini tepat menandai dan menggantikan keberadaan teras rumah tempat pembacaan teks proklamasi yang telah dibongkar. Berbentuk bulatan tinggi sekitar 17 meter, tugu ini berkepala lambang petir – seperti logo Perusahaan Listrik,” tulis Setiadi Supandi dalam Friedrich Silaban (2017:356).
Tugu itu kemudian dikenal sebagai Tugu Petir -- di sanalah letak kediaman Sukarno dan lokasi pembacaan teks Proklamasi. Tak jauh dari Tugu Petir, berdirilah Tugu Proklamasi yang dibangun di era Soeharto dan diresmikan pada 16 Agustus 1980.
Saat ibu kota negara Republik Indonesia kembali ke Jakarta pada ujung Desember 1949, setelah sempat dipindahkan secara darurat ke Yogyakarta, Sukarno tak menempati rumah itu lagi. Sejak itu, Sukarno beserta keluarganya tinggal di Istana Merdeka.
Lalu bagaimana rumah yang menjadi saksi sejarah pembacaan proklamasi?
Sekitar 1960, “rumah proklamasi dibongkar atas perintah Soekarno, yang menyimpan rasa kesal semasa menghuninya,” tulis Adolf Heuken dalam Medan Merdeka, Jantung Ibukota RI (2008).
Dalam Ensiklopedia Gereja Pi-Sek (2005:8) Heuken menyebut, “Kata seorang tetangga, waktu mendiami rumah ini Sukarno sering cekcok dengan istrinya yang tidak tahan karena suaminya semakin terpikat oleh wanita lain.”
Apapun alasan Sukarno, rumah Proklamasi yang jelas-jelas bersejarah adalah contoh betapa rentannya tempat bersejarah di hadapan kehendak penguasa. Jika rumah Proklamasi saja bisa dihilangkan, apalagi bangunan-bangunan dari masa silam lainnya?
Tapi Sukarno tak ambil pusing. Misalnya terkait dirobohkannya Benteng Fredrik Hendrik juga Taman Wilhelmina.
“Tempat dibangunnya Masjid Istiqlal adalah dibekas Benteng kolonial Citadel (Fredrik Hendrik). Benteng yang merupakan lambang penjajahan berabad-abad di Indonesia ini harus dibongkar sampai ke akar-akarnya betapapun jua sulit serta besar biayanya,” tulis Solichin Salam dalam Masjid Istiqlal: Sebuah Monumen Kemerdekaan (1990:20).
Soal bagaimana nasib lahan di bekas bangunan itu? Sukarno tak pernah kehilangan ide. Toh Sukarno juga seorang arsitek. Situs-situs atau bangunan-bangunan bersejarah dari masa kolonial yang dirobohkan di masa Sukarno kerap digantikan oleh bangunan-bangunan baru yang di kemudian hari tidak kalah memukaunya.
Banyak bangunan dan patung-patung terkenal yang dibangun di masa Sukarno berkuasa, beberapa di antaranya hingga kini menjadi landmark bukan hanya bagi Jakarta melainkan juga Indonesia. Dari Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, hingga Stadion Utama Senayan.
“Sukarno menolak arsitektur bernuansa kolonial dengan meniadakan desain tiang-tiang Yunani bergaya Ionia, Doria dan Korintia. Dan juga menolak gaya arsitektur Amsterdam Style,” tulis Yuke Ardhiati dalam Bung Karno Sang Arsitek (2005:111).
Ini jelas bagian dari sikap antikolonialisme Sukarno yang belum hilang setelah menjadi penguasa. Menurut Yuke, Sukarno berusaha menghilangkan hal-hal yang membuat orang Indonesia merasa rendah.
“Salah satu caranya melalui penghapusan beberapa lokasi yang bernuansa kolonial sebagai lokasi pembangunan monumen baru yang dirancangnya,” tulis Yuke (2005:112).
Tak semua bangunan sisa kolonial lenyap di masa Sukarno menjadi presiden. Ada yang tersisa hingga kini, meski beberapa di antaranya tidak terawat dengan baik. Misalnya, Istana Merdeka, Museum Gajah atau Galeri Nasional -- hanya untuk menyebut beberapa di antaranya.
Ada juga bangunan dari masa kolonial yang akhirnya hilang pada masa kekuasaan Soeharto. Soeharto bukan bekas arsitek, juga bukan seorang ideolog, yang menganggap bangunan kolonial memendam bahaya politis atau psikologis. Jika ada bangunan masa lalu yang dirobohkan, bagi Soeharto, hal itu hanya karena kebutuhan pragmatis saja.
Pada masa Orde Baru, argumentasi pembongkaran gedung-gedung lama bukan lagi semangat antikolonial. Tujuan pembongkaran di masa Soeharto lebih bersifat ekonomis ketimbang politis.
Misalnya, Rumah gede (besar) alias Pondok Gede yang terletak di daerah bernama Pondok Gede. Bangunan yang menjadi cikal bakal nama Pondok Gede itu hilang di masa Orde Baru.
“Pondok Gede dibongkar untuk membangun supermarket di atasnya (pada 1992),” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2016:13).
“Ini adalah benturan antara kepentingan ekonomi dan cagar budaya dalam pesatnya pembangunan, dan yang terakhir inilah yang telah dikalahkan," tulis Alwi Shihab dalam Betawi Queen of the East (2004:162).
Jika Sukarno membiarkan bangunan terbongkar karena semangat anti kolonial, maka terbongkarnya Pondok Gede nan bersejarah itu, bagi sementara orang memang harus. Karena, di rumah gede yang didirikan Pendeta Johannes Hooyman pada 1775 itu, pernah dimiliki seorang Yahudi Polandia kaya-raya (pedagang emas) bernama Leendert Miero.
Warisan kolonial yang hilang di masa Sukarno jadi presiden tak hanya bangunan-bangunan, tapi juga jaringan trem. Trem listrik di Jakarta, menurut catatan Firman Lubis dalam Jakarta 1950an: Kenangan Semasa Remaja (2008:131), hilang pada 1961. Situasi yang sama terjadi pula di Surabaya.
Trem saat itu dikesankan sebagai berbau kolonial. Sudiro, yang waktu itu menjadi walikota Jakarta, mengaku dalam buku Pelangi Kehidupan; Kumpulan Karangan (1986:80) bahwa: “Waktu itu setuju saja trem kota dihapus, asal segera disediakan gantinya, yaitu bus — atau kalau ingin seperti kota-kota modern lainnya: trowly bus—atau taksi.”
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan