Menuju konten utama

Polemik Rumah JK dan Rumah Cimanggis: Pola Pelenyapan Sejarah

Bangunan-bangunan cagar budaya, salah satu pondasi memori kolektif sebuah bangsa, terancam lenyap karena pengabaian pemerintah.

Polemik Rumah JK dan Rumah Cimanggis: Pola Pelenyapan Sejarah
Rumah dinas Peruri, dibangun pada 1957 oleh arsitek ternama M. Soesilo, dalam kondisi mengenaskan. Rumah ini tepat di belakang rumah pribadi Jusuf Kala, Jl Brawijaya IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (1/2/18). tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Kediaman orang berpengaruh di republik ini paling mencolok di antara barisan rumah di Jalan Brawijaya IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dua bangunan jembar bersepuh putih, bergaya modern-klasik, di atas kaveling seluas 760 meter persegi. Bangunan baru ini pelebaran dari rumah di depannya, yang jadi tempat tinggal Jusuf Kalla. Dibangun pada 2017, rumah tambahan milik JK tersebut telah melenyapkan 16 unit rumah dinas dari Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri).

Rumah-rumah Peruri ini termasuk dalam kawasan pemugaran sejak 1975 lewat keputusan Gubernur Ali Sadikin. Ada 32 unit rumah Peruri yang dibangun pada 1957 dengan langgam arsitektur Jengki, onomatope dari kata 'Yankee'. Gaya ini diusung oleh angkatan pertama arsitek Indonesia untuk mewujudkan rumah tropis modern yang menampilkan "identitas arsitektur Indonesia". Gagasan ini bagian dari bentuk perlawanan terhadap rumah kolonial Belanda atau Indis.

Orang yang mengembangkan Kebayoran Baru, termasuk rumah Jengki, adalah Mohammad Soesilo, salah seorang pelopor profesi arsitek dan perencana kota di Indonesia. Pada akhir 1950-an, sejalan kemunculan kelas sosial baru (yang oleh Partai Komunis Indonesia diejek sebagai "kabir" alias "kapitalis-birokrat"), Soesilo diminta untuk merumuskan kawasan itu sebagai kota satelit dari Jakarta. Sampai sekarang hunian lama di Kebayoran Baru, dengan pohon-pohonnya yang rindang, masih dikenal sebagai lingkungan orang-orang kaya.

Tetapi itu hanya sebagian cerita. Sisa cerita yang lain misalnya apa yang diungkapkan oleh Markeso, mantan satpam rumah pegawai Peruri sejak 2011. Setelah mayoritas rumah dinas itu tanpa penghuni selama setahun terakhir, kondisinya terbengkalai; kadang juga hanya dipakai untuk tempat rehat para kru film selagi syuting di sekitar Jl Brawijaya IV. Markeso sendiri kini jadi tukang pijat di kawasan Senayan.

Polemik rumah lawas bersejarah yang dipakai untuk kediaman pribadi Kalla ini mencuat kembali setelah sang wapres mengomentari protes para sejarawan dan penggiat budaya Depok. Asalnya, pemrotes yang tergabung dalam Komunitas Peduli Depok menolak rumah peninggalan Belanda abad 18 di Cimanggis bakal disulap untuk proyek Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). (Rencananya hari ini, 2 Februari, Presiden Joko Widodo menggelar seremoni peletakan batu pertama untuk kampus tersebut, diadakan di Universitas Indonesia.)

Kalla bilang rumah tua itu sebagai "rumah penjajah Belanda yang korup" dan menyebut proyek kampus UIII sebagai "situs untuk masa depan".

"Masak situs itu harus ditonjolkan terus dan dijadikan situs sejarah masa lalu?" kata Kalla, seperti dilansir dari Antara.

JJ Rizal, sejarawan yang tinggal di Depok, berkata bahwa pandangan Kalla ini "berbahaya", bagian dari elite politik yang "busung lapar sejarah".

Tak pelak, polemik rumah Cimanggis ini mengingatkan lagi rumah pribadi Kalla di Brawijaya.

Berdasarkan peta operasional Rencana Detail Tata Ruang Kelurahan Pulo, Kebayoran Baru, kediaman wakil presiden memiliki kode 003.R5.b.G. Artinya, rumah megah ini masuk dalam kawasan cagar budaya sesuai keputusan gubernur tahun 1975.

Mansur, Kepala Seksi Pemerintahan, Ketentraman dan Ketertiban Umum dari Kelurahan Pulo, membenarkan bahwa rumah pribadi Kalla yang sudah rampung 90 persen itu dibangun di atas kawasan cagar budaya. Meski melanggar aturan, kelurahan menerimanya karena mereka tahu itu adalah rumah sang wapres.

Toh, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Tinia Budiati mengklaim, meski rumah Peruri itu bangunan lama, pihak Jusuf Kalla tidak bisa "disalahkan karena enggak tahu."

Data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta menyebutkan ada 300-an unit bangunan cagar budaya yang terverifikasi, merujuk Keputusan Gubernur DKI No. 475 tahun 1993. Namun, kata Budiati, Dinas masih memperbarui data verifikasi tersebut di seluruh Jakarta. Bangunan cagar budaya ini merentang sejak era kolonial hingga yang dirumuskan bernilai arsitektur yang mewakili semangat zamannya.

Menurut keterangan Siwi Widjayanti, kepala humas Peruri, 16 unit rumah dinas di Brawijaya "dialihkan" menjadi milik Kalla sejak 11 Desember 2014. Landasannya adalah Peraturan Presiden 52/2014 tentang pengadaan dan standar rumah bagi mantan presiden dan mantan wakil presiden. Pelaksana aturan ini adalah Kementerian Sekretariat Negara (ralat, 6 Februari 2018, pukul 16.24 wib: sebelumnya kami menyebut Peraturan Pemerintah 52/2014).

Aturan ini menyebut mantan pemimpin negara diberikan "sebuah rumah yang layak", dengan kriteria "mudah dijangkau" dan spesifikasi lain yang intinya "dapat mendukung dan keperluan mantan presiden/ wakil presiden beserta keluarga." Dana untuk pengadaan fasilitas ini dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.

Ketika ditanya berapa biaya pelepasan aset di Brawijaya, Widijanti menjawab bahwa nilai tersebut "tidak untuk diketahui publik."

Rumah Gedong Jusuf Kalla

Rumah tambahan milik Jusuf Kalla di Brawijaya IV, Kebayoran Baru, mengambil-alih rumah dinas Peruri berbentuk Jengki, sebuah tren gaya arsitektur tahun 1950-an. Tirto/Reja Hidayat

Mengubah Bangunan Tua dan Cagar Budaya di Menteng

Tak cuma perubahan aset Peruri di Brawijaya, kawasan elite lain seperti di Menteng juga berubah secara perlahan. Semula perubahan ini dilatari sentimen anti-kolonial dalam bentuk menghancurkan bangunan, yang kemudian berkembang sebagai ladang bisnis dan ekonomi.

Lihat saja Jalan Teuku Umar No 1. Ada Tugu Kunstkring Paleis, restoran mewah dengan arsitektur kolonial yang didirikan pada 17 April 1914 bernama Nederlandsch-Indische Kunstkring. Dulunya ia adalah galeri lingkar seni Hindia Belanda sebagai pusat promosi seni pada masanya.

Selain itu, para pemodal menguasai bisnis properti di Menteng. Andri, penjaga rumah di Jl. Syamsul Rizal, berkata bosnya baru membeli bangunan cagar budaya golongan B sebulan lalu. Rumah ini bekas kediaman pejuang Indonesia seluas 1.000 meter persegi, berdekatan dengan rumah dinas DKI Jakarta - Taman Suropati.

Andri bercerita dengan bersemangat bahwa bosnya seorang pengusaha batubara. Bosnya juga baru saja membeli rumah tiga unit di Jalan Madiun, masih di kawasan Menteng. Rumah-rumah ini dalam proses renovasi.

"Rumah ini sudah ditawari Rp100 miliar, tapi ditolak sama bos," kata Andri.

Harga tanah di beberapa kawasan di Menteng, seperti di Jl. Suropati, Ki Mangunsarkoro, Imam Bonjol, Diponegoro, dan Blitar, sekitar Rp20 juta - Rp25 juta per meter persegi, bahkan ada tanah seluas 700 meter persegi dijual Rp60 miliar.

Kawasan Menteng, yang ditetapkan sebagai lingkungan pemugaran oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1975, dikenal sebagai tempat tinggal para pengusaha-cum-politisi. Sebut saja Aburizal Bakrie di Jl. Ki Mangunsarkoro No. 42, Siti Hardiyanti Rukmana di Jl. Yusuf Adiwinata No. 14, Fadel Muhammad di Jl. Suwiryo No. 39, dan Oesman Sapta Odang di Jl. Muhammad Yamin No. 52.

Nurpandi, Kepala Seksi Pemerintahan Ketentraman dan Ketertiban Umum dari Kelurahan Menteng, mengatakan bahwa dua tahun terakhir ada banyak pendatang yang membangun rumah gedongan.

“Walaupun enggak masif, tapi ada saja tiap tahun pembongkaran. Mereka mengusulkan melalui PTSP (pelayanan terpadu satu pintu) dengan perubahan,” katanya.

Infografik HL Indepth Cagar Budaya

Kasus lain adalah dua bangunan cagar budaya yang telah berubah total milik 'Pahlawan revolusi': Letjen Suprapto di Jl. Besuki No. 19 dan Mayjen Siswondo Parman di Jl. Syamsul Rizal No. 32 (dulu Jl. Serang). Kedua rumah ini termasuk dari 216 bangunan cagar budaya sesuai Keputusan Gubernur DKI No. 475 tahun 1993.

Saat menyambangi bekas rumah Mayjen S. Parman, seorang pria sepuh menyambut saya dan mengenalkan diri Mayjen Abdul Hakim, purnawirawan jenderal Angkatan Laut, yang belasan tahun sudah menempati rumah tersebut. Ia berkata bahwa rumah ini dibeli dari putra S. Parman, Letjen Suyono, pada 1992. Usai dibeli, ia membongkar rumah tersebut, mengubahnya menjadi rumah berlantai dua.

Sementara alamat rumah Letjen Suprapto sudah berganti. Sulaiman, pekerja rumah tangga di kawasan itu, mengatakan rumah nomor 19 sudah bergabung dengan rumah nomor 17.

Kasus serupa adalah 'rumah cantik' di Jl. Tengku Cik Ditiro No. 32 dan Jl. Ki Mangunsarkoro No. 62. Rumah berstatus cagar budaya golongan C ini berubah menjadi rumah mewah. Disebut-sebut, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, putra kedua Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai pemilik rumah tersebut, tetapi kemudian dibantahnya.

Menurut arkeolog senior dan Tim Ahli Cagar Budaya Pemprov DKI, Chandrian Attahiyat, ada "kekuatan besar" dalam pembangunan 'rumah cantik' sehingga kepentingan pelestarian pun terabaikan. Bukti dari "kekuatan besar" ini adalah rekomendasi oleh tim sidang pemugaran diabaikan oleh perancang bangunan.

"Rekomendasinya bukan dalam bentuk pengembangan seperti sekarang. Kenyataannya berbeda. Sekarang seperti rumah berbenteng," ujar Chandrian.

Tim pemugaran beberapa memanggil pemilik baru rumah tersebut agar melaksanakan rekomendasi, tetapi tidak diladeni.

Rumah Tua di Teuku Cik Ditiro

Kondisi rumah bersejarah di Jl. Teuku Cik Ditiro, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, yang dibiarkan terbengkalai. Tirto/Reja Hidayat

Darurat Penghancuran Bangunan Cagar Budaya

Kasus terbaru pada rumah tua Cimanggis, Depok, yang akan dirobohkan untuk proyek Universitas Islam Internasional Indonesia, menggambarkan logika pemerintah yang selama ini mengabaikan sejarah, menurut JJ Rizal.

Arsitek Bambang Eryudhawan mengatakan bahwa jejak sejarah dianggap sepele oleh pemerintah. "Ingat, rumah bersejarah seperti Cimanggis akan punah jika tak dirawat. Bayangkan sebuah bangsa kehilangan bukti sejarah dalam periode tertentu, yang menyebabkan anak bangsa lupa masa lalu negerinya."

“Kita ingin setiap bukti sejarah dalam periode tertentu, baik kelam maupun tidak kelam, terwujud. Prof. Eko Budihardjo pernah bilang, kalau bukti sejarah enggak ada, kota itu gila. Masak kota itu hanya masa depan dan masa kini. Tiba-tiba masa lalunya dilupakan,” ujar dia.

Bambang menilai kegiatan komunitas yang mendukung penyelamatan rumah Cimanggis bisa menjadi tolok ukur daerah lain. Jika komunitas di Depok berhasil menyelamatkan rumah Cimanggis, dia berkata, itu bisa menularkan semangat penyelamatan bangunan cagar budaya di tempat lain.

Di pelbagai kota di Indonesia, kondisi bangunan cagar budaya acap diabaikan. Sebut saja Pasar Cinde di Kota Palembang yang digusur lalu dibangun mal untuk perhelatan Asian Games 2018. Atau situs peninggalan kerajaan di Malang disulap sebagai kawasan ekonomi khusus pemerintah pusat.

Pola-pola pemusnahan rumah dan bangunan bersejarah di Indonesia ini nyaris serupa: dari cara dirombak, dibiarkan terlantar, hingga dihancurkan.

"Kasus di Menteng dan rumah Cimanggis itu salah satu cara pemusnahan dengan cara pembiaran. Dibiarkan hancur sehingga tidak bisa diselamatkan. Repotnya lagi, bangunan itu berdiri di atas tanah-tanah negara," kata JJ Rizal.

Baca juga artikel terkait BANGUNAN CAGAR BUDAYA atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Humaniora
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam