Menuju konten utama
JJ Rizal:

"Yang Bisa Menolong Rumah Bersejarah adalah Masyarakat Sendiri"

"Para elite digerogoti hongerodeem, busung lapar sejarah. Mau bangunan kolonial, prakolonial maupun dari masa Republik—semuanya persetan."

JJ Rizal, sejarawan. tirto/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Kalangan sejarawan dan penggiat budaya memprotes rencana pemerintah membangun Universitas Islam Internasional Indonesia di daerah Cimanggis karena berada di kawasan situs rumah tua. Rumah ini dibangun antara 1771 hingga 1775, pernah ditempati istri Gubernur VOC Petrus Albertus van Der Parra.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menanggapi bahwa rumah itu milik "penjajah Belanda yang korup." Ia menambahkan, "Masak situs itu harus ditonjolkan terus dan dijadikan situs (sejarah) masa lalu? Yang pemerintah mau bikin di situ adalah situs untuk masa depan."

JJ Rizal, sejarawan yang vokal menentang penghancuran rumah Cimanggis, menyatakan bahwa pendapat Kalla itu "berbahaya" dan menggambarkan logika pemerintah yang selama ini abai melindungi dan memugar rumah-rumah cagar budaya dan bersejarah.

Rizal juga menyebut langkah pemerintah yang telah menghancurkan rumah-rumah bergaya Jengki milik Peruri di Jalan Brawijaya IV menjadi kediaman pribadi Kalla. Sebutan Jengki, onomatope dari kata 'Yankee', menggambarkan langgam arsitektur semasa 1950-an yang mewujudkan gagasan rumah tropis modern, satu upaya dari angkatan pertama arsitek Indonesia menolak karakter arsitektur Belanda.

"Bangunan itu dihancurkan untuk memperlebar rumah Jusuf Kalla. Dan pilihannya mengorbankan situs bersejarah yang sangat penting," kata Rizal saat ditemui di Situ Jatijajar, Depok, 28 Januari lalu.

Rizal bersama para individu yang tergabung dalam Komunitas Sejarah Depok membuat petisi daring untuk mengajak publik "menyelamatkan situs sejarah rumah Cimanggis abad 18". Alasannya, sebuah kota yang getol membangun tanpa peduli sejarah adalah "kota tanpa ingatan, tanpa masa lalu."

Pembiaran dan penghancuran rumah-rumah bersejarah ini berlangsung marak dan masif di seluruh kota di Indonesia. Sebut saja kawasan Menteng di Jakarta, situs peninggalan kerajaan Singasari di Malang yang disulap sebagai kawasan ekonomi khusus pemerintah nasional, bangunan cagar budaya di Palembang yang diubah untuk ajang Asian Games 2018.

"Kasus di Menteng dan rumah Cimanggis adalah salah satu cara pemusnahan dengan cara pembiaran. Dibiarkan hancur agar tak bisa diselamatkan. Repotnya lagi, bangunan itu di atas tanah-tanah negara," kata Rizal, yang menyebut pola-pola pembangunan macam ini sebagai "hongerodeem" alias busung lapar sejarah. Berikut petikan wawancaranya.

Sejak kapan pemusnahan rumah-rumah bersejarah dimulai, misalnya di kawasan Menteng?

Sebenarnya pemusnahan ini sejak zaman kolonial, misal Kota Tua Jakarta. Pada awal abad 19, rumah-rumah di Kota Tua dihancurkan, lalu batu-batanya diangkut untuk membangun kota yang baru di Weltevreden atau Gambir. Tindakan ini baru disesalkan pada 1930 dan kaum elite kolonial mulai membicarakan masalah konsep Kota Tua Jakarta alias Oud Batavia. Keluarlah ordonansi (peraturan pemerintah) tentang bangunan-bangunan tua.

Tapi, setelah merdeka, kita pun menerjemahkan nasionalisme sebagai serba anti, bukan hanya pada orang Eropa dan kulit putih, melainkan terkait bangunan kolonial. Dan penyakit ini enggak sembuh-sembuh. Penyakit ini terus muncul, yang diterjemahkan oleh para elite seperti Jusuf Kalla dengan pernyataannya soal rumah Cimanggis itu. Ini sangat jelas memperlihatkan nasionalisme yang cupet atau nasionalisme sempit. Ini sebenarnya penyakit hongerodeem.

Ingat, dalam Nawacita Jokowi, butir kedelapan menyebutkan "melakukan revolusi karakter bangsa melalui ... pengajaran sejarah pembentukan bangsa".

Apa penyebab kondisi ini?

Penyakit hongerodeem diidap oleh elite kita. Elite itu orang yang punya kekuatan untuk membuat kebijakan dan elite ini bersekutu dengan modal. Ingat, modal itu tak perlu histori, modal hanya tahu hari ini dan ke depan. Ia enggak perlu menjual masa lalu, ia hanya menjual mimpi.

Yang kita hadapi adalah pikiran busuk yang langgeng dan malah muncul dari pejabat publik. Ini tantangan besar. Salah satu mengukur kota yang beradab adalah menghargai situs sejarah dan museum. Ini permasalahan besar di Indonesia.

Bukankah sudah ada regulasi untuk melindungi atau memugar bangunan-bangunan bersejarah?

Kalau omong regulasi sebenarnya banyak dan sudah berlapis-lapis. Tapi persoalannya regulasi itu hanya macan kertas. Enggak pernah ada tindakan ketika terjadi pelanggaran. Terlalu banyak contoh kasus yang menggambarkan tidak ada artinya Undang-Undang 11/2010 tentang cagar budaya. Rumah Cimanggis hanya salah satunya.

Upaya apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan bangunan bersejarah?

Lakuan aja sesuai regulasi Undang-Undang Cagar Budaya. Turunkan dalam petunjuk pelaksanaan. Jadi jelas. Ini sekarang tidak ada sama sekali peraturan pemerintah dan banyak sekali kasus yang menjelaskan bahwa pemerintah hanya membuat regulasi lalu tak dijalankan. Regulasinya seperti "tisu cebok".

Bagaimana soal sebagian rumah dengan arsitektur Jengki di Jalan Brawijaya dihancurkan untuk dijadikan rumah Jusuf Kalla?

Persoalan besar adalah kita diam. Kita harus sadar, pemerintah tidak peduli dengan situs sejarah. Mereka memproduksi regulasi yang seolah-olah memiliki kesadaran memelihara situs bersejarah, padahal itu bullshit. Yang bisa menolong rumah bersejarah adalah masyarakat sendiri.

Dalam kasus rumah bergaya Jengki di Brawijaya itu, tentu saja menghancurkan satu bangunan bersejarah sudah bermasalah. Apalagi jika menghancurkan empat rumah kembar atau 16 belas unit. Anehnya, negara merestui situs sejarah diperuntukkan bagi pejabat negara. Jadi dosanya berlapis.

Bagaimana Anda menilai para pejabat dan politisi yang berpandangan dan bersikap ahistoris?

Politisi macam itu tak punya wawasan. Mereka zombie. Enggak punya jiwa. Prof Eko Budihardjo (arsitek dan rektor Universitas Diponegoro 1998-2006) pernah bilang bahwa masyarakat kota tak peduli dengan bangunan bersejarah. Nah, politisi kita itu bagian dari kelompok manusia tanpa jiwa.

Baca juga artikel terkait BANGUNAN CAGAR BUDAYA atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam