tirto.id - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo akan pensiun mengingat masa jabatannya berakhir pada Maret 2018. Meski masih sekitar lima bulan mendatang, wacana pergantian Gatot Nurmantyo sudah mulai berembus.
Setara Institute menilai masih ada sejumlah hal yang menjadi pekerjaan rumah bagi pengganti Gatot Nurmantyo. Salah satunya, jaminan kesamaan di muka hukum masih belum menyentuh TNI. Pasalnya, tatkala militer melakukan tindak pidana umum, mereka diadili di peradilan militer.
"Terlebih dengan sangat tertutupnya proses peradilan hingga tidak jelasnya pemenuhan rasa keadilan bagi publik," terang Hendardi, Ketua Setara Institute di Cikini, Jakarta Selatan, Kamis (23/11/2017) dalam acara bertajuk “Pergantian Panglima dan Akselerasi Reformasi TNI”.
Ia pun mengingatkan tentang larangan TNI terlibat dalam kehidupan sipil. Menurutnya, setidaknya ada 37 MoU dengan institusi pemerintah yang telah ditandatangani. Meskipun beberapa tidak efektif, secara instrumental itu kerja sama itu dinilai sebagai pintu masuk TNI dalam kehidupan sipil.
Hendardi menilai bahwa Panglima Gatot Nurmantyo tidak punya perhatian khusus pada agenda reformasi TNI.
"Panglima TNI Gatot Nurmantyo lebih senang menjadi selebriti politik di tengah sentimen agama yang tengah menguat di Indonesia," jelasnya "Demikian juga sikap konfrontasinya pada institusi lain seperti Menhan dan Polri, semakin mempertegas bahwa ia tidak memiliki perhatian khusus terhadap agenda reformasi TNI.”
Pada kesempatan yang sama, Mayjend Purn Tubagus Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi I DPR pun memberi penilaian yang serupa. Namun, ia menegaskan bahwa masing-masing Panglima TNI punya kelebihan dan kekurangannya"
"Dalam latihan perang bersama dia oke, tapi kalau statement-statement sering serempet-serempet politik," tutur Tubagus Hasanuddin.
Politisi partai PDIP ini mengimbuhkan, ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dituntaskan Panglima TNI berikutnya.
"PR-nya satu, melanjutkan program Minimum Esential Force yang kedua. Ini terlambat, harusnya sudah 33 persen baru 11 persen" kata dia. "Yang kedua meningkatkan disiplin prajurit, yang ketiga meningkatkan profesional prajurit."
Mengenai calon pengganti Gatot, Tubagus menyarankan diambil dari Angkatan Udara.
"Sebaiknya untuk kohesi, kesatuan dan persatuan, dan jiwa korsa, ya baiknya menurut undang-undang dapat digilir. [Angkatan] Darat sudah, [Angkatan] Laut Sudah, gilirannya [Angkatan] Udara," jelasnya.
Sebelum Gatot Nurmantyo, posisi Panglima TNI diisi oleh Jenderal TNI Moeldoko dari Angkatan Darat, Laksamana TNI Agus Suhartono dari Angkatan Laut, dan Jenderal TNI Djoko Santoso dari Angkatan Darat.
Hendardi pun sependapat dengan Tubagus bahwa jabatan Panglima TNI harus digilir antarmatra.
"Kalau ini kan udah dua kali dari Angkatan Darat terus, saya rasa angkatan-angkatan lain perlu juga memiliki semacam kesetaraan," ucapnya "Dengan pergantian yang bergilir itu akan menciptakan kesetaraan antarmatra". jelas Hendardi.
Meskipun begitu, Tubagus menyatakan kewenangan memilih Panglima TNI adalah hak prerogatif presiden.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Yuliana Ratnasari